Jumat, 26 Juni 2015

NOMOKRASI, DEMOKRASI, DAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Email:
junaidi.bantel@gmail.com
Abstrak: Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan dua aspek yang mempunyai kaitan yang sangat erat. Sebuah negara dikatakan telah berdemokrasi manakala perlindungan akan HAM pun ikut dimajukan, begitu pula sebaliknya. Penegakan demokrasi dan penghormatan serta perlindungan HAM merupakan konsekuensi dari paham negara hukum (nomokrasi) yang telah dianut suatu negara, termasuk di Indonesia. Ketiga aspek ini sedang gencar-gencarnya digaungkan oleh negara-negara modern saat ini. Karena hanya dengan penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia melalui penegakan hukum secara murni dan konsekuen bagi warga negara yang dapat menjamin bagi mereka untuk berpikir dan mengeluarkan pendapat serta ekspresi hak lainnya yang berkaitan dengan demokrasi. Jika kita tinjau dari perspektif Pancasila, demokrasi dan Hak Asasi Manusia merupakan sesuatu yang sangat dijunjung tinggi seturut dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan dan tentu hal ini telah tertuang dalam Pancasila sebagai ideologi maupun UUD 1945 beserta peraturan perundang-undangan di bawahnya. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi yang wajib dimintai legitimasi oleh pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. Sehingga sudah semestinya segala tindakan, peraturan, maupun kebijakan publik yang hendak diterapkan mesti mendapat legitimasi dari rakyat (legitimasi sosial) di samping legitimasi yuridis dan legitimasi politik. Atau dengan kata lain, pemerintah semestinya menyelenggarakan pelayanan dengan berdasarkan pada social oriented, bukannya business oriented yang acapkali dilakukan oleh birokrat saat ini.
                                                                                                 
Kata Kunci: Nomokrasi, demokrasi, Hak Asasi Manusia, Pancasila
Istilah “demokrasi” dan “Hak Asasi Manusia” seringkali kita dengar dari berbagai media pemberitaan akhir-akhir ini. Sepertinya demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) saat ini menjadi trend bagi negara-negara di dunia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Persoalan mengenai demokrasi dan HAM memang menempati posisi yang penting dalam sebuah penyelenggaraan negara. Rakyat sebagai salah satu unsur penting dalam suatu negara memang memiliki porsi yang besar dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan baik dalam perencanaan (planning), pelaksanaan (implementation), pengawasan (controlling) dan evaluasi (evaluation). Karena rakyat sendiri merupakan sasaran dari pada penyelenggaraan negara yang perlu dilibatkan dalam segala hal mengenai proses kehidupan negara itu sendiri.
Secara etimologis, kata “demokrasi” (democracy) sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata yaitu “demos” yang artinya rakyat dan “kratein/kratos” yang artinya pemerintahan. Secara harafiah, memang dapat dikonklusikan bahwa demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Secara lengkap, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Karena secara riil, penegakan demokrasi pasti diikuti dengan perlindungan akan Hak Asasi Manusia (HAM). Sarana penegakan akan demokrasi dan HAM ini tentu melalui sarana hukum sebagai penjamin akan tegaknya demokrasi dan HAM itu sendiri. Sehingga tidak terbantahkan kalau penegakan demokrasi dan HAM tersebut merupakan konsekuensi logis dari pemilihan konsep “negara hukum” (nomokrasi) yang dibicarakan panjang lebar oleh founding fathers dalam masa-masa sidang BPUPKI maupun sidang PPKI.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak mutlak yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun karena ia merupakan pemberian dari Sang Pencipta dan melekat sejak seseorang itu berada di dalam jabang bayi dan berakhir ketika ia dibaringkan di liang kubur. Dalam konteks internasional, penghormatan akan Hak Asasi Manusia ini secara resmi dideklarasikan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang berlangsung pada tanggal 24 Desember 1948. Hal ini merupakan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia yang bersifat universal dan menjadi patokan bagi negara-negara di dunia (yang telah meratifikasi UDHR tersebut) untuk menghormati hak asasi warga negaranya.
Nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang termuat dalam Pancasila memang menempatkan Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu yang esensial. Di dalam UUD 1945 pasal 28 pun membicarakan mengenai Hak Asasi Manusia. Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengandung pengertian akan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. Setiap orang memiliki kemerdekaan untuk berpikir, mengeluarkan pandangan, serta berbuat tanpa merasa tertekan sedikit pun. Hal ini merupakan ekspresi dari pada Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam hak-hak demokrasinya sebagai seorang warga negara yang wajib dilindungi oleh negara.
                                                                                         
KEDAULATAN RAKYAT (DEMOCRACY)
            Kekuasaan pemerintahan yang dijalankan secara sewenang-wenang (absolutisme) oleh raja sebagai penguasa pada jaman dahulu memang seringkali terjadi di negara-negara saat itu. Raja dianggap sebagai titipan atau wakil Tuhan di bumi, namun seringkali anggapan itu justeru membuat raja bertindak semena-mena sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini menimbulkan banyak intimidasi dan kebebasan rakyat terpasung. Di samping raja, gereja (Paus) pun memainkan peranan (religius) sehingga terjadi afiliasi antara istana dan gereja. Raja berkuasa secara politik dan Paus berkuasa secara religius dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga memang paham atau doktrin yang dikembangkan waktu itu adalah raja memperoleh legitimasi dari kekuasaan Tuhan. Seiring perjalanan waktu, afiliasi ini mulai mengalami kelunturan ketika raja mulai bertindak sendiri untuk menaklukan daerah lain untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Pihak gereja pun mulai kembali menata diri untuk lebih fokus pada penyebaran agama dan afiliasi dengan raja sedikit demi sedikit luruh. Ketika afiliasi dan doktrin yang dibangun bersama dengan gereja mulai mengalami kelunturan, akhirnya timbul sebuah pertanyaan mendasar yaitu dari mana raja memperoleh legitimasi itu?
            Jawaban yang digunakan untuk menjawab pertanyaan mendasar itu adalah raja mendapat legitimasi dari rakyat (demokrasi). Teori untuk menjelaskan hal ini adalah adanya perjanjian masyarakat (social contract) yang memberikan kekuasaan kepada penguasa untuk mengatur dan menyerasikan kepentingan-kepentingan di antara mereka. Sehingga sudah semestinya kekuasaan itu dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan tersebut. Pelibatan rakyat dalam segala lini pemerintahan memang merupakan hal  yang esensial dan perlu diintensifkan. Hal tersebut tidak lain adalah proyeksi dari kedaulatan rakyat (demokrasi) yang menggeser doktrin kedaulatan Tuhan (theokrasi). Meskipun demikian, doktrin kedaulatan Tuhan saat ini telah disandingkan dengan paham demokrasi yang menimbulkan adagium vox populi vox dhei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Kekuasaan pemerintahan yang pada awalnya tersentral pada tangan seorang raja kini telah dirubah dengan konsepsi baru yaitu adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) antara legislatif (pembuat Undang-Undang), eksekutif (pelaksana Undang-Undang), dan yudikatif (pengawas pelaksanaan Undang-Undang). Konsepsi ini sekarang kita kenal dengan istilah Trias Politika. Hal ini sebagai upaya preventif dan meminimalisir adanya kekuasaan yang absolut sebagaimana praktek-praktek pada masa lalu.
            Di samping Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi pun ikut digaung-gaungkan sejak berakhirnya Perang Dunia II dan Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Demokratisasi seringkali menjadi materi pertemuan antara negara-negara di dunia. Karena memang saat ini demokrasi telah dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling ideal dalam menjalankan birokrasi. Pelibatan rakyat secara politis melalui mekanisme Pemilihan Umum dalam menentukan figur kepemimpinan pun sedang gencar-gencarnya digalakkan di negara belahan dunia mana pun.
