Rabu, 10 Desember 2014



MENGAKTUALISASIKAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA




Layaknya sebuah negara pada umumnya, Indonesia mempunyai dasar negara, pandangan hidup, sekaligus ideologi yang digali dan diramu dari seluruh nilai dan kultur yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Di samping itu, Pancasila juga berfungsi sebagai pemersatu ribuan pulau se-Nusantara di bawah panji Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan aneka ragam budaya dan adat istiadat. Pancasila sendiri digagas oleh para pendiri bangsa (founding fathers) pada masa-masa persiapan kemerdekaan tepatnya dalam masa-masa sidang BPUPKI. Tokoh-tokoh yang menyodorkan pikirannya mengenai dasar negara ini adalah Mohammad Yamin dan Ir. Soekarno. Istilah "Pancasila" pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 01 Juni 1945 (yang kemudian menjadi hari lahirnya Pancasila). Istilah "Pancasila" sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu "Panca" berarti lima, dan "sila" berarti dasar atau asas. Dalam sidang BPUPKI, sila-sila Pancasila akhirnya disetujui sebagai berikut:
     1. Ketuhanan Yang Maha Esa
     2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
     3. Persatuan Indonesia
     4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan                   dalam permusyawaratan/perwakilan
     5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila-sila Pancasila ini juga dipertegas lagi dalam pembukaan UUD 1945 sebagai asas dan sarana dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Sehingga dengan demikian untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila sudah merupakan suatu keharusan kalau kita ingin mewujudkan masyarakat madani/ideal (civil society) sebagaimana digambarkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila sendiri bersifat luwes dan cocok dalam segala perubahan zaman sebagai implikasi dari globalisasi yang kian menggeliat. 

Pancasila sebagai ramuan dari seluruh nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat Nusantara tentu mengandung nilai dan kepribadian bangsa Indonesia antara lain: 

1. KETUHANAN YANG MAHA ESA :
a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
d. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
e. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang ekslusiv dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.
f. Menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
g. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
h. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

2. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB :
a. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
c. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
d. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
e. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
f. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
g. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
h. Berani membela kebenaran dan keadilan.
i. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
j. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

3. PERSATUAN INDONESIA :
a. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
c. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
d. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
e. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
f. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
g. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAH KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/ PERWAKILAN :
a. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
b. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
f. Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
g. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
h. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
i. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
j. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

5. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA :
a. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
b. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
f. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasaN terhadap orang lain.
g. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gayA hidup mewah.
h. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikaN kepentingan umum.
i. Suka bekerja keras.
j. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
k. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Pancasila dengan apa yang tersemat padanya mampu menyatukan keanekaragaman bangsa Indonesia di antaranya suku, ras, agama, budaya, dan berbagai latar lainnya. Karena pada dasarnya bangsa Indonesia merupakan satu dengan sejarah masa lalu di bawah kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya. Di samping itu, bangsa ini juga dijajah oleh bangsa Eropa khususnya Belanda dalam kurun waktu mencapai 350 tahun atau 3,5 abad. Termasuk juga Portugis, Spanyol, Inggris, dan terakhir Jepang. 

Kesadaran sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia memang bisa dikatakan masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan banyak realitas dalam kehidupan masyarakat kita sehari-hari, misalnya diskriminasi etnis masih terasa hingga hari ini. Di samping itu, ada juga fenomena etnosentris yang mana lebih meninggikan dan mengagung-agungkan budaya sendiri dengan mengacuhkan budaya lain sebagai bentuk totalitas dari bangsa Indonesia. 

Meskipun demikian, seiring pergantian waktu, mindset atau pola pikir masyarakat ini akan mengalami progress. Sehingga kesadaran sebagai suatu bangsa dapat dipahami secara totalitas. Bangsa kita adalah bangsa yang besar dengan anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah, dengan keanekaragaman keadaan masyarakat yang membuat euforia tersendiri bagi bangsa ini. Hal ini patut menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa kita. 

Dengan keadaan masyarakat yang heterogen, di sinilah Pancasila menempati posisi yang penting sebagai pemersatu keanekaragaman tersebut. Pemahaman serta pengamalan akan nilai Pancasila dan patuh pada konstitusi kita yaitu UUD 1945 sudah menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena hanya dengan itulah kita dapat melangkah menuju masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur sebagaimana tujuan berdirinya negara ini. Pancasila dan UUD 1945 sudah menjelaskan itu secara gamblang. 

Di samping itu, peran negara sebagai penerima mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan juga mesti benar-benar mengacu pada nilai-nilai Pancasila serta penjabarannya dalam UUD 1945. Termasuk dalam menjalankan fungsi legislasi (membuat UU) termasuk kebijakan yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Segalanya semata-mata untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Karena sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhi hal itu. 

Pendidikan dengan berbasiskan nilai serta karakter Pancasila semestinya diterapkan sejak dini, baik dalam lembaga pendidikan formal maupun non formal. Sehingga dengan demikian, dalam mewujudkan generasi emas 2045 (1 abad kemerdekaan) betul-betul menjadi kenyataan, tidak hanya bersifat retoris. Sudah semestinya proses menuju kesitu mulai dilakukan. Karena tanpa kita sadari, waktu bergulir cukup cepat. Tinggal 30 tahun lagi, waktu untuk menata generasi emas 2045.




Junaidi Doni Luli
(130711615631)
Mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang

Minggu, 16 November 2014

NEGARA

(State)




Negara sebagai suatu bentuk kehidupan bersama dari seluruh masyarakat yang bersatu di bawah satu kekuasaan pemerintahan yang mana pada awalnya mempunyai suatu tujuan dari kehidupan bersama (negara) tersebut. Dari perkembangan awalnya, ada beberapa teori yang dilontarkan mengenai awal mula terbentuknya suatu negara di antaranya adalah Teori Kenyataan, Teori Ketuhanan, Teori Perjanjian Masyarakat, Teori Kekuasaan, Teori Hukum Alam, Teori Hukum Murni, dan yang terakhir adalah Teori Modern

1. Teori Kenyataan
Teori ini mengatakan bahwa suatu negara timbul ketika syarat objektifnya sudah terpenuhi. Syarat objektif yang dimaksud adalah wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat, serta pengakuan dari negara lain). 

2. Teori Ketuhanan
Teori ini mengatakan bahwa munculnya suatu negara karena atas kehendak Tuhan. Friederich Julius Stahl (1802-1861) mengatakan bahwa negara tumbuh dalam suatu proses evolusi mulai dari keluarga, suku, bangsa, dan kemudian menjadi negara. Negara tumbuh sebagai akibat dari berkumpulnya kekuatan dari dalam, serta dengan atas kehendak Tuhan. 

