Minggu, 19 April 2015

KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM
DI INDONESIA

Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Kehidupan politik di suatu negara senantiasa mengalami pasang surut, termasuk di Indonesia. Negara dengan luas wilayah sekitar 15 juta kilometer persegi, yang terdiri dari 3 juta kilometer persegi daratan dan kurang lebih 12 juta kilometer persegi lautan yang terdiri dari 13. 466 pulau. Ditambah dengan keadaan masyarakat yang heterogen atau pluralistik, yang terdiri dari beragam budaya, suku, etnis, ras, adat istiadat, agama, dan kepentingan mengakibatkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Hal ini dapat menjadi berkah bagi bangsa ini jikalau keanekaragaman yang ada dikelola dengan baik, tetapi juga dapat menjadi bumerang disintegrasi bangsa jika tidak kita jaga dengan baik keseimbangannya. Dengan adanya keanekaragaman termasuk kepentingan, maka tuntutan untuk menyelenggarakan proses kenegaraan dan pemerintahan yang non diskriminatif terhadap latar dan ikatan primordial apa pun harus diperhatikan dan dilaksanakan secara konsisten. Tidak dapat dipungkiri kalau adanya banyak kekuatan dan kepentingan politik di republik ini khususnya di ibu kota (Jakarta) akhirnya menimbulkan banyak intervensi terhadap tatanan birokrasi termasuk terhadap produk hukum yang ada. Untuk meminimalisir adanya intervensi politik yang kuat yang dapat mempengaruhi produk hukum maka sangat dibutuhkan mekanisme judicial review untuk memungkinkan terjadinya peninjauan ulang terhadap Undang-Undang yang telah diterbitkan apabila disinyalir lebih banyak mengandung kepentingan pragmatis tertentu dan merugikan kepentingan publik.
                                  
Kata Kunci: Konfigurasi politik dan produk hukum
     Politik pada hakekatnya adalah sesuatu yang mulia, yang mana ia merupakan cara untuk mencapai kepentingan bersama termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian, politik sendiri tidak terlepas dari prilaku para politikus yang menggunakan politik untuk mencapai kepentingan-kepentingan pragmatisnya baik pribadi maupun golongan. Akhirnya kata “politik” saat ini dalam benak masyarakat kebanyakan adalah sesuatu yang kotor, sesuatu yang menyangkut tindakan-tindakan kotor para politikus untuk meraup jabatan dan keuntungan dari jabatan tersebut. Hal ini menandakan bahwa terjadi pergeseran konotasi politik dari sesuatu yang bersifat mulia karena di situ terdapat bagaimana caranya untuk mencapai kepentingan bersama bergeser kepada bagaimana tindakan para politikus untuk mencapai kepentingan-kepentingan sesaat yang berlawanan atau contras dengan idealisme.
       Dalam lingkup negara, kepentingan politik kian menjamur bahkan mampu menutupi kepentingan publik yang mana ia dipengaruhi oleh pola pikir para politisi bahkan pejabat negara. Tidak dapat dipungkiri kalau banyak sekali proses politik yang menghasilkan output tetapi jika ditelisik justeru lebih banyak kadar kepentingan pragmatisnya. Salah satu output yang ditekankan dalam tulisan ini adalah hukum. Hukum sendiri sebagai produk dari proses politik antara eksekutif dengan legislatif di Senayan yang tidak jarang dijamah oleh kepentingan politik ini.
        Simetris dengan amanat UUD 1945 dan prinsip demokrasi, maka pergantian rejim setiap 5 tahun tentu mempunyai konfigurasi politik yang berbeda-beda dan output atau pun produk hukum pun sifatnya berbeda-beda. Konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang konservatif atau ortodoks. Negara Indonesia sesuai Pancasila dan UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa proses dan pengelolaan birokrasi mesti didasarkan pada prinsip demokrasi seiring konsep prismatik yang dianut oleh Pancasila sebagai sistem hukum di Indonesia.