            Makna demokrasi di sini sebenarnya ada dua macam, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung atau perwakilan (representation). Demokrasi langsung mengandung makna bahwa hak politik rakyat dilakukan secara langsung oleh si pemilik hak politik tersebut, atau tanpa perwakilan. Kemudian demokrasi tidak langsung atau melalui perwakilan (representation) adalah demokrasi yang mengisyaratkan hak politik rakyat tersebut dapat diwakilkan kepada siapa pun yang dipilih oleh si pemilik hak tersebut. Kedua bentuk demokrasi ini dapat kita ambil contohnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yaitu demokrasi langsung dapat kita lihat pada proses Pemilihan Umum (Pemilu) yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan juga untuk memilih para anggota DPR, DPD, maupun DPRD, kecuali bagi orang-orang tertentu yang menurut hukum dapat mewakilkan haknya kepada orang yang ia percaya untuk melaksanakan hak itu (misalnya orang cacat, tuna netra, dan yang mengalami gangguan fisiologis lainnya). Yang kedua adalah demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan ini dapat kita lihat pada tugas dan wewenang yang dilakukan oleh para anggota Dewan baik di pusat maupun di daerah untuk bersama eksekutif ikut membuat peraturan perundang-undangan atau hukum positif, termasuk perumusan kebijakan dan regulasi beserta tindakan-tindakan lain yang bersifat representatif.
            Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia juga menegaskan mengenai demokrasi, hal ini dapat dibuktikan dengan sila Pancasila yang ke-4 yang mengisyaratkan adanya musyawarah untuk mufakat yang tidak lain adalah merupakan ciri dari demokrasi bangsa Indonesia. Segala sesuatu mesti dibicarakan secara damai dan kekeluargaan, untuk memperoleh keputusan yang baik bagi semua pihak terkait. Dalam proses ketatanegaraan, secara eksplisit disebutkan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “ Kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Berkaitan dengan hal ini, sebagaimana dalam praktek demokrasi saat ini yaitu rakyat secara langsung memilih Kepala Negara dan anggota DPR, DPD, maupun DPRD seturut dengan amanat konstitusi. Secara implisit pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, yang kemudian secara politis dititipkan kepada Kepala Negara, DPR, DPD, maupun DPRD. Tidak hanya itu, rakyat juga secara langsung menitip hak politiknya tersebut kepada Gubernur atau pun Bupati sebagai pelaksana birokrasi di daerah. Jikalau pun diwakilkan, maka hal itu mesti sesuai dengan kehendak konstitusi. Di samping itu semua, grundnorm di republik ini yaitu UUD 1945 pun telah mengisyaratkan tentang Pemilihan Umum itu yaitu dalam pasal 22E.
            Dalam kehidupan politik di negeri ini, ada proses Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan anggota DPD secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil (luber jurdil). Di samping itu, ada juga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Pengawas Pemilu yang berkantor di daerah baik provinsi (Bawaslu Provinsi) maupun kabupaten/kota (Panwaslu Kabupaten/Kota), Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Semua rangkaian pelaksanaan Pemiliham Umum (Pemilu) ini tidak lain adalah bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam memilih figur dan arah kepemimpinan untuk kurun waktu atau periode tertentu. Dalam konteks Indonesia, biasanya periode kepemimpinannya adalah 5 tahun, selanjutnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
            Berkaitan dengan hal ini, menurut Moh. Mahfud MD sifat suatu rejim baik demokratis atau pun otoriter tentu mempunyai produk hukum yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, konfigurasi politik akan mempengaruhi produk hukum yang bersifat responsif-otonom maupun konservatif-ortodoks pada masa itu. Produk hukum ini tentu berimplikasi pada proses kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya pada corak pemerintahan rejim tersebut. Indikator yang dapat diperhatikan untuk menentukan demokratis atau otoriter (tidak demokratis) suatu rejim sebagai berikut: (a) sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, (b) peranan eksekutif, dan (c) kebebasan pers.