3. Teori Perjanjian Masyarakat
Teori ini disusun berdasarkan asumsi bahwa sebelum hadirnya negara, masyarakat hidup sendiri-sendiri. Pada waktu itu belum ada peraturan yang mengatur tentang tata hubungan antara manusia dalam masyarakat sehingga seringkali terjadi benturan atau chaos. Akibatnya manusia saling memangsa, menghabisi satu sama lain (homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes) seperti yang digambarkan oleh Thomas Hobbes. Teori perjanjian masyarakat ini diungkap dalam buku Leviathan. Perjanjian antar kelompok manusia (contract social) yang melahirkan negara ini disebut pactum unionis. Bersamaan dengan itu, terjadi pula perjanjian yang disebut pactum subiectionis yaitu perjanjian antar kelompok manusia dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis. Penganut teori perjanjian masyarakat ini antara lain Grotius (1583-1645), John Locke (1632-1704), Immanuel Kant (1724-1804), Thomas Hobbes (1588-1679), dan J.J. Rousseau (1712-1778).

4. Teori Kekuasaan
Teori ini mengatakan bahwa negara timbul karena kekuasaan. Orang kuatlah yang mendirikan negara, karena kekuatannya itu ia berkuasa memaksakan kehendaknya terhadap orang lain sebagaimana yang disebutkan oleh Kallikles dan Voltaire "Raja yang pertama adalah prajurit yang berhasil". Teori ini juga dikemukakan oleh Karl Marx. Di samping itu, ada juga H.J Laski, dan Leon Duguit.

5. Teori Hukum Alam
Para penganut teori hukum alam berasumsi bahwa adaanya hukum yang berlaku universal (tidak berubah atau statis dan berlaku di setiap waktu dan tempat). Hukum alam ini bukan buatan negara, melainkan hukum yang berlaku menurut kehendak alam. Para ahli yang menganut teori ini adalah Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquino. Plato berasumsi bahwa negara muncul karena:
"Adanya keinginan dan kebutuhan manusia yang beraneka ragam sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan itu".

6. Teori Hukum Murni
Menurut Hans Kelsen negara adalah suatu kesatuan tata hukum yang bersifat memaksa. Setiap individu harus taat dan tunduk. Kehendak negara adalah kehendak hukum, sehingga negara identik dengan hukum. 

7. Teori Modern
Teori ini menitikberatkan pada fakta dan paradigma tertentu untuk mendapat konklusi mengenai asal mula, hakekat, serta bentuk negara. Tokoh-tokoh teori ini adalah Prof. Mr. R. Kranenburg dan Prof. Dr. J.H.A. Logemann. Kranenburg mengatakan bahwa pada hakekatnya negara merupakan suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Contras dengan asumsi ini, Logemann mengatakan bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang yang menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut dengan bangsa. Perbedaan kedua asumsi ini terletak pada definisi istilah "bangsa". 


TEORI LENYAPNYA NEGARA

*Teori Organis
Teori ini mengatakan bahwa negara adalah suatu organisme, layaknya suatu makhluk hidup. Fisiologi negara sama dengan makhluk hidup yang mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan kematian. Tokoh penganut teori ini antara lain Herbert Spencer, F.J. Schmittenner, Constantin Frantz, dan Bluntschi.

*Teori Anarkis
Anarkisme merupakan suatu paham (doktrin) yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaan adalah lembaga yang menjadi biang kerok penindasan. Oleh karena itu negara, pemerintahan beserta perangkatnya mesti dibubarkan atau dihilangkan.

*Teori Marxisme
Teori ini diilhami oleh pandangan-pandangan dari Karl Marx. Beliau menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut Marxis. Teori ini merupakan dasar teori komunisme modern. Marxisme merupakan bentuk protes terhadap kapitalisme. Kaum proletar dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk menumpuk kekayaan (properti). Sehingga pada saatnya kaum proletar ini pasti akan memberontak, menuntuk hak serta keadilannya.




(Junaidi Doni Luli)
Mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang (UM)


      


Sabtu, 01 November 2014



LEMBAGA LEGISLATIF SEBAGAI REPRESENTASI RAKYAT INDONESIA
DALAM PROSES BIROKRASI


Junaidi Doni Luli (130711615631)

Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang

Abstrak: Partisipasi seluruh rakyat Indonesia dalam proses birokrasi melalui lembaga legislatif baik DPR, DPD, maupun DPRD merupakan amanat dari konstitusi dan wujud dari pelaksanaan sistem demokrasi di republik ini. Sehingga dengan demikian lembaga legislatif ini dituntut untuk lebih tanggap dan  akomodatif terhadap segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan kemauan publik serta menjalankan fungsi dan wewenang lain yang diberikan oleh konstitusi. Dengan hadirnya lembaga legislatif, diharapkan proses birokrasi berjalan dengan baik atau optimal karena di sana terjadi proses check and balance antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif sehingga amanat dari konsitusi yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera dapat terealisasi. Meskipun terwakili oleh lembaga legislatif, tetapi peran serta secara langsung oleh masyarakat juga menjadi hal yang esensial dalam proses birokrasi baik terhadap lembaga legislatif itu sendiri maupun proses birokrasi secara keseluruhan.

Abstract : The participation of all the people of Indonesia in the bureaucratic process through both the House of Representatives legislature , DPD , and DPRD is the mandate of the constitution and form of implementation of the democratic system in the republic . So the legislature is required to be more responsive and accommodating to everything the public needs and willingness to carry out the functions and powers as well as others provided by the constitution . With the presence of the legislature , is expected to run well the bureaucratic process or optimal because there occurs a process of checks and balances between the legislative bodies of the executive so that the mandate of the constitution is to realize a just and prosperous society can be realized . Although represented by the legislature , but direct participation by the public is also becoming essential in both the bureaucratic process itself and the legislature as a whole bureaucratic process.


Kata kunci: Pancasila, legislatif, rakyat Indonesia, konstitusi, demokrasi

Berbicara mengenai negara modern yang bersistem demokrasi, maka di sana terdapat tiga lembaga birokrasi yang fungsi dan wewenangnya saling terkait antara satu dengan yang lain yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal dengan istilah trias politica. Ketiga lembaga itu di Indonesia dikenal dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR dan DPD), dan DPRD sebagai lembaga legislatif, Presiden beserta kabinetnya dan gubernur, bupati maupun walikota  di daerah sebagai lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif ini diperankan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.  
Partisipasi rakyat sebagai obyek dari kekuasaan negara sangatlah esensial untuk mewujudkan sistem demokrasi yang diterapkan di republik ini. Rakyat dapat menggunakan saluran atau media-media yang ada untuk memonitoring proses birokrasi yang dilaksanakan oleh para birokrat baik itu terhadap legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Demokrasi di negeri ini telah disesuaikan dengan keadaan dan budaya bangsa Indonesia sehingga dikenal dengan istilah “demokrasi Pancasila”, bukan demokrasi liberalis maupun demokrasi lain seperti yang diterapkan pada negara-negara lain. Karena pada hakekatnya keadaan dan budaya antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain adalah berbeda, sehingga butuh penyesuaian melalui proses filterisasi agar tidak melunturkan identitas asli atau budaya dari bangsa yang berdemokrasi tersebut.  

