Sabtu, 30 Agustus 2014

PANCASILA DI TENGAH KONDISI BANGSA INDONESIA SAAT INI

Junaidi Doni Luli (130711615631)
Mahasiswa Angkatan 2013
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Abstrak: Pada era reformasi saat ini, Pancasila yang merupakan dasar negara serta ideologi yang memuat nilai-nilai karakter bangsa pada sila-silanya tidak diimplementasikan  secara murni dan konsekuen baik oleh pemerintah maupun rakyat secara keseluruhan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang diperjuangkan dalam mencapai reformasi hingga berakhirnya rezim Soeharto pada 1998 silam. Akibatnya berbagai persoalan internal maupun eksternal bermunculan. Hal ini tentu berimbas pada kondisi dan keseimbangan serta kestabilan negara ini. Sehingga aktualisasi karakter yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat ditunda lagi. Karena hanya itulah yang dapat kita lakukan agar kita tetap tegar menghadapi segala goncangan yang terjadi sehingga kita  tetap terintegrasi dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kata kunci: Pancasila, kondisi, bangsa Indonesia

Saat ini kita sering mendapat atau mendengar informasi dari berbagai sumber atau media seperti radio, televisi, koran, dan sebagainya mengenai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat kita. Dinamika itu di antaranya adalah pemilihan umum legislatif yang baru saja kita lalui, bencana alam, kasus pemerkosaan, bentrokan antar warga maupun pelajar, perdagangan anak, kasus TKI di luar negeri, kasus narkoba, demonstrasi karena kenaikan harga, kasus pornografi, kasus pembunuhan, kasus korupsi yang dilakukan oleh para birokrat, dan berbagai persoalan lainnya. Dengan munculnya berbagai persoalan yang ada, pemerintah melalui lembaga yang berwenang juga mulai berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi ini. Berbagai upaya telah dilakukan. Meskipun demikian, kadang perjuangan dan harapan tidak sesuai dengan realita. Masih ada hambatan-hambatan yang mesti dihadapi untuk menyelesaikan semua itu.
Dari berbagai fenomena sosial yang ada, kasus pelanggaran hukum merupakan persoalan yang sangat sulit untuk diselesaikan dari pada persoalan-persoalan lain. Hal ini tentu menandakan bahwa kesadaran hukum di republik ini masih rendah. Masalah hukum yang sering dilanggar oleh para birokrat  seperti kasus korupsi, kolusi, nepotisme, gratifikasi, dan berbagai kasus lainnya sepertinya sulit untuk diselesaikan atau bahkan tidak bisa dihilangkan dari negeri ini. Selain itu, kasus- kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat juga kian marak. Apakah ini semata-mata karena kesadaran untuk mematuhi dan menjalani hukum masih rendah, atau juga karena peraturan perundang-undangan (sistem) yang ada masih belum tegas sehingga kasus yang sama sering terjadi seperti korupsi dan juga beberapa kasus lain. Ini tentu menjadi pertanyaan dan tantangan bagi kita semua.