                                                           
KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM DARI MASA KE MASA
        Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 telah mencapai usianya yang ke 70 pada 2015 ini memang telah mengalami pergantian rejim selama 8 kali sejak jaman Bung Karno sampai jaman Jokowi saat ini. Dalam perjalanannya seiring kekuatan politik pada masa-masanya, memang telah mempengaruhi konfigurasi politik pada masa itu sendiri. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), memang pada awal berkuasa suatu rejim mesti mendapat legitimasi dari rakyat (legitimasi sosial), legitimasi hukum, dan legitimasi politik. Memperjuangkan kepentingan rakyat, memperkuat sistem presidensial, menegakkan demokrasi dan hukum dengan setegak-tegaknya, memang merupakan kalimat-kalimat yang tidak asing lagi di telinga kita manakala proses kontestasi lima tahunan hendak bergulir. Janji dan kalimat-kalimat manis sering menghiasi panggung politik untuk meraup dukungan dari rakyat. Itulah situasi politik, yang penting untuk kita pilah dan pilih mana yang terbaik untuk bangsa dan negara kedepannya.
     Bung Karno yang diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama Bung Hatta sebagai wakilnya memang telah berkuasa hingga tahun 1966 setelah menjadi tahanan politik rejim Orde Baru dengan tuduhan ikut terlibat secara tidak langsung dalam pemberontakan PKI yaitu G30S pada tahun 1965. Republik Indonesia yang bisa dikatakan masih bayi (masa awal kemerdekaan) telah dipegang Soekarno secara otoriter dengan menempatkan kekuasaan yang sentralistik di tangannya sebagai Presiden pertama kala itu. Pada awalnya memang pelaksanaan birokrasi dijalankan secara demokratis (sebelum era Demokrasi Terpimpin). Tetapi dalam perjalanannya, ciri otoriter pun mulai nampak ditandai dengan berlakunya Demokrasi Terpimpin. Diikuti dengan tindakannya membubarkan DPR, menerapkan konsep politik NASAKOM yang jelas-jelas menegasikan Pancasila sila pertama, mengintervensi Mahkamah Agung sehingga proses peradilan tidak dapat berjalan secara independen, pengangkatan dirinya sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS. Sebagaimana tesis bahwa konfigurasi politik yang otoriter berimplikasi pada produk hukum yang ortodoks atau konservatif pun memang terjadi pada rejim Orde Lama ini. Inkonstitusi secara terang-terangan banyak dilakukan oleh rejim ini, tidak seperti rejim Orde Baru yang mana tindakan inkonstitusinya terlebih dahulu diberi baju hukum (hukum dengan ciri positivis-instrumentalistik) atau hukum hanya sebagai instrumen legitimasi belaka.
     Setelah Bung Karno digulirkan dari pemerintahan pada tahun 1966 atas tuduhan ikut terlibat secara tidak langsung dalam G30S PKI, rejim Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto pun dimulai. Setelah berhasil menumpas gerakan PKI, Suharto kemudian membangun dinasti pemerintahan di bawah keluarganya selama 32 tahun (1966-1998). Memang pada awalnya rejim Orde Baru hendak membangun pemerintahan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, tetapi dalam perjalanannya hal itu berubah drastis. Rejim Orde Baru dinilai sebagai suatu rejim yang mencekam yang mana kebebasan untuk berpikir dan mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat, kebebasan pers, dan kebebasan lainnya pun ikut terpasung. Pola demokrasi pun hanya sebatas formalitas. Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) hanya diikuti oleh tiga partai politik yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai Golkar sebagai partai penguasa, sementara PPP dan PDI hanya sebagai ornament dalam demokrasi belaka. Seperti halnya Orde Lama, rejim Orde Baru pun dapat dikatakan sebagai rejim yang otoriter atau non demokratis. Kekuasaan legislatif semestinya sebagai lembaga yang memiliki fungsi check and balances, ternyata tidak lebih sebagai lembaga pemberi stempel. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar anggota parlemen adalah orang-orang Golkar atau yang menghamba pada Suharto. Orang-orang parlemen yang fokal dan dianggap membahayakan kekuasaan Orde Baru pun disingkirkan. Konfigurasi politik yang demikian telah membawa dampak pada produk hukum yang tidak lain adalah sebagai output dari proses politik yang tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan pragmatis para elit atau penguasa. Implikasinya adalah hukum yang ada hanya sebagai tulisan formalitas atau justeru membenarkan tindakan-tindakan inkonstitusi dengan dalil-dalil tertentu. Hukum yang demikian disebut sebagai hukum yang berciri positivis-intrumentalistik. Hukum hanya sebagai instrumen pembenar atau pemberi legitimasi, tetapi sesungguhnya asimetris dengan prinsip kebenaran dan keadilan atau Pancasila yang sejatinya.