PEMILIHAN LEGISLATIF SEBAGAI BENTUK KEDAULATAN RAKYAT (DEMOKRASI)
Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum menjadi salah satu ciri utamanya. Sehingga dengan demikian maka eksistensi rakyat sangat esensial yang mana ikut menentukan arah roda birokrasi melalui pemilihan legislatif baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah (provinsi, kabupaten dan kota). Dalam proses ini, masyarakat diharapkan secara matang dan bertanggung jawab untuk menggunakan hak konstitusinya sehingga di kemudian hari hasilnya dapat dirasakan secara nyata karena figur-figur yang mereka pilih atau dipercayakan amanat bekerja sepenuhnya untuk kepentingan publik dan menempatkan kepentingan golongan maupun individu setelah kepentingan masyarakat. Karena pada hakekatnya dalam negara demokrasi, rakyatlah yang berdaulat atau berkuasa. Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan dilanjutkan pasal 2 ayat (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Sehingga dengan demikian figur yang hendak dipilih oleh konstituen dalam hal ini masyarakat mesti memperhatikan aspek-aspek kepribadian dari sang caleg (calon legislator) seperti kejujurannya, keberpihakannya pada kepentingan publik atau amanah, bertanggung jawab (akuntability), serta memiliki track record yang baik. Singkatnya, punya aspek leadership yang memadai.
Pemilihan legislatif ini dilaksanakan setiap lima tahun dan diikuti oleh pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif) yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 E khususnya ayat (1). Meskipun dalam realita empirisnya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan (inkonstitusi), tapi ekspektasi kita adalah demokrasi di negeri ini semakin dewasa dari hari ke hari dengan cara terus diadakan perbaikan atau refleksi dari waktu ke waktu. Hal ini membutuhkan campur tangan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa, terlebih lembaga-lembaga yang sengaja dibentuk untuk mengatur tentang pemilihan umum ini seperti Bawaslu, Panwaslu, dan juga KPU sendiri.

TUPOKSI LEMBAGA LEGISLATIF DALAM BIROKRASI
            Secara abstraksi, lembaga legislatif mempunyai wewenang untuk mengawasi dan mengkritisi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda birokrasi (Supervision and Criticism Government). Secara implisit, lembaga legislatif (DPR RI) mempunyai fungsi pengawasan (controlling), fungsi anggaran, dan fungsi legislasi (membuat Undang-Undang). Di samping itu, lembaga legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat juga memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Lembaga legislatif berwewenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar dalam pasal 3 ayat (1), melantik sekaligus memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pasal 3 ayat (2 dan 3), merancang UU bersama Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama dalam pasal 20 ayat (2), memberikan persetujuan kepada Presiden dalam hal menyatakan perang atau membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dalam pasal 11 ayat (1), membahas RAPBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dalam pasal 23 ayat (2), serta beberapa wewenang lain yang diberikan oleh konstitusi. Meskipun dalam lembaga legislatif di Indonesia (pusat) ini terdiri dari DPR RI dan DPD yang dipayungi MPR RI, eksistensi DPR RI ini lebih terekspose daripada DPD. Hal ini dikarenakan hampir semua konstelasi peraturan perundang-undangan yang ada di republik ini dihasilkan dari urung rembug antara DPR RI dengan Presiden. Sedangkan DPD hanya dilibatkan manakala itu berkaitan dengan persoalan-persoalan daerah seperti merumuskan RUU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hal lainnya sebagaimana disebutkan dalam UU mengenai Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

KORELASI ANTARA LEMBAGA LEGISLATIF DENGAN EKSEKUTIF DALAM BIROKRASI
            Sebagai partner dalam birokrasi, eksistensi lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam menjalankan birokrasi mesti tetap kondusif. Hal ini agar segala sesuatu yang menjadi program eksekutif (pemerintah dalam arti sempit) akan terealisasi dan mengena pada apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan rakyat baik berupa kebijakan atau regulasi dan sebagainya. Selain itu, korelasi antara legislatif dengan eksekutif juga nampak pada proses pembuatan UU (hukum positif), dan beberapa realita lain yang dilakukan oleh presiden sebagai penyelenggara eksekutif tetapi mesti mendapat legitimasi atau persetujuan dari legislatif. Silang argument merupakan hal yang manusiawi atau lumrah, selama masih di dalam koridor untuk kepentingan rakyat.
Mengingat oknum-oknum yang ada di lembaga legislatif (kecuali DPD) maupun eksekutif adalah orang partai (non independent), maka jelas bahwa kehadiran mereka juga tentu diikutsertakan dengan hadirnya kepentingan-kepentingan baik itu kepentingan partai pengusung maupun kepentingan personal. Hal ini kalau tidak diperhatikan dan ditempatkan secara proporsional maka akan sangat berbahaya karena tentu akan menghegemoni jalannya birokrasi karena di sana akan terjadi perhelatan kepentingan, implikasinya kepentingan publik menjadi terabaikan. Dengan alasan demi kepentingan publik, mereka memajukan hasrat atau syahwat politik (kekuasaan). Padahal apabila ditelisik atau ditelaah, itu malah bertentangan dengan kemauan publik. Hal semacam ini sebaiknya dihindari kalau kita betul-betul ingin mengadakan birokrasi yang berkualitas dan memihak pada kepentingan publik sebagaimana tujuan awal berdirinya negara.
Birokrasi yang tidak efisien, efektif, dan akomodatif mengakibatkan cita-cita dari konstitusi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera menjadi hal yang utopis. Pancasila dan UUD 1945 mesti dijadikan parameter utama untuk menjalankan birokrasi dan perumusan kebijakan publik sehingga dengan demikian pelan tapi pasti cita-cita konstitusi itu akan menjadi nyata. Meskipun secara harafiah, sebuah ideologi tidak mungkin tercapai secara 100%. Relasi antara lembaga legislatif dengan eksekutif dalam birokrasi dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan khususnya dalam UUD 1945 misalnya pada pasal 3 ayat (2 dan 3), pasal 5 ayat (1), pasal 7A, pasal 7B ayat (1 sampai 7), pasal 7C, pasal 8 ayat (2), pasal 9 ayat (1 dan 2), pasal 11 ayat (1 dan 2), pasal 13 ayat (1,2, dan 3), pasal 14 ayat (2), pasal 20 ayat (2 sampai 5), pasal 22 ayat (2), pasal 23 ayat (2 dan 3), dan mungkin masih ada lagi peraturan perundang-undangan yang melibatkan antara lembaga legislatif dalam hal ini MPR RI dengan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden).