EKSISTENSI PANCASILA DALAM MASYARAKAT INDONESIA
Melihat realita-realita yang ada, dapat ditarik benang merah bahwa penghayatan dan pengimplementasian nilai-nilai Pancasila pada era reformasi saat ini tidak jauh beda dengan era orde baru yang lalu. Yang mana pada awalnya Pancasila dan UUD 1945 hendak dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan negara secara murni dan konsekuen malah banyak yang melenceng dari tujuan awal itu. Pemahaman dan pengimplementasian  nilai-nilai Pancasila tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu merupakan suatu keharusan karena kalau dilihat dari aspek yuridis, Pancasila dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di negara ini. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) juga menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berarti jelas bahwa dalam penyelenggaraan negara serta segala sesuatunya yang menyangkut kepentingan masyarakat di negara ini mesti berdasarkan hukum yang tidak terlepas dari Pancasila sebagai sumber utamanya.
Pancasila juga merupakan nilai-nilai luhur bangsa yang ada di dalam masyarakat kita di seluruh kepulauan Nusantara ini. Nilai luhur bangsa yang dimaksud adalah nilai gotong royong, nilai religius, nilai toleransi, nilai keadilan, nilai demokrasi, saling mencintai dan menghargai antar sesama, tanggung jawab, serta nilai-nilai lain mesti kita pahami dan ilhami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, Pancasila juga merupakan sumber hukum nasional dan juga cita-cita bangsa Indonesia. Dalam artian bahwa Pancasila beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mesti dijabarkan menjadi norma moral, norma hukum, serta etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, secara formal bangsa Indonesia telah memiliki dasar serta  pedoman yang jelas untuk melaksanakan pembangunan dan mewujudkan masa depan yang dicita-citakan itu. Persoalannya adalah bagaimana untuk memahami serta mengimpelentasikan apa yang sudah ada ini ke dalam kehidupan praktis di setiap pribadi kita masing-masing terutama para birokrat yang duduk dalam lembaga negara yang notabene sebagai pelaksana sekaligus pemegang kendali pembangunan tersebut. Hal ini agar bangsa ini tidak kehilangan jati diri serta pegangan untuk menghadapi krisis multi dimensi yang sedang melanda negeri ini dalam mencapai masa depan yang dicita-citakan itu.

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SAAT INI
Pemerintah maupun DPR RI sebagai lembaga representasi seluruh rakyat Indonesia yang membuat dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang ada di republik ini, sebenarnya mereka dituntut lebih untuk menunjukan sikap dan tindakan yang patut dijadikan contoh bagi masyarakat. Tapi realita berbicara lain. Sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat yang mempunyai salah satu tugas dan fungsi untuk membuat undang-undang (fungsi legislasi), ternyata angka pelanggaran hukum seperti kasus korupsi sangat tinggi di lembaga ini. Fenomena ini juga tentu bertolak belakang dengan apa yang seharusnya dilakukan lembaga negara ini. Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi di pusat, tapi menjalar sampai ke daerah-daerah bahkan sampai ke desa-desa.