            Demokrasi sendiri sesungguhnya merupakan suatu proses yang berlangsung secara simultan karena aktor dari demokrasi itu sendiri adalah manusia yang tidak luput dari kecacatan dan sebagainya. Sehingga negara seperti Indonesia memang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk membina dan membangun demokrasi dalam artian demokrasi yang ideal. Pluralitas masyarakat baik dari sisi etnis, ras, agama, golongan, kepentingan, wilayah yang cukup luas dan lain-lain memang merupakan faktor yang mempengaruhi hal ini di samping tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia yang masih dapat dikategorikan rendah. Sehingga memang pengetahuan serta pembudayaan politik dan demokrasi yang ideal seturut budaya bangsa mesti diintensifkan pada lembaga pendidikan sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan pendidikan politik dan demokrasi tersebut.

HAK ASASI MANUSIA (HUMAN RIGHTS) DARI PERSPEKTIF PANCASILA
            Pancasila sebagai ideologi, dasar negara, filsafat bangsa, sekaligus sebagai staatsfundamentalnorm dalam segala sendi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tentu mensyaratkan akan adanya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi setiap warga negara. Jabaran yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 serta pasal-pasalnya juga telah mengurai secara eksplisit mengenai perlindungan hak asasi warga negara sebagai bagian dari HAM. Hak-hak asasi ini meliputi hak hidup, hak berpikir dan mengeluarkan pendapat, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk melangsungkan pernikahan dan melanjutkan keturunan, hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk berkeyakinan dan memeluk salah satu agama serta beribadah menurut agama dan keyakinannya itu, dan masih banyak lagi hak lainnya.
            Di samping itu, ada Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang merupakan deklarasi Hak Asasi Manusia sedunia pada tanggal 24 Desember 1948. Hal ini menandakan bahwa penghormatan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional telah dilakukan yang mana hal ini sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan sebagaimana makhluk ciptaan Tuhan. Di Indonesia, mengenai Hak Asasi Manusia telah dimuat dalam pasal-pasal UUD 1945 (BAB XA) yaitu pasal 28A sampai 28J dan juga dalam UU Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999.
            Konsepsi Hak Asasi Manusia ini tentu berjalan seiring konsepsi negara hukum yang mana mengandung pengertian bahwa setiap orang berkedudukan sama di hadapan hukum sebagaimana kesamaan hakekat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Suko Wiyono (2012:70) ajaran filsafat bernegara bangsa Indonesia yang dibingkai sebuah ideologi negara yang disebut Pancasila merupakan landasan utama semua sistem penyelenggaraan negara Indonesia. Hukum sebagai produk negara tidak dapat dilepas dari falsafah negaranya. Dalam pandangan seperti ini, maka filsafat hukum pun tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filsafati dari negaranya.
            Nilai-nilai Pancasila secara yuridis mesti diderivasikan ke dalam UUD dan selanjutnya pada seluruh peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini tentu berkaitan dengan pemberlakuan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm. Di samping itu, Pancasila tentu memiliki legitimasi filosofis, yuridis, sekaligus politis. Sehingga dengan demikian maka Pancasila diderivasikan dalam semua norma kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejalan dengan hal ini, maka pemikiran mengenai pengakuan HAM di Indonesia tentu memiliki perbedaan dengan yang terjadi di Eropa dan negara-negara sosialis. Sesuai Pancasila, maka hubungan antara negara dengan rakyat dan juga antara sesama rakyat didasarkan pada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pemikiran ini merupakan berpola pada “asas kerukunan” sejalan dengan pemikiran Hatta mengenai HAM. Maksud dari pada asas ini adalah rakyat dan penguasa sebisa mungkin menyelesaikan problem secara damai. Sehingga upaya peradilan merupakan langkah yang terakhir.
            Sesuai dengan sejarah dan sistem nilainya, bangsa Indonesia mempunyai cara pandang yang berbeda dengan cara pandang Barat mengenai HAM. Menurut cara pandang bangsa Indonesia, HAM bertumpu pada paham monodualis atau paham yang memandang manusia sebagai individu, tetapi juga sebagai makhluk sosial. Pemikiran-pemikiran di atas merupakan landasan untuk mencantumkan perumusan HAM sebagaimana tercantum dalam pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34 UUD 1945. Sebenarnya muatan HAM juga tersirat pada keseluruhan Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan UUD 1945 naskah asli (Suko Wiyono, 2012:72).