LEMBAGA LEGISLATIF DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG DEMOKRATIS, ADIL DAN MAKMUR
Tujuan akhir dari berdirinya sebuah negara adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini lembaga legislatif sebagai salah satu unsur pemerintah tentu mempunyai tanggung jawab moril untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan negara itu  yang riilnya tertuang dalam konstitusi. Sebagai konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi di republik ini, maka tuntutan untuk menjalankan birokrasi secara demokratis tidak bisa dihindari. Keadaan ini tentu akan berimbas pada situasi di masyarakat. Menurut Sri Untari (2006:31) ciri-ciri pemerintahan yang demokratis adalah:
1.      Pemerintah mengayomi masyarakat
Tindakan pemerintah untuk mengemban, mengayomi rakyat disebabkan pemerintah memperoleh kekuasaan dari rakyatnya, dimana pemerintahan baru terbentuk setelah rakyat mengadakan pemilihan, bukan karena keturunan.
2.      Adanya keseimbangan kekuasaan
Dalam pemerintahan yang bercorak demokratis terdapat keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan keseimbangan ini tidak akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau kekuasaan yang melampaui batas atau hukum. Dengan keseimbangan kekuasaan ini masing-masing penyelenggara pemerintahan dapat diawasi secara efektif, sehingga dapat mempertanggung jawabkan segala pekerjaannya.
3.      Persuasi diutamakan
Penyelenggaraan pemerintahan memerlukan partisipasi rakyat. Dalam rangka menggerakkan keikutsertaan rakyat dalam segala kegiatan pemerintahan maupun pembangunan. Dengan demikian pemerintah dalam menggunakan pengarahan, motivasi, bimbingan dan ajakan sehingga partisipasi rakyat lahir karena kesadaran, bukan keterpaksaan.
4.      Bersifat terbuka
Pemerintahan yang bercorak demokratis pada umumnya bersifat terbuka bagi warga negara maupun bagi negara lain. Hal ini berarti rakyat maupun masyarakat luar negeri dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini transparansi diutamakan.
5.      Jaminan kemerdekaan atau kebebasan
Corak demokratis akan menjamin kebebasan dan kemerdekaan serta seluruh hak-hak yang dimiliki rakyatnya sesuai hukum yang berlaku, sehingga rakyat hidup dengan tenang, tanpa perasaan tertekan atau takut.
6.      Politik damai
Pada dasarnya dengan corak demokratis negara berusaha untuk mengadakan hubungan luar negeri dengan berbagai bangsa dengan prinsip saling menghargai, menguntungkan, membantu, dengan demikian tercipta hubungan luar negeri yang harmonis, saling pengertian dan pada akhirnya terwujud perdamaian dunia yang abadi.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita dari pada negara ini yang telah tertuang dalam konstitusi serta berpatokan pada Pancasila, maka sinergis antara ketiga lembaga negara ini (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) menjadi urgent untuk diperhatikan dan dijaga. Kepentingan rakyat mesti dijadikan sebagai kiblat utama dalam merumuskan atau membuat kebijakan publik. Sebagaimana eksistensi rakyat merupakan salah satu syarat utama berdirinya sebuah negara yang riilnya mesti diperhatikan kesejahteraan dan kemakmurannya. Intisari demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” ini mesti kita pahami, lalu kita aktualisasikan dalam proses birokrasi dan dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Usia kemerdekaan bangsa ini hampir mencapai 7 dekade, tetapi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang konon katanya menjadi tanggung jawab negara khususnya pemerintah dapat dikatakan masih jauh dari apa yang digariskan oleh Pancasila dan UUD 1945. Hal ini merupakan kausal dari pengelolaan atau manajemen birokrasi dan sumber daya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke maupun dari Miangas sampai pulau Rote belum optimal atau belum sepenuhnya didedikasikan untuk kepentingan atau kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kepentingan-kepentingan pragmatis para elit maupun konglomerat masih banyak mengelilingi proses birokrasi yang ada di negeri ini. Hal inilah yang menjadi penghambat utama dalam membangun masyarakat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Sehingga dengan demikian pengelolaan birokrasi dan sumber daya  yang ada terkhusus Sumber Daya Alam (SDA) mesti benar-benar berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.  

PANCASILA SEBAGAI PARAMETER DALAM PROSES BIROKRASI
Pada tataran ide, revitalisasi Pancasila harus dikembalikan pada eksistensinya sebagai ideologi bangsa dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai. Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti “Membela Pancasila Sampai Mati” atau “Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan” menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis, atau lebih buruk lagi hanya dianggap sebatas instrument tujuan. Akibatnya, kekecewaan mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat (Sukardi Rinakit, 2008:4).
Melihat realita empiris yang ada, maka Pancasila mesti betul-betul dijadikan sebagai asas tertinggi dalam menjalankan birokrasi termasuk dalam membuat regulasi atau kebijakan publik. Baik itu dalam lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif mesti berdasarkan atas keadilan sosial dan tegak lurus  dengan sila-sila Pancasila lainnya. Hukum mesti benar-benar dijadikan sebagai panglima dan rambu-rambu untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Sebagai penjabaran dari apa yang ada pada Pancasila, maka UUD 1945 tidak bisa terlepas dari hal ini. Di samping itu, prinsip “4 Pilar” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika juga mesti disejalankan. Jika demikian maka ekspektasi kita adalah keadaannya membalik di mana segala sesuatunya baik itu hukum, regulasi atau kebijakan publik lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Tidak seperti yang selama ini terjadi atau yang dilakukan oleh birokrat yang semata-mata untuk mencapai kepentingan golongan atau personal, dan lebih parahnya lagi untuk kepentingan pihak asing. Retorika semestinya berbanding lurus dengan implementasi, sehinggaa tidak menimbulkan stigma “pembohongan atau pembodohan publik”.

PENUTUP
            Dalam proses birokrasi, kepekaan birokrat terhadap apa yang menjadi kebutuhan dan kemauan publik menjadi sesuatu yang penting untuk dimiliki. Karena pada dasarnya dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, rakyat menduduki posisi yang esensial sebagaimana unsur penting terbentuknya sebuah negara. Di samping itu, rakyat juga yang memberikan mandat bagi penguasa untuk menjalankan fungsi-fungsi birokratis. Lembaga legislatif sebagai kumpulan oknum-oknum yang mewakili (representatif) rakyat dalam birokrasi diharapkan dapat memainkan peran sebagaimana mestinya termasuk selalu dekat dan mengetahui apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan rakyat (Constituency Work). Begitu pula pada lembaga eksekutif maupun yudikatif. Ini merupakan sesuatu yang sakral karena mereka mewakili jutaan rakyat Indonesia yang menghuni kepulauan di nusantara ini. Sehingga dengan demikian ekspektasinya adalah tujuan berdirinya republik ini yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat sepenuhnya dirasakan secara nyata.

DAFTAR RUJUKAN

Untari, Sri, 2006. Ilmu Pemerintahan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

Rinakit, Sukardi, 2008. Tuhan Tidak Tidur. Jakarta: Kompas

Lutfi, Mustafa, 2011. Perihal Negara, Hukum dan Kebijakan Publik. Malang: SETARA Press

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ke IV
Seta. (2009). Badan Legislatif di Indonesia. (Online). (http://setabasri01.blogspot.com) Diakses 05 Oktober 2014

Revli. (2014). Pemisahan Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. (Online). (http://www.seputarsulut.com). Diakses 05 Oktober 2014
















Kamis, 18 September 2014

TUJUAN HUKUM



*Batasan dan Definisi
  Sesungguhnya hukum adalah alat, bukan tujuan. Manusia-lah yang memiliki tujuan. Karena manusia sebagai bagian dari masyarakat (kehidupan sosial) tidak mungkin dapat dipisahkan dari hukum, maka maksud dari tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk menggapai tujuan tersebut.
  Berkaitan dengan tujuan hukum, maka terdapat beberapa pendapat atau teori. Namun apabila diinventarisasi, maka hanya terdapat dua teori.Kedua teori ini adalah teori etis dan teori utilitas.