       Ketidakmampuan rejim Orde Baru dalam mengatasi krisis moneter yang berdampak pada krisis ekonomi pada tahun 1997, akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap rejim di bawah Suharto tersebut. Gerakan dan demonstrasi yang menggaungkan ketidakpercayaan rakyat terhadap rejim Orde Baru serta menghendaki agar rejim Orde Baru segera diganti dengan rejim yang lebih demokratis pun kian marak di tanah air. Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi, ditambah meroketnya hutang luar negeri serta merebaknya prilaku korupsi di kalangan birokrat akhirnya menjadi alasan yang kuat untuk menggulingkan Suharto. Pada tanggal 21 Mei 1998, Suharto kemudian menyatakan untuk berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini menandakan bahwa telah berakhirnya rejim Orde Baru yang otoriter (non demokratis) dan telah dimulainya era Reformasi. Namun, ketidakpuasan rakyat masih ada karena B.J Habibi sebagai Wakil Presiden waktu itu yang menggantikan posisi Suharto sebagai Presiden dianggap sebagai sisa-sisa dari rejim Orde Baru sehingga mesti digantikan juga. Presiden B.J Habibi memegang tampuk pemerintahan hanya dalam beberapa bulan. K.H Abdurahman akhirnya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4 menggantikan B.J Habibi.
      Gerakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara memang digencarkan sejak tumbangnya era Orde Baru yang otoriter. Salah satu bidang yang menjadi fokus gerakan Reformasi adalah hukum. Hukum yang bersifat positivis-instrumentalistik atau hanya sebagai pembenar tindakan inkonstitusi elit atau penguasa memang banyak diciptakan pada era Orde Baru. Keadaan yang demikian mesti dirubah yaitu dengan cara melakukan amademen terhadap UUD 1945 yang dinilai banyak menjadi sumber distorsi karena sifat pasal-pasalnya yang multi interpretable. Amandemen UUD 1945 sejak awal Reformasi hingga tahun 2002 telah dilakukan sebanyak 4 kali. Salah satu pasal yang diamandemen karena dinilai sebagai salah satu sumber distorsi adalah pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Sifat pasal ini telah membuat rejim Orde Baru berkuasa selama 3 dekade lebih (32 tahun) yang mana Presiden dipilih oleh MPR. Seperti yang kita ketahui, MPR kala itu memang dipenuhi oleh orang-orang Golkar atau yang menghamba pada kekuasaan Orde Baru.
        Tuntutan demokratisasi, penegakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta penghormatan dan perlindungan HAM menjadi agenda yang digencar-gencarkan pada era Reformasi saat ini. Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBER JURDIL) pun dilaksanakan seiring amandemen UUD 1945 pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dilaksanakan menurut UUD 1945. Pemilu rutin dilakukan setiap 5 tahun sekali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan anggota DPD, Gubernur dan Bupati, serta anggota DPRD baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Produk hukum pada era Reformasi saat ini sudah menjurus pada sifat hukum yang responsif-otonom, tentu mesti diikuti dengan konfigurasi politik yang berkarakteristik demokratis. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD, indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan menilai suatu rejim yang otoriter atau pun demokratis yaitu: (a) sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, (b) peranan eksekutif, dan (c) kebebasan pers.