            Selanjutnya menurut Suko Wiyono (2012:72-74) bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”. Pengakuan terhadap kemerdekaan, pri kemanusiaan dan pri keadilan menunjukan bahwa alinea pertama ini sarat muatan hak asasinya, karena pengakuan kemerdekaan sesuai dengan Pasal 1 Deklarasi sedunia tentang HAM (1948) yang berbunyi “Setiap orang dilahirkan merdeka”. Sedangkan pengakuan terhadap pri kemanusiaan adalah merupakan inti dari HAM, dan pengakuan terhadap pri keadilan adalah inti dari prinsip negara hukum.
            Alinea kedua berbunyi “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Adanya kata “adil” dalam alinea kedua menunjukan bahwa Indonesia adalah negara hukum, karena salah satu tujuan negara hukum ialah mencapai keadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 Deklarasi sedunia tentang HAM (1948) yang berbunyi “ Setiap orang berhak dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak”.
            Alinea ketiga berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Dalam alinea ketiga yang ditekankan adalah agar rakyat Indonesia berkehidupan kebangsaan yang bebas sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) Deklarasi sedunia tentang HAM (1948) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk turut serta dengan bebas dalam hidup kebudayaan masyarakat”.
            Alinea keempat berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam alinea keempat ini memuat HAM di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan menghendaki “disusunnya kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia” yang merupakan bukti bahwa sejak awal bangsa Indonesia menghendaki adanya negara hukum dan bukan negara kekuasaan semata. Apabila kita bandingkan dengan Deklarasi sedunia tentang HAM (1948), maka alinea keempat ini sesuai dengan pasal 21, pasal 22, dan pasal 26 deklarasi tersebut.
            Di Indonesia, telah ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk pada tanggal 07 Juni 1993 melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993. Komnas HAM ini mengkaji dan memberi masukan kepada pemerintah untuk meratifikasi beberapa instrumen internasional mengenai HAM, serta memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM di Indonesia. Ekspektasinya adalah perlindungan dan penghormatan HAM di Indonesia mengalami progress serta pelanggaran HAM di masa lalu dapat diproses dan dituntaskan sebagaimana hukum positif atau ius constitutum yang berlaku di negeri ini.

INTERVENSI NOMOKRASI TERHADAP PENEGAKAN DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
            UUD 1945 sebagai grundnorm telah menjamin akan perlindungan serta penghormatan HAM di Indonesia. Meskipun demikian, pada tataran realita empiris banyak terjadi pelanggaran HAM (inkonstitusi) baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun rakyat secara keseluruhan. Hal ini tentu contras dengan apa yang telah tertuang secara eksplisit baik dalam Pembukaan maupun pasal-pasal UUD 1945. Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah di republik ini ketika rejim Orde Baru berkuasa. Kebebasan untuk  berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, serta hak-hak lain yang berkaitan dengan demokrasi pun terpasung. Produk hukum pada jaman itu pun lebih banyak bersifat positivis-instrumentalistik atau hukum tersebut dibuat semata-mata untuk membenarkan atau menjustifikasi tindakan-tindakan penguasa yang sebenarnya itu adalah asimetris dengan konstitusi. Atau dengan kata lain segala tindakan asimetris pemerintah waktu itu telah diberi baju hukum sebelum tindakan itu dilakukan, sehingga secara yuridis formal memang dibetulkan, tetapi contras dengan prinsip kebenaran dan keadilan.