      1. Teori Etis
  Teori etis ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea, Aristoteles berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk mencapai keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah ius suum ciuque tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya. Sehingga dengan demikian, kita menjadi tahu bahwa keadilan tidak bisa disamaratakan, sebab kalau disamaratakan maka justeru akan terjadi ketidakadilan.
  Selanjutnya Aristoteles mengemukakan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Namun ada pakar hukum yang lain membedakan keadilan atas 6 macam, yaitu keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.
  -Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Tidak menuntut semua orang mendapat bagian yang sama, melainkan sesuai perbandingan jasanya.
  -Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap individu sama banyak (sama rata) tanpa melihat jasa-jasanya.
  -Keadilan vindikatif adalah keadilan yang memberikan ganjaran atau sanksi kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang diperbuat.
  -Keadilan kreatif adalah keadilan yang diberikan untuk memberikan perlindungan kepada individu yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya.
  -Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap individu sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang.
  -Keadilan legalis adalah keadilan yang ingin diciptakan oleh UU. Misalnya pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
  Teori ini dinamakan teori etis karena menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Menurut L.J  van Apeldoorn teori etis ini dianggap tidak adil atau berat sebelah karena terlalu mengagung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak mampu membuat peraturan umum. Sedangkan peraturan umum itu sarana untuk kepastian dan tertib hukum.

     2. Teori Utilitas
  Teori ini diperkenalkan oleh Jeremy Bentham dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1780). Menurut Bentham, hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang bermanfaat atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah "Kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak". Ajaran Bentham disebut juga dengan eudaemonisme atau utilitarianisme. Di dalam teori ini mengajarkan bahwa dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak.
  Seperti halnya teori etis, teori utilitas pun dianggap berat sebelah karena teori ini dianggap bersifat subyektif, relatif, dan individual.

  Atas kelemahan kedua teori inilah muncul teori gabungan yaitu teori pengayoman. Teori ini dikemukakan oleh beberapa tokoh yaitu L.J van Apeldoorn, van Kan, dan Bellefroid. Menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik itu secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif maksudnya upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan secara pasif artinya mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.

Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah:
   a. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan
   b. Mewujudkan kedamaian sejati
   c. Mewujudkan keadilan
   d. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Kamis, 11 September 2014

Tokoh-Tokoh Dalam Teori Sosiologi

Teori Giddens
Ada dua pendekatan yang kontras bertentangan, dalam memandang realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti, fungsionalisme Parsonian dan strukturalisme, yang cenderung ke obyektivisme). Kedua, pendekatan yang terlalu menekankan pada individu (seperti, tradisi hermeneutik, yang cenderung ke subyektivisme).
Menghadapi dua pendekatan yang kontras berseberangan tersebut, Anthony Giddens tidak memilih salah satu, tetapi merangkum keduanya lewat teori strukturasi. Lewat teori strukturasi, Giddens menyatakan, kehidupan sosial adalah lebih dari sekadar tindakan-tindakan individual. Namun, kehidupan sosial itu juga tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial.
Menurut Giddens, human agency dan struktur sosial berhubungan satu sama lain. Tindakan-tindakan yang berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen individual-lah yang mereproduksi struktur tersebut. Tindakan sehari-hari seseorang memperkuat dan mereproduksi seperangkat ekspektasi. Perangkat ekspektasi orang-orang lainlah yang membentuk apa yang oleh sosiolog disebut sebagai “kekuatan sosial” dan “struktur sosial.”
Hal ini berarti, terdapat struktur sosial –seperti, tradisi, institusi, aturan moral—serta cara-cara mapan untuk melakukan sesuatu. Namun, ini juga berarti bahwa semua struktur itu bisa diubah, ketika orang mulai mengabaikan, menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda.

Teori Cooley
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.

Teori Erikson
Menurut Erikson, perkembangan kepribadian seseorang itu berlangsung melalui delapan tahapan yang perpindahannya ditandai oleh adanya krisis jati diri atau identitas. Delapan tahapan tersebut adalah tahap bayi, tahap awal kanak-kanak, tahap bermain, tahap sekolah, tahap remaja, tahap dewasa, tahap dewasa menengah, dan tahap tua.

Teori Horton
Menurut Horton, kepribadian adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi, dan temperamen seseorang. Sikap, perasaan, ekspresi, dan temperamen itu akan terwujud dalam tindakan seseorang jika dihadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang mempunyai kecenderungan berperilaku yang baku, atau berpola dan konsisten, sehingga cirri khas pribadinya.

Teori Jean Piaget
Peer group adalah kelompok pertemanan dengan teman sebaya. Menurut Piaget, hubungan di antara teman sebaya lebih demokratis dibanding hubungan hubungan antara anak dan orangtua. Hubungan antarteman sebaya lebih diwarnai oleh semangat kerja sama dan saling member dan menerima di antara anggota kelompok. Menurut Piaget, dalam keluarga, orang tua dapat memaksakan berlakunya aturan keluarga. Dalam kelompok teman sebaya, aturan perilaku dicari dan diuji kemanfaatannya secara bersama-sama. Ketika anak tumbuh semakin dewasa, peran keluarga dalam perkembangan sosial semakin berkurang dan digantikan oleh kelompok teman sebaya.

Teori Albert Bandura
Pandangan dasar teori sosialisasi adalah bahwa penyimpangan sosial merupakan produk dari proses sosialisasi yang kurang sempurna atau gagal. Menurut Albert Bandura misalnya, anak-anak belajar perilaku menyimpang dengan mengamati dan meniru orang lain yang memiliki perilaku menyimpang. Khususnya, mereka mengamati dan meniru orang yang dekat dengannya.

Teori Emile Durkheim
Emile Durkheim, sosiolog dari Perancis, memperkenalkan konsep tentang anomi (anomie) dalam karyanya yang terkenal The Division of Labour in Society. Ia menggunakan konsep anomi untuk mendeskripsikan kondisi tanpa norma yang terjadi dalam masyarakat. Anomi berarti runtuhnya norma mengenai bagaimana masyarakat seharusnya bersikap terhadap yang lain. Masyarakat tidak tahu lagi apa yang bias diharapkan orang lain. Kondisi itu, menurut Durkheim, akan melahirkan perilaku menyimpang. Anomi mengacu pada hancurnya norma-norma sosial, ketika norma tidak lagi mengontrol tindakan anggota masyarakat.

Teori Goffman
Bagi Erving Goffman, perilaku menyimpang terjadi karena adanya stigma. Stigma adalah pernamaan yang sangat negative kepada seseorang/kelompok sehingga mampu mengubah secara radikal konsep diri dan identitas sosial mereka. Adanya stigma akan membuat seseorang atau sebuah kelompok dianggap negatif dan diabaikan, sehingga mereka disisihkan secara sosial.