     Sistem multi partai, pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dengan ciri check and balances, serta kebebasan pers dan keterbukaan informasi kepada publik memang dapat dikatakan sebagai realitas dari sebuah negara demokrasi sebagaimana yang terjadi saat ini. Ekspektasinya adalah situasi ini mesti tetap dipertahankan, bila perlu ditingkatkan. Karena pelaksanaan birokrasi yang sehat dengan bersendikan demokrasi dan penghormatan terhadap HAM saat ini menjadi trend bagi negara-negara di dunia. Tentu dengan mengacu pada staatsfundamentalnorm yang berlaku di negeri ini yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta grundnorm yaitu tidak lain adalah UUD 1945 (batang tubuh). Dengan demikian maka bangsa Indonesia telah mempunyai rambu-rambu pembangunan yang jelas dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa.

PANCASILA DAN KONSEP PRISMATIK YANG MENJIWAI PRODUK HUKUM
     Pancasila merupakan hasil ramuan (ekstract) dari nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia memang telah dijadikan sebagai ideologi atau pandangan hidup bangsa, dasar negara, serta rambu-rambu pembangunan. Sehingga tidak terbantahkan bahwa implementasi atau pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen sudah menjadi hal yang mutlak bagi siapa pun, tanpa memandang latar dan ikatan primordial apapun.
       Di samping sebagai dasar negara, ideologi, dan rambu-rambu pembangunan, Pancasila juga sebagai sistem hukum yang berlaku di republik ini. Sistem hukum Pancasila menganut konsep prismatik atau integratif antara sistem hukum Eropa Kontinental (rechtstaat) dan sistem hukum Anglo Saxon (the rule of law) dengan mengambil sisi baik dari kedua sistem hukum tersebut, ditambah dengan penyesuaian terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia. Rechtstaat dengan penekanan pada kepastian hukum (hukum tertulis atau civil law) sedangkan the rule of law lebih menekankan pada penegakan prinsip keadilan dengan berbasiskan pada hukum tidak tertulis (common law). Sebagaimana definisi pada umumnya, bahwa suatu sistem hukum mesti diderivasikan ke dalam segala sendi peraturan perundang-undangan di samping konstitusi. Sehingga memang sistem hukum Pancasila mesti dijadikan sebagai basis material hukum positif yang dibuat dan diberlakukan di Indonesia. Sisi baik dari kedua sistem hukum Barat tersebut yaitu penekanan pada kepastian hukum sekaligus penegakan prinsip keadilan telah menjadi ciri karakteristik dari sistem hukum Pancasila (konsep prismatik).
        Dalam konteks relasi antara politik dan hukum, bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk hukum yang responsif-otonom dan sebaliknya bahwa konfigurasi politik yang otoriter atau non demokratis akan menghasilkan produk hukum yang konservatif-ortodoks sebagaimana pembahasan di awal. Sesuai Pancasila terkhusus sila ke-4, maka penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis mesti diperhatikan dan dilaksanakan di republik ini. Musyawarah mufakat mesti diutamakan dalam menyelesaikan setiap persoalan-persoalan di masyarakat, sehingga situasi yang harmonis dan kondusif dapat tercipta. Nilai luhur musyawarah untuk mufakat yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia mesti tetap dijaga dan dijalankan. Perwujudannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu pelaksaan sistem demokrasi dengan perangkat-perangkatnya termasuk melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) maupun mekanisme lain sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang juga mesti dijalankan secara murni dan konsekuen.
      Sila-sila Pancasila tentu mempunyai kandungan nilai masing-masing. Menurut Suko Wiyono (2012:95) secara implisit, nilai-nilai yang ada dalam sila Pancasila dapat dilihat sebagai berikut:
1.  Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kepercayaan dan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa, kebebasan beragama dan berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak paling asasi bagi manusia, toleransi di antara umat beragama dan berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, serta kecintaan pada semua makhluk ciptaan Tuhan, khususnya makhluk manusia.