            Di balik semua itu, ada yang berpendapat bahwa segala distorsi yang terjadi tidak lain adalah bersumber dari sifat pasal-pasal UUD 1945 yang banyak berwayuh arti atau
multi interpretable sehingga menimbulkan krisis multi dimensi. Sejak jaman Orde Lama, Orde Baru, bahkan era Reformasi saat ini banyak terjadi hal-hal inkonstitusi. Jaman Orde Lama yang dipimpin oleh Ir. Soekarno memang banyak melakukan tindakan-tindakan inkonstitusi yang bersifat terang-terangan. Misalnya dengan membubarkan DPR, memusatkan kekuasaan di tangannya sebagai seorang Presiden, pelaksanaan NASAKOM yang jelas-jelas menegasikan Pancasila sila pertama, adanya intervensi dari Eksekutif (Presiden) terhadap Yudikatif (Mahkamah Agung) sehingga peradilan berjalan tidak sesuai prinsip independensi, dan pengangkatannya sebagai Presiden seumur hidup yang jelas-jelas itu melanggar UUD 1945. Tindakan inkonstitusi pada jaman Orde Baru (rejim Soeharto) pada umumnya telah diberi baju hukum sehingga secara yuridis formal memang dibenarkan, tetapi sesungguhnya hal itu asimetris dengan prinsip kebenaran, keadilan, sekaligus prinsip demokrasi. Tidak kalah dengan jaman Orde Lama maupun Orde Baru, saat ini pun banyak terjadi hal-hal yang memang contras dengan Pancasila maupun UUD 1945 sebagai acuan utama dalam penyelenggaraan negara di republik ini. Hukum seringkali diplintir untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan pragmatis baik pribadi maupun golongan, salah satunya dengan pemenuhan syarat-syarat hukum secara yuridis formal tetapi mengenyampingkan prinsip kebenaran dan keadilan. Di samping itu, fenomena birokrasi yang tidak asing lagi bagi masyarakat adalah korupsi yang kian merebak saat ini baik oleh pejabat tinggi negara sampai pejabat di daerah-daerah. Singkatnya, baik rejim Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi saat ini banyak bertindak asimetris terhadap Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm dan UUD 1945 sebagai grundnorm yang tidak lain adalah sebagai acuan birokrasi di republik ini.
            Ketika kita amati, memang hal ini tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut oleh republik ini. Konsep prismatik yang dianut oleh republik ini yaitu konsep integratif antara rechtstaat dan the rule of law namun telah disesuaikan dengan nilai-nilai filosofis yang hidup di masyarakat bangsa Indonesia sehingga disebut dengan sistem hukum Pancasila. Konsep prismatik atau integratif ini mengambil sisi baik dari rechtstaat maupun the rule of law yang mengedepankan kepastian hukum dan menegakan prinsip keadilan. Konsep prismatik (sistem hukum Pancasila) yang memadukan rechtstaat dan the rule of law ini memandang bahwa sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon bertemu dalam budaya-budaya bangsa Indonesia atau kedua sistem hukum ini telah mengalami proses filterisasi dengan nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat Indonesia dengan mengambil sisi baik dari kedua sistem hukum itu yaitu kepastian hukum sekaligus penegakan prinsip keadilan.
            Namun, pada tataran praktis seringkali konsep prismatik ini tidak dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh (totalitas), tetapi dipisah antara rechtstaat dan the rule of law yang masing-masing memiliki titik tekan yang berbeda-beda. Rechtstaat yang lebih mengedepankan kepastian hukum dengan mengutamakan hukum tertulis (civil law), sedangkan the rule of law lebih mengedepankan prinsip keadilan dengan menggunakan hukum tidak tertulis atau sesuai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (common law atau living law). Sehingga tidak jarang kalau banyak pihak yang menggunakan prinsip yang dianut oleh rechtstaat yaitu kepastian hukum dengan cara memenuhi persyaratan yuridis formal tapi mengenyampingkan prinsip keadilan yang sebenarnya adalah salah satu sendi dari pada penegakan hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang hukum tertulis dapat dimanipulasi untuk memperoleh kemenangan di hadapan hukum atau pengadilan, tetapi sesungguhnya jauh dari prinsip keadilan. Contoh konkretnya, tentu masih segar di ingatan kita ketika beberapa waktu yang lalu ada seorang kakek yang memetik satu buah kakao atau cokelat yang kemudian dilaporkan dan diproses oleh keadilan hingga difonis penjara. Masih banyak kasus semacam ini yang diproses oleh pengadilan, tetapi sesungguhnya jauh dari prinsip keadilan sebagaimana yang dianut oleh the rule of law. Seorang hakim memang dalam memutuskan sebuah perkara mesti memperhatikan nilai dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis atau common law), tidak semata-mata terpaku pada undang-undang (hukum tertulis atau civil law).