Teori Howard S. Becker
Menurut Howard S. Becker tindakan perilaku menyimpang sesunguhnya tidak ada. Setiap tindakan sebenarnya bersifat “netral” dan “relatif”. Artinya, makna tindakan itu relatif tergantung pada sudut pandang orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang karena orang lain/masyarakat memaknai dan menamainya (labeling) sebagai perilaku menyimpang. Penyebutan sebuah tindakan sebagai perilaku menyimpang sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan.

Teori Caesare Lombroso
Lombroso menyatakan, bahwa pelaku kejahatan pada umumnya memiliki cirri-ciri fisik yang berbeda bila dibandingkan dengan orang kebanyakan. Menurutnya, para pelaku kajahatan umumnya memiliki cirri fisik: raut muka murung/sedih, rahang dan tulang pipi menonjol keluar, bulu-bulu yang berlebihan, dan jari-jari yang luar biasa panjang, sehingga membuat mereka menyerupai nenek moyang manusia (kera).

Teori Robert K. Merton
Teori ketegangan (strain theory) dikemukakan oleh Robert K. Merton. Ia menyatakan bahwa perilaku meyimpang lahir dari kondisi sosial terentu. Tepatnya, munculnya perilaku menyimpang ditentukan oleh seberapa baik sebuah masyarakat mampu menciptakan keselarasan antara aspirasi warga masyarakat dengan cara pencapaian yang dilegalkan masyarakat. Jika tidak ada keselarasan antara aspirasi-aspirasi warga masyarakat dengan cara-cara legal yang ada, maka akan lahir perilaku menyimpang. Jadi, perilaku menyimpang merupakan akibat dari adanya ketegangan antara aspirasi apa yang dianggap bernilai oleh warga masyarakat dan cara pencapaian aspirasi yang dianggap sah oleh masyarakat.


Junaidi Doni Luli
Mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang

Sabtu, 30 Agustus 2014

PANCASILA DI TENGAH KONDISI BANGSA INDONESIA SAAT INI

Junaidi Doni Luli (130711615631)
Mahasiswa Angkatan 2013
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Abstrak: Pada era reformasi saat ini, Pancasila yang merupakan dasar negara serta ideologi yang memuat nilai-nilai karakter bangsa pada sila-silanya tidak diimplementasikan  secara murni dan konsekuen baik oleh pemerintah maupun rakyat secara keseluruhan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang diperjuangkan dalam mencapai reformasi hingga berakhirnya rezim Soeharto pada 1998 silam. Akibatnya berbagai persoalan internal maupun eksternal bermunculan. Hal ini tentu berimbas pada kondisi dan keseimbangan serta kestabilan negara ini. Sehingga aktualisasi karakter yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat ditunda lagi. Karena hanya itulah yang dapat kita lakukan agar kita tetap tegar menghadapi segala goncangan yang terjadi sehingga kita  tetap terintegrasi dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kata kunci: Pancasila, kondisi, bangsa Indonesia

Saat ini kita sering mendapat atau mendengar informasi dari berbagai sumber atau media seperti radio, televisi, koran, dan sebagainya mengenai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat kita. Dinamika itu di antaranya adalah pemilihan umum legislatif yang baru saja kita lalui, bencana alam, kasus pemerkosaan, bentrokan antar warga maupun pelajar, perdagangan anak, kasus TKI di luar negeri, kasus narkoba, demonstrasi karena kenaikan harga, kasus pornografi, kasus pembunuhan, kasus korupsi yang dilakukan oleh para birokrat, dan berbagai persoalan lainnya. Dengan munculnya berbagai persoalan yang ada, pemerintah melalui lembaga yang berwenang juga mulai berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi ini. Berbagai upaya telah dilakukan. Meskipun demikian, kadang perjuangan dan harapan tidak sesuai dengan realita. Masih ada hambatan-hambatan yang mesti dihadapi untuk menyelesaikan semua itu.
Dari berbagai fenomena sosial yang ada, kasus pelanggaran hukum merupakan persoalan yang sangat sulit untuk diselesaikan dari pada persoalan-persoalan lain. Hal ini tentu menandakan bahwa kesadaran hukum di republik ini masih rendah. Masalah hukum yang sering dilanggar oleh para birokrat  seperti kasus korupsi, kolusi, nepotisme, gratifikasi, dan berbagai kasus lainnya sepertinya sulit untuk diselesaikan atau bahkan tidak bisa dihilangkan dari negeri ini. Selain itu, kasus- kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat juga kian marak. Apakah ini semata-mata karena kesadaran untuk mematuhi dan menjalani hukum masih rendah, atau juga karena peraturan perundang-undangan (sistem) yang ada masih belum tegas sehingga kasus yang sama sering terjadi seperti korupsi dan juga beberapa kasus lain. Ini tentu menjadi pertanyaan dan tantangan bagi kita semua.

EKSISTENSI PANCASILA DALAM MASYARAKAT INDONESIA
Melihat realita-realita yang ada, dapat ditarik benang merah bahwa penghayatan dan pengimplementasian nilai-nilai Pancasila pada era reformasi saat ini tidak jauh beda dengan era orde baru yang lalu. Yang mana pada awalnya Pancasila dan UUD 1945 hendak dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan negara secara murni dan konsekuen malah banyak yang melenceng dari tujuan awal itu. Pemahaman dan pengimplementasian  nilai-nilai Pancasila tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu merupakan suatu keharusan karena kalau dilihat dari aspek yuridis, Pancasila dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di negara ini. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) juga menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berarti jelas bahwa dalam penyelenggaraan negara serta segala sesuatunya yang menyangkut kepentingan masyarakat di negara ini mesti berdasarkan hukum yang tidak terlepas dari Pancasila sebagai sumber utamanya.
Pancasila juga merupakan nilai-nilai luhur bangsa yang ada di dalam masyarakat kita di seluruh kepulauan Nusantara ini. Nilai luhur bangsa yang dimaksud adalah nilai gotong royong, nilai religius, nilai toleransi, nilai keadilan, nilai demokrasi, saling mencintai dan menghargai antar sesama, tanggung jawab, serta nilai-nilai lain mesti kita pahami dan ilhami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, Pancasila juga merupakan sumber hukum nasional dan juga cita-cita bangsa Indonesia. Dalam artian bahwa Pancasila beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mesti dijabarkan menjadi norma moral, norma hukum, serta etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, secara formal bangsa Indonesia telah memiliki dasar serta  pedoman yang jelas untuk melaksanakan pembangunan dan mewujudkan masa depan yang dicita-citakan itu. Persoalannya adalah bagaimana untuk memahami serta mengimpelentasikan apa yang sudah ada ini ke dalam kehidupan praktis di setiap pribadi kita masing-masing terutama para birokrat yang duduk dalam lembaga negara yang notabene sebagai pelaksana sekaligus pemegang kendali pembangunan tersebut. Hal ini agar bangsa ini tidak kehilangan jati diri serta pegangan untuk menghadapi krisis multi dimensi yang sedang melanda negeri ini dalam mencapai masa depan yang dicita-citakan itu.