2.   Nilai-nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kecintaan pada sesama manusia sejalan dengan prinsip bahwa manusia adalah satu adanya, kejujuran, kesamaderajatan manusia, keadilan, dan keadaban.
3.   Nilai-nilai Persatuan Indonesia di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti persatuan, kebersamaan, kecintaan pada bangsa dan tanah air, serta Bhineka Tunggal Ika.
4. Nilai-nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kerakyatan, musyawarah mufakat, demokrasi, hikmat kebijaksanaan, dan perwakilan.
5.      Nilai-nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti keadilan, keadilan sosial, kesejahteraan lahir dan batin, kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Dengan demikian maka, pada hakekatnya bangsa Indonesia sudah mempunyai panduan atau rambu-rambu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hubungan baik antara rakyat dengan pemerintah maupun antara sesama rakyat mesti mengutamakan asas kerukunan sehingga upaya melalui jalan pengadilan merupakan opsi terakhir jikalau upaya musyawarah mengalami kegagalan atau menemui jalan buntu.
        Menurut Hadjon, elemen-elemen penting dari nomokrasi Pancasila adalah: (1) keserasian antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan, (2) hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, (3) penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan sebagai jalan terakhir jika musyawarah gagal, (4) keseimbangan antara hak dan kewajiban. Konsep prismatik sistem hukum Pancasila telah memadukan berbagai nilai, kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil sisi-sisi positifnya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) keseimbangan antara individualisme dengan kolektivisme, b) keseimbangan antara rechtstaat dengan the rule of law, c) keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk memajukan dan sebagai cermin nilai-nilai dalam masyarakat, d) keseimbangan antara negara agama dengan negara sekuler (theo-demokratis).
       Pancasila beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mesti bisa dijadikan sebagai parameter untuk menerima dan merangkul sisi baik dari kedua sistem hukum Barat tersebut yaitu Eropa Kontinental dan Anglo Saxon. Sehingga arah pembangunan nasional termasuk pembangunan di bidang hukum mempunyai arah yang jelas dan tidak melenceng dari nilai dan kultur bangsa Indonesia yang ada. Dalam konteks lembaga negara yang menghasilkan produk hukum (legislatif), maka pemahaman dan penghayatan akan nilai dan kultur bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila yang selanjutnya telah diderivasikan dalam peraturan perundang-undangan mesti dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain, sebagai lembaga yang membuat dan menghasilkan hukum maka tuntutan untuk memberikan teladan yang baik kepada masyarakat mesti dilaksanakan oleh personalia yang ada di dalam lembaga tersebut. Di samping itu, para penegak hukum seperti POLRI, lembaga pengadilan atau para hakim, jaksa, serta lembaga penegak hukum lainnya juga dituntut untuk menunjukan sikap yang sama yaitu memahami dan melaksanakan hukum yang ada secara konsisten dan juga membangun hubungan yang harmonis dan bersinergi dalam rangka menegakan hukum tersebut. Jika disinyalir suatu produk hukum lebih berat kepentingan pragmatisnya baik pribadi maupun  golongan, maka mekanisme judicial review mesti dilakukan untuk merevisi undang-undang tersebut.
    Sebagaimana fungsinya sebagai ideologi bangsa ini, maka Pancasila juga berposisi sebagai paradigma pembangunan termasuk dalam pembangunan hukum yang meliputi beberapa hal berikut: a) hukum harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan menjamin keintegrasian Negara Kesatuan Republik Indonesia, b) hukum harus mampu menjamin keadilan sosial dan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah, c) hukum harus dibangun secara demokratis sejalan dengan nomokrasi (negara hukum), d) hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apapun.