Saat ini tidak hanya lembaga DPR yang berhasil dijamah korupsi maupun kasus hukum lainnya, lembaga negara terpercaya independensi dan integritasnya seperti Mahkmah Konstitusi pun berhasil dinodai oleh tindakan kotor ini. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan turunnya kepercayaan dan optimisme publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada. Eksistensi lembaga negara seperti DPR RI, POLRI, dan Mahkamah Konstitusi di mata rakyat sepertinya tidak terlalu sakral lagi karena menyimpang dari apa yang seharusnya lembaga ini berbuat atau bertindak. Dalam artian lembaga yang seharusnya menjadi tameng atau penegak hukum, malah lembaga ini yang melanggar hukum tersebut. Begitu pula kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat luas se-Nusantara ini. Penegakan hukumnya masih belum seadil-adilnya. Artinya hukum yang dibuat ini belum disertai dengan rasa konsisten atau tekad yang penuh untuk menjalankan dan menaati hukum yang tercipta itu secara murni dan konsekuen. Hal ini juga tentu berkaitan dengan memudarnya nilai-nilai luhur bangsa seperti keadilan dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum.
Di tengah kondisi hiruk pikuk negeri ini, jati diri bangsa yaitu Pancasila seakan-akan terlupakan. Hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai realita empiris yang ada di sekeliling kita baik itu adanya pengabaian atau pelanggaran hak, diskriminasi, dan sebagainya. Lantas apa yang mesti kita lakukan? Apakah Pancasila hanya pantas untuk dihafal tanpa ada implementasi nyata? Tentu tidak. Kita tentu punya tanggung jawab dan tugas untuk menghidupkan kembali apa yang terkandung dalam Pancasila itu. Semua elemen dan kekuatan yang ada dalam bangsa ini khususnya kaum cendekiawan mesti secara sinergis untuk mengobarkan kembali api semangat Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini agar nilai-nilai karakter yang terkandung dalam sila-sila Pancasila itu bisa diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai gotong royong, nilai religius, nilai toleransi, nilai tanggung jawab, nilai keadilan, nilai demokrasi, saling mencintai dan menghargai antar sesama, serta nilai-nilai lain mesti kita pahami dan wujud nyatakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga dengan demikian akan  munculnya kesadaran hukum serta tanggung jawab masyarakat secara personal maupun dalam masing-masing lembaga pemerintahan akan terbangun.
Semua elemen bangsa baik masyarakat maupun pemerintah dari Sabang sampai Merauke mesti menyatukan tekad untuk hal ini agar terciptanya suasana harmonis dan damai untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Tentu dengan profesi kita masing-masing dan memiliki kesadaran untuk mengisi kemerdekaan yang diwariskan oleh para pendiri negara (founding father) ini dengan penuh tanggung jawab dan sejalan dengan apa yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Berkarya dan berbakti kepada bangsa dan negara merupakan sebuah keharusan yang wajib diemban oleh masing-masing personal dalam masyarakat. Penulis secara pribadi sangat optimis jikalau apa yang terkandung di dalam Pancasila kita hayati dan implementasikan secara murni dan konsekuen, maka persoalan-persoalan yang ada dapat diselesaikan secara cepat dan tepat sehingga pada ahhirnya terciptalah kondisi harmonis dan kondusif, seimbang dan selaras seperti yang telah tergambar dalam Pancasila khususnya sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta penjabarannya dalam pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke-IV.