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SAAT INI
Pemerintah maupun DPR RI sebagai lembaga representasi seluruh rakyat Indonesia yang membuat dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang ada di republik ini, sebenarnya mereka dituntut lebih untuk menunjukan sikap dan tindakan yang patut dijadikan contoh bagi masyarakat. Tapi realita berbicara lain. Sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat yang mempunyai salah satu tugas dan fungsi untuk membuat undang-undang (fungsi legislasi), ternyata angka pelanggaran hukum seperti kasus korupsi sangat tinggi di lembaga ini. Fenomena ini juga tentu bertolak belakang dengan apa yang seharusnya dilakukan lembaga negara ini. Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi di pusat, tapi menjalar sampai ke daerah-daerah bahkan sampai ke desa-desa.
Saat ini tidak hanya lembaga DPR yang berhasil dijamah korupsi maupun kasus hukum lainnya, lembaga negara terpercaya independensi dan integritasnya seperti Mahkmah Konstitusi pun berhasil dinodai oleh tindakan kotor ini. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan turunnya kepercayaan dan optimisme publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada. Eksistensi lembaga negara seperti DPR RI, POLRI, dan Mahkamah Konstitusi di mata rakyat sepertinya tidak terlalu sakral lagi karena menyimpang dari apa yang seharusnya lembaga ini berbuat atau bertindak. Dalam artian lembaga yang seharusnya menjadi tameng atau penegak hukum, malah lembaga ini yang melanggar hukum tersebut. Begitu pula kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat luas se-Nusantara ini. Penegakan hukumnya masih belum seadil-adilnya. Artinya hukum yang dibuat ini belum disertai dengan rasa konsisten atau tekad yang penuh untuk menjalankan dan menaati hukum yang tercipta itu secara murni dan konsekuen. Hal ini juga tentu berkaitan dengan memudarnya nilai-nilai luhur bangsa seperti keadilan dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum.
Di tengah kondisi hiruk pikuk negeri ini, jati diri bangsa yaitu Pancasila seakan-akan terlupakan. Hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai realita empiris yang ada di sekeliling kita baik itu adanya pengabaian atau pelanggaran hak, diskriminasi, dan sebagainya. Lantas apa yang mesti kita lakukan? Apakah Pancasila hanya pantas untuk dihafal tanpa ada implementasi nyata? Tentu tidak. Kita tentu punya tanggung jawab dan tugas untuk menghidupkan kembali apa yang terkandung dalam Pancasila itu. Semua elemen dan kekuatan yang ada dalam bangsa ini khususnya kaum cendekiawan mesti secara sinergis untuk mengobarkan kembali api semangat Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini agar nilai-nilai karakter yang terkandung dalam sila-sila Pancasila itu bisa diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai gotong royong, nilai religius, nilai toleransi, nilai tanggung jawab, nilai keadilan, nilai demokrasi, saling mencintai dan menghargai antar sesama, serta nilai-nilai lain mesti kita pahami dan wujud nyatakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga dengan demikian akan  munculnya kesadaran hukum serta tanggung jawab masyarakat secara personal maupun dalam masing-masing lembaga pemerintahan akan terbangun.
Semua elemen bangsa baik masyarakat maupun pemerintah dari Sabang sampai Merauke mesti menyatukan tekad untuk hal ini agar terciptanya suasana harmonis dan damai untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Tentu dengan profesi kita masing-masing dan memiliki kesadaran untuk mengisi kemerdekaan yang diwariskan oleh para pendiri negara (founding father) ini dengan penuh tanggung jawab dan sejalan dengan apa yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Berkarya dan berbakti kepada bangsa dan negara merupakan sebuah keharusan yang wajib diemban oleh masing-masing personal dalam masyarakat. Penulis secara pribadi sangat optimis jikalau apa yang terkandung di dalam Pancasila kita hayati dan implementasikan secara murni dan konsekuen, maka persoalan-persoalan yang ada dapat diselesaikan secara cepat dan tepat sehingga pada ahhirnya terciptalah kondisi harmonis dan kondusif, seimbang dan selaras seperti yang telah tergambar dalam Pancasila khususnya sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta penjabarannya dalam pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke-IV.

TANTANGAN BANGSA INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI
Pada dasarnya tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini ialah wujud kesejahteraan manusia secara lahir maupun batin, sosial dan moral. Kesejahteraan secara lahir batin terutama terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat yaitu sandang, pangan, papan, rasa keamanan dan keadilan, serta kebebasan beragama atau kepercayaan. Kita mesti bersyukur meskipun bangsa ini diderah oleh berbagai persoalan yang datang silih berganti tetapi kita masih teguh dan utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bermasyarakat plural atau heterogen baik dari aspek budaya, etnik, adat istiadat, bahasa, dan religi. Hal ini tentu berkaitan juga dengan faktor yang dapat menyebabkan integrasi NKRI ini mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Menurut Suko Wiyono (2012:34), faktor-faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa Indonesia ini antara lain: (1) Nilai-nilai luhur Pancasila (fundamental, instrumental, praksis), (2) Hukum yang ditegakan secara konsisten dan adil, (3) Kepemimpinan yang efektif, (4) Pembangunan yang bermuatan harmoni, dan (5) Kekuatan (force). Sedangkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia adalah: (1) Kekuatan neoliberalisme yang mengubah negara kesejahteraan menjadi negara korporasi (dari welfare state menjadi corporate state). Fundamentalisme pasar, (2) Fundamentalisme theokrasi dan sektarianisme, (3) Kesenjangan struktural, (4) Separatisme, (5) Kekerasan politik, (6) Dampak globalisme, (7) Sentralisasi dan desentralisasi yang tidak berorientasi pada kepentingan publik.
Rentetan peristiwa kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Ambon merupakan fenomena yang dikhawatirkan akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Untuk mengatasi dan mencari solusi untuk fenomena itu, maka perlu digiatkan pendidikan karakter (character building), karena perilaku masyarakat amat erat kaitannya dengan tingkat penghayatan dan pengamalan masyarakat terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Pendidikan karakter merupakan  suatu kebutuhan sosio kultural yang sangat mendesak bagi kehidupan yang berkeadaban. Pewarisan nilai antar generasi dan dalam satu generasi merupakan wahana sosiopsikologis dan menjadi tugas dari proses peradaban-peradaban (Budimansyah, 2010:149).
Pemahaman serta kesadaran untuk menjalankan dan mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada mesti ditanamkan dalam hati dan sanubari kita masing-masing. Hal ini tentu lebih efektif kalau dilakukan sejak kecil. Hal ini tentu berkaitan dengan lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, sampai pada perguruan tinggi. Melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), nampak bahwa pemerintah secara serius menanamkan nilai-nilai luhur yang ada di dalam Pancasila kepada peserta didik sehingga kelak mereka tahu akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini serta mampu mengimplemantasikan nilai-nilai Pancasila yang ada. Karena pendidikan juga tidak hanya mencetak manusia-manusia yang cerdas, terampil, namun juga mempertahankan, mengembangkan dan mengimplementasikan nilai-nilai filosofi bangsa yang merupakan identitas sekaligus ciri khas bangsa Indonesia.
Melihat realita saat ini, memang kita akui bahwa bangsa ini sedang mengalami degradasi terutama di kalangan muda maupun masyarakat pada umumnya. Degradasi ini tentu merupakan sesuatu yang menyimpang dari yang seharusnya di mana ini merupakan salah satu dampak negatif dari globalisasi yang tidak difilterisasi secara baik dan murni. Hal ini ditandai dengan banyaknya kasus pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, perdagangan anak, penggunaan narkoba, pornografi dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa hal ini berkaitan dengan degradasi moral. Degradasi ini dapat kita atasi dengan filterisasi pengaruh globalisasi secara murni dan juga dengan memperdalam pemahaman serta pengamalan nilai religius dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta dengan cara positif lain yang berhubungan dengan nilai susila dan moral yang ada dalam masyarakat bangsa ini.
Apabila bangsa ini tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan zaman yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa kita akan tergerus olehnya. Ancaman itu datang dari dalam (internal) kalau kita tidak berpegang teguh pada filsafat dan ideologi bangsa kita sendiri yaitu Pancasila. Bicara soal pengaruh luar seperti dampak globalisasi, memang tidak bisa kita hindari. Tetapi pengaruh dan perubahan yang datang dari luar seperti globalisasi mesti difilterisasi dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat kita sehingga  kelak kita tidak kehilangan jati diri. Apa yang sesuai dengan budaya bangsa, nilai dan norma yang ada ada dalam masyarakat kita bawa dan jadikan sebagai nilai tambah. Sedangkan apa yang bertentangan atau bertolak belakang dengan budaya bangsa, maka segera kita tinggalkan.