       Sehingga suasana pembangunan khususnya dalam bidang hukum dapat sesuai ekspektasi atau cita-cita rakyat Indonesia, sebagaimana fungsi hukum sebagai pengendali sosial menuju realisasi cita-cita proklamasi. Penulis secara pribadi optimis bahwa cita-cita proklamasi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terealisasi jikalau seluruh elemen bangsa ini bergandengan tangan dan bahu membahu untuk berjuang sembari menghayati dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen. Karena apalah artinya jika bangsa ini maju dengan teknologi yang canggih serta makmur, tetapi kehilangan jati diri atau karakteristik ke-Indonesia-annya. Hal ini yang perlu diperhatikan oleh siapa pun sebagai warga negara yang peduli akan masa depan republik ini. Dengan demikian maka secara tidak langsung juga berpengaruh pada tata laksana pemerintahan negara beserta outputnya termasuk dalam bidang hukum yaitu produk hukum yang tidak lain adalah hasil dari proses politik. Sehingga memang pengarahan politik semata-mata untuk mencapai kemaslahatan masyarakat secara umum perlu dilakukan oleh oknum-oknum yang ada dalam lembaga politik negara. Dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai konstituen pada posisi teratas sebelum kepentingan-kepentingan pragmatis lain baik pribadi maupun golongan. Hal ini juga tentu berkaitan dengan pelaksanaan birokrasi yang demokratis sehingga memungkinkan partisipasi publik seluas-luasnya baik dalam planning, implementation, controlling, termasuk evaluation dalam setiap kebijakan yang arahnya untuk kepentingan publik. Tidak terkecuali dalam bidang hukum, tuntutan untuk menghasilkan hukum yang otonom-responsif juga mesti diperhatikan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Pancasila baik secara eksplisit maupun implisit pun sudah mengisyaratkan hal itu. Pancasila sebagai sumber hukum materiil dapat dilihat dari sisi historis, sosiologis, antropologis, dan filosofis. Di samping itu juga Pancasila menjadi sumber hukum formal yang mana hukum formal mana pun tetap harus bersumber pada Pancasila. Singkat kata, nilai-nilai Pancasila mesti menjiwai segala peraturan perundang-undangan yang ada di republik ini.

PRODUK HUKUM DAN JUDICIAL REVIEW
          Entitas masyarakat yang terdiri dari beraneka ragam (plural) suku, adat istiadat, bahasa, agama, etnik, ras, kepentingan, dan lain sebagainya merupakan realita empiris yang ada di Indonesia dan juga dunia pada umumnya. Sehingga memang hal ini membutuhkan sesuatu yang dapat menjamin dan menjaga keintegrasian sehingga kepluralistikan yang ada tidak berujung pada disintegrasi. Dalam konteks NKRI, kita sudah mempunyai Pancasila yang merupakan maskot bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Pancasila ini telah dijadikan sebagai ideologi bangsa yang mana mesti diderivasikan ke dalam segala hukum positif yang berlaku di kepulauan Nusantara ini. Sehingga diharapkan hukum dapat berperan sebagai alat untuk mencapai perubahan dalam masyarakat (rekayasa sosial) dan juga sebagai proyeksi keadaan masyarakat. Ada sintesa yang mengatakan bahwa hukum positif yang baik dan efektif adalah hukum yang sesuai dengan living law, atau hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan definisi politik hukum yaitu upaya yang menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
    Tetapi pada tataran praksis, politik dan outputnya yaitu hukum seringkali diplintir sesuai kepentingan pragmatis para aktor terkait. Sehingga hukum baik dalam konteks hukum tertulis atau pun penegakannya seringkali tidak sesuai dengan ekspektasi publik. Hal ini tentu berkaitan dengan konfigurasi politik pada masa itu, yang mana ketika konfigurasi politik yang demokratis maka output hukumnya bersifat otonom-responsif dan konfigurasi politik yang otoriter (non demokratis) memiliki output hukum yang ortodoks-konservatif. Atau pun hukum yang ada hanya bersifat positifis-instrumentalistik atau hanya sebatas instrumen justifikasi atau legitimasi tindakan-tindakan rejim yang sesungguhnya asimetris dengan konstitusi atau prinsip keadilan.