TANTANGAN BANGSA INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI
Pada dasarnya tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini ialah wujud kesejahteraan manusia secara lahir maupun batin, sosial dan moral. Kesejahteraan secara lahir batin terutama terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat yaitu sandang, pangan, papan, rasa keamanan dan keadilan, serta kebebasan beragama atau kepercayaan. Kita mesti bersyukur meskipun bangsa ini diderah oleh berbagai persoalan yang datang silih berganti tetapi kita masih teguh dan utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bermasyarakat plural atau heterogen baik dari aspek budaya, etnik, adat istiadat, bahasa, dan religi. Hal ini tentu berkaitan juga dengan faktor yang dapat menyebabkan integrasi NKRI ini mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Menurut Suko Wiyono (2012:34), faktor-faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa Indonesia ini antara lain: (1) Nilai-nilai luhur Pancasila (fundamental, instrumental, praksis), (2) Hukum yang ditegakan secara konsisten dan adil, (3) Kepemimpinan yang efektif, (4) Pembangunan yang bermuatan harmoni, dan (5) Kekuatan (force). Sedangkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia adalah: (1) Kekuatan neoliberalisme yang mengubah negara kesejahteraan menjadi negara korporasi (dari welfare state menjadi corporate state). Fundamentalisme pasar, (2) Fundamentalisme theokrasi dan sektarianisme, (3) Kesenjangan struktural, (4) Separatisme, (5) Kekerasan politik, (6) Dampak globalisme, (7) Sentralisasi dan desentralisasi yang tidak berorientasi pada kepentingan publik.
Rentetan peristiwa kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Ambon merupakan fenomena yang dikhawatirkan akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Untuk mengatasi dan mencari solusi untuk fenomena itu, maka perlu digiatkan pendidikan karakter (character building), karena perilaku masyarakat amat erat kaitannya dengan tingkat penghayatan dan pengamalan masyarakat terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Pendidikan karakter merupakan  suatu kebutuhan sosio kultural yang sangat mendesak bagi kehidupan yang berkeadaban. Pewarisan nilai antar generasi dan dalam satu generasi merupakan wahana sosiopsikologis dan menjadi tugas dari proses peradaban-peradaban (Budimansyah, 2010:149).
Pemahaman serta kesadaran untuk menjalankan dan mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada mesti ditanamkan dalam hati dan sanubari kita masing-masing. Hal ini tentu lebih efektif kalau dilakukan sejak kecil. Hal ini tentu berkaitan dengan lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, sampai pada perguruan tinggi. Melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), nampak bahwa pemerintah secara serius menanamkan nilai-nilai luhur yang ada di dalam Pancasila kepada peserta didik sehingga kelak mereka tahu akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini serta mampu mengimplemantasikan nilai-nilai Pancasila yang ada. Karena pendidikan juga tidak hanya mencetak manusia-manusia yang cerdas, terampil, namun juga mempertahankan, mengembangkan dan mengimplementasikan nilai-nilai filosofi bangsa yang merupakan identitas sekaligus ciri khas bangsa Indonesia.
Melihat realita saat ini, memang kita akui bahwa bangsa ini sedang mengalami degradasi terutama di kalangan muda maupun masyarakat pada umumnya. Degradasi ini tentu merupakan sesuatu yang menyimpang dari yang seharusnya di mana ini merupakan salah satu dampak negatif dari globalisasi yang tidak difilterisasi secara baik dan murni. Hal ini ditandai dengan banyaknya kasus pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, perdagangan anak, penggunaan narkoba, pornografi dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa hal ini berkaitan dengan degradasi moral. Degradasi ini dapat kita atasi dengan filterisasi pengaruh globalisasi secara murni dan juga dengan memperdalam pemahaman serta pengamalan nilai religius dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta dengan cara positif lain yang berhubungan dengan nilai susila dan moral yang ada dalam masyarakat bangsa ini.
Apabila bangsa ini tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan zaman yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa kita akan tergerus olehnya. Ancaman itu datang dari dalam (internal) kalau kita tidak berpegang teguh pada filsafat dan ideologi bangsa kita sendiri yaitu Pancasila. Bicara soal pengaruh luar seperti dampak globalisasi, memang tidak bisa kita hindari. Tetapi pengaruh dan perubahan yang datang dari luar seperti globalisasi mesti difilterisasi dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat kita sehingga  kelak kita tidak kehilangan jati diri. Apa yang sesuai dengan budaya bangsa, nilai dan norma yang ada ada dalam masyarakat kita bawa dan jadikan sebagai nilai tambah. Sedangkan apa yang bertentangan atau bertolak belakang dengan budaya bangsa, maka segera kita tinggalkan.