         Baik antara rechtstaat maupun the rule of law sama-sama dapat diartikan sebagai negara hukum, meskipun dengan titik tekan yang berbeda-beda. Antara kedua sistem hukum ini sama-sama mengedepankan perlindungan Hak Asasi Manusia. Rechtstaat dengan ciri administratif, sedangkan the rule of law dengan ciri yudisial. Pencantuman Hak Asasi Manusia secara implisit dalam Pembukaan UUD 1945 tentu memiliki konsekuensi bahwa negara ini memilih konsep negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Di samping itu, dalam pasal-pasal UUD 1945 secara eksplisit telah mencantumkan hak-hak warga negara termasuk hak asasi manusia yang mesti dilindungi sekaligus dihormati oleh negara.
            Konsep prismatik sistem hukum Pancasila telah memadukan berbagai nilai, kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil sisi-sisi positifnya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) keseimbangan antara individualisme dengan kolektivisme, b) keseimbangan antara rechtstaat dengan the rule of law, c) keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk memajukan dan sebagai cermin nilai-nilai dalam masyarakat, d) keseimbangan antara negara agama dengan negara sekuler (theo-demokratis).
Menurut Hadjon, elemen-elemen penting dari nomokrasi Pancasila adalah: (1) keserasian antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan, (2) hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, (3) penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan sebagai jalan terakhir jika musyawarah gagal, (4) keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Perlindungan hak asasi di Indonesia mesti diimbangi dengan kewajiban asasi yaitu kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain. Sehingga ketika seorang warga negara menuntut haknya, maka ia juga mesti memperhatikan hak orang lain atau kepentingan publik. Hak dan kebebasan mesti diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab. Penuntutan hak mesti melalui mekanisme yang sudah ditentukan oleh hukum, tidak boleh dilakukan dengan sikap destruktif atau paksaan sehingga tidak menimbulkan kerugian di lain pihak. Dengan demikian maka, sarana untuk melindungi dan menjamin hal ini adalah penegakan hukum dengan mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Hukum pada posisi ini dapat dijadikan sebagai paradigma pembangunan untuk menjamin hak asasi warga negara secara keseluruhan dan menjamin tegaknya demokrasi. Untuk itu, hukum harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) hukum harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan menjamin keintegrasian Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2) hukum harus mampu menjamin keadilan sosial dan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah, (3) hukum harus dibangun secara demokratis sejalan dengan nomokrasi, (4) hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apa pun.
Dengan demikian maka, perlindungan HAM dan penegakan demokrasi dapat dilaksanakan secara bersamaan dengan jalan penegakan hukum secara obyektif dan sejalan dengan nomokrasi sehingga pada gilirannya cita-cita bangsa ini yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai prinsip pri kemanusiaan dan pri keadilan dapat dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke.

PENUTUP
            UUD 1945 sebagai grundnorm yang mengandung asas-asas penyelenggaraan negara telah memuat secara eksplisit tentang Hak Asasi Manusia sekaligus demokrasi yang mesti dilindungi, dihormati, sekaligus ditegakkan oleh negara. Sesuai paham negara hukum (nomokrasi) yang dianut oleh republik ini, maka konsekuensinya adalah apa yang ada dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm sekaligus pasal-pasal UUD 1945 (grundnorm) mesti diderivasikan ke dalam segala peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya sehingga jiwa proklamasi dalam mencapai tujuan negara tetap hidup sebagai semangat yang telah tertuang dalam peraturan perundang-undangan maupun segala bentuk kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah. Sebagai seorang warga negara yang baik, maka hendaknya ketika kita menuntut hak mesti memperhatikan hak orang lain. Hak asasi mesti selalu diimbangi dengan kewajiban asasi. Atau dengan kata lain, hak dan kebebasan mesti diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab sehingga suasana harmonis baik antara pemerintah dengan rakyat maupun antara rakyat dengan rakyat dapat tercipta.
           
DAFTAR RUJUKAN
Mahfud MD, Moh. 2012. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers

Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu

Wiyono, Suko. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara. Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press