     Jika keadaannya demikian, maka diperlukan suatu mekanisme yang memungkinkan adanya peninjauan ulang terhadap materi hukum yang dihasilkan jika disinyalir sarat dengan kepentingan-kepentingan pragmatis. Hal ini merupakan konsekuensi logis karena memang hukum sendiri sebagai output dari proses politik. Mekanisme ini kita kenal dengan istilah judicial review yang dilakukan oleh lembaga yudikatif atau yudisial baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Di Indonesia ada dua jalur judicial review yaitu menguji materi dan konsistensi UU terhadap UUD adalah domainnya Mahkamah Konsitusi (constitutional review) dan pengujian secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah domainnya Mahkamah Agung. Ekspektasinya melalui mekanisme judicial review ini maka UU yang sesungguhnya merupakan hasil proses politik ini lebih mengarah pada bagaimana mengakomodasi kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi maupun golongan para aktor politik.
       Menurut Jimly Asshiddiqie (dalam Moh. Mahfud MD, 2012:125), judicial review yang dapat juga disebut sebagai constitutional review yang memberikan wewenang kepada Supreme Court atau Mahkamah Agung untuk membatalkan sebuah UU karena isinya contras dengan konstitusi untuk pertama kali dilakukan di Amerika Serikat oleh Chief Justice John Marshall pada tahun 1803. Sebelum itu, memang ada kebiasaan tradisional yang memungkinkan hakim menyimpang atau tidak memberlakukan isi suatu UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Kebiasaan ini bukan dalam konteks membatalkan suatu UU melainkan sekadar menyimpang dan tidak menerapkan isinya dalam memutus kasus konkret. Sehingga memang konklusinya bahwa adanya judicial review atau constitutional review adalah untuk membersihkan UU dari unsur kepentingan politik yang contras atau asimetris dengan UUD atau konstitusi.
    Dalam melakukan judicial review atau constitutional review ini mesti mengacu pada staatsfundamentalnorm yaitu Pancasila sekaligus pada grundnorm yaitu UUD 1945. Sehingga memang dapat dijamin sterilnya UU tersebut dari kepentingan-kepentingan pragmatis yang merugikan kepentingan publik. Dalam mekanisme peninjauan ulang terhadap materi hukum atau Undang-Undang yang telah diberlakukan, di Indonesia sendiri selain judicial review ada juga legislative review (dilakukan oleh lembaga legislatif). Seluruh elemen masyarakat bangsa ini sudah sepatutnya untuk mengawal jalannya proses birokrasi termasuk terhadap produk hukum dengan melalui saluran atau mekanisme yang telah disediakan oleh hukum. Sehingga tindakan-tindakan yang justeru dapat merugikan kepentingan publik sendiri seperti demonstrasi yang berujung pada bentrok bisa dihindari.

PENUTUP
     Proses pembuatan hukum sendiri tidak terlepas dari proses politik sehingga memang tidak menutup kemungkinan bahwa produk-produk hukum yang ada disisipi dengan kepentingan-kepentingan politis yang pragmatis. Dalam menyikapi hal ini maka mekanisme judicial review yang dilakukan oleh lembaga yudisial baik Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung sangat diperlukan tidak lain adalah untuk membersihkan unsur-unsur kepentingan tersebut. Sebagaimana statement bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan berujung pada ciri hukum yang otonom-responsif dan juga sebaliknya yaitu konfigurasi politik yang otoriter akan berujung pada ciri hukum yang konservatif-ortodoks. Hal ini juga dapat kita lihat dalam sejarah ketatanegaraan dan perkembangan hukum dari masa ke masa sejak awal kemerdekaan hingga era Reformasi saat ini. Ekspektasinya pada era Reformasi saat ini adalah produk hukumnya semakin mengalami progress dengan tingkat otonom-responsifnya yang semakin meningkat pula. Untuk mengukur semua itu maka mesti dikembalikan kepada parameternya yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai induk dari segala peraturan perundang-undangan yang ada di republik ini.

DAFTAR PUSTAKA
Mahfud MD, Moh. 2012. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers
Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu

Wiyono, Suko. 2012.
Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara, Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press