PANCASILA SEBAGAI PAYUNG NKRI
Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika yang lebih lazimnya disebut dengan istilah “4 Pilar” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mesti diletakan pada bagian terdepan dalam penyelenggaraan negara baik secara ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal). Ke dalam (internal) artinya segala sesuatu yang menyangkut penyelenggaraan di dalam negara yang berkaitan dengan permasalahan sosial, ekonomi, budaya, dan berbagai permasalahan horisontal lainnya mesti berdasarkan pilar-pilar di atas. Sedangkan ke luar (eksternal) artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara ke luar seperti mengadakan perjanjian, kerjasama pertahanan dengan negara lain, dan sebagainya juga mesti berdasarkan pada pilar-pilar berbangsa dan bernegara ini. Hal ini tentu berkaitan dengan posisi sakralnya 4 pilar tersebut. Dan juga ke-4 pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini menjadi ciri khas yang membedakan eksistensi bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Bangsa Indonesia yang dianugerahi berbagai sumber daya dan potensi-potensi alam yang ada tentu menjadi sebuah rahmat atau nilai tambah bagi bangsa ini untuk maju dan memakmurkan serta menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan. Seperti yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”. Tinggal saja bagaimana sumber daya dan potensi alam yang ada diolah dan dimanfaatkan sepenuhnya sesuai dengan bunyi UU di atas untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat tanpa ada campur aduk kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Bangsa Indonesia juga dianugerahi berbagai keanekaragaman budaya dan adat istiadat masyarakat yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara ini. Hal ini patut menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia karena sepanjang waktu kita akan tetap bersama di bawah naungan NKRI serta dipayungi ideologi Pancasila yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai kunci pemersatu segala keanekaragaman yang ada. Meskipun saat ini kondisi faktual bangsa kita sering mengalami gejolak-gejolak mungkin karena ada perbedaan kepentingan maupun perbedaan hal lainnya. Integrasi serta kesamaan kedudukan dalam berbagai lini kehidupan bangsa mesti dilakukan secara murni. Sehingga hal-hal yang dapat mendisintegrasikan bangsa ini bisa diminimalisir kehadirannya.
 Ciri khas individu warga negara Indonesia untuk bergotong royong, tolong menolong, dan saling menghargai baik di dalam keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara telah tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah penjabaran dari nilai-nilai Pancasila yang sudah ada. Nilai-nilai sila-sila Pancasila yaitu kepejuangan, mengemban tugas untuk melindungi bangsa serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta turut serta menjaga ketertiban dunia. Hal ini tentu berkaitan juga dengan cita-cita bangsa yang mesti diwujudkan yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Menurut Suko Wiyono (2012:95) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, serta ideologi bangsa yang memuat nilai-nilai atau karakter bangsa Indonesia terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu sebagai berikut:
1.      Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kepercayaan dan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa, kebebasan beragama dan berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak paling asasi bagi manusia, toleransi di antara umat beragama dan berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, serta kecintaan pada semua makhluk ciptaan Tuhan, khususnya makhluk manusia.
2.      Nilai-nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kecintaan pada sesama manusia sejalan dengan prinsip bahwa manusia adalah satu adanya, kejujuran, kesamaderajatan manusia, keadilan, dan keadaban.
3.      Nilai-nilai Persatuan Indonesia di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti persatuan, kebersamaan, kecintaan pada bangsa dan tanah air, serta Bhineka Tunggal Ika.
4.      Nilai-nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kerakyatan, musyawarah mufakat, demokrasi, hikmat kebijaksanaan, dan perwakilan.
5.      Nilai-nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti keadilan, keadilan sosial, kesejahteraan lahir dan batin, kekeluargaan dan kegotongroyongan. 
Agar nilai-nilai serta prinsip-prinsip asasi yang terkandung di dalam Pancasila ini dapat terimplementasi secara murni dan konsekuen maka pembentukan karakter pada setiap generasi bangsa mesti dilakukan secara optimal. Hal ini sangat memerlukan kerjasama serta partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa seperti para guru, orang tua, serta masyarakat secara keseluruhan. Sehingga harapannya dengan dijiwai dan diimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang ada, tujuan serta cita-cita dari pada bangsa dan negara ini dengan mudah  tercapai.

PENUTUP
Dengan melihat berbagai persoalan-persoalan yang timbul saat ini baik persoalan yang berkaitan dengan moral, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta persoalan lainnya maka  kita bisa mengatakan bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis multi dimensi. Persoalan mendasar seperti moral dan sosial tidak lain karena disebabkan oleh memudarnya nilai-nilai luhur bangsa ini yang lebih riilnya telah tertuang dalam Pancasila dan jabarannya dalam pembukaan UUD 1945. Persoalan mendasar yaitu moral dan sosial inilah yang kemudian bermuara pada persoalan lain seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena Pancasila ini mengandung nilai-nilai luhur bangsa, dan juga merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini maka penghayatan dan pengimplementasian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sebuah kewajiban mutlak. Hal ini dilakukan agar keseimbangan serta keselarasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini dapat tercipta sehingga cita-cita dari negara Proklamasi pada 17 Agustus 1945 itu dapat dengan mudah dicapai.

DAFTAR RUJUKAN
Wiyono, Suko, 2012, Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara, Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press
Budimansyah Dasim, 2010, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa, Widya Bandung: Aksara press
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ke IV.
Kansil, C.S.T., 1980, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Pradnya Paramita