PANCASILA SEBAGAI PAYUNG NKRI
Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika yang lebih lazimnya disebut dengan istilah “4 Pilar” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mesti diletakan pada bagian terdepan dalam penyelenggaraan negara baik secara ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal). Ke dalam (internal) artinya segala sesuatu yang menyangkut penyelenggaraan di dalam negara yang berkaitan dengan permasalahan sosial, ekonomi, budaya, dan berbagai permasalahan horisontal lainnya mesti berdasarkan pilar-pilar di atas. Sedangkan ke luar (eksternal) artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara ke luar seperti mengadakan perjanjian, kerjasama pertahanan dengan negara lain, dan sebagainya juga mesti berdasarkan pada pilar-pilar berbangsa dan bernegara ini. Hal ini tentu berkaitan dengan posisi sakralnya 4 pilar tersebut. Dan juga ke-4 pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini menjadi ciri khas yang membedakan eksistensi bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Bangsa Indonesia yang dianugerahi berbagai sumber daya dan potensi-potensi alam yang ada tentu menjadi sebuah rahmat atau nilai tambah bagi bangsa ini untuk maju dan memakmurkan serta menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan. Seperti yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”. Tinggal saja bagaimana sumber daya dan potensi alam yang ada diolah dan dimanfaatkan sepenuhnya sesuai dengan bunyi UU di atas untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat tanpa ada campur aduk kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Bangsa Indonesia juga dianugerahi berbagai keanekaragaman budaya dan adat istiadat masyarakat yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara ini. Hal ini patut menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia karena sepanjang waktu kita akan tetap bersama di bawah naungan NKRI serta dipayungi ideologi Pancasila yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai kunci pemersatu segala keanekaragaman yang ada. Meskipun saat ini kondisi faktual bangsa kita sering mengalami gejolak-gejolak mungkin karena ada perbedaan kepentingan maupun perbedaan hal lainnya. Integrasi serta kesamaan kedudukan dalam berbagai lini kehidupan bangsa mesti dilakukan secara murni. Sehingga hal-hal yang dapat mendisintegrasikan bangsa ini bisa diminimalisir kehadirannya.
 Ciri khas individu warga negara Indonesia untuk bergotong royong, tolong menolong, dan saling menghargai baik di dalam keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara telah tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang tidak lain adalah penjabaran dari nilai-nilai Pancasila yang sudah ada. Nilai-nilai sila-sila Pancasila yaitu kepejuangan, mengemban tugas untuk melindungi bangsa serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta turut serta menjaga ketertiban dunia. Hal ini tentu berkaitan juga dengan cita-cita bangsa yang mesti diwujudkan yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Menurut Suko Wiyono (2012:95) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, serta ideologi bangsa yang memuat nilai-nilai atau karakter bangsa Indonesia terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu sebagai berikut:
1.      Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kepercayaan dan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa, kebebasan beragama dan berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak paling asasi bagi manusia, toleransi di antara umat beragama dan berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, serta kecintaan pada semua makhluk ciptaan Tuhan, khususnya makhluk manusia.
2.      Nilai-nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kecintaan pada sesama manusia sejalan dengan prinsip bahwa manusia adalah satu adanya, kejujuran, kesamaderajatan manusia, keadilan, dan keadaban.
3.      Nilai-nilai Persatuan Indonesia di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti persatuan, kebersamaan, kecintaan pada bangsa dan tanah air, serta Bhineka Tunggal Ika.
4.      Nilai-nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti kerakyatan, musyawarah mufakat, demokrasi, hikmat kebijaksanaan, dan perwakilan.
5.      Nilai-nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti keadilan, keadilan sosial, kesejahteraan lahir dan batin, kekeluargaan dan kegotongroyongan. 
Agar nilai-nilai serta prinsip-prinsip asasi yang terkandung di dalam Pancasila ini dapat terimplementasi secara murni dan konsekuen maka pembentukan karakter pada setiap generasi bangsa mesti dilakukan secara optimal. Hal ini sangat memerlukan kerjasama serta partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa seperti para guru, orang tua, serta masyarakat secara keseluruhan. Sehingga harapannya dengan dijiwai dan diimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang ada, tujuan serta cita-cita dari pada bangsa dan negara ini dengan mudah  tercapai.

PENUTUP
Dengan melihat berbagai persoalan-persoalan yang timbul saat ini baik persoalan yang berkaitan dengan moral, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta persoalan lainnya maka  kita bisa mengatakan bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis multi dimensi. Persoalan mendasar seperti moral dan sosial tidak lain karena disebabkan oleh memudarnya nilai-nilai luhur bangsa ini yang lebih riilnya telah tertuang dalam Pancasila dan jabarannya dalam pembukaan UUD 1945. Persoalan mendasar yaitu moral dan sosial inilah yang kemudian bermuara pada persoalan lain seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena Pancasila ini mengandung nilai-nilai luhur bangsa, dan juga merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini maka penghayatan dan pengimplementasian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sebuah kewajiban mutlak. Hal ini dilakukan agar keseimbangan serta keselarasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini dapat tercipta sehingga cita-cita dari negara Proklamasi pada 17 Agustus 1945 itu dapat dengan mudah dicapai.

DAFTAR RUJUKAN
Wiyono, Suko, 2012, Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara, Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press
Budimansyah Dasim, 2010, Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa, Widya Bandung: Aksara press
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ke IV.
Kansil, C.S.T., 1980, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Pradnya Paramita


                                    



FILSAFAT SKOLASTIK

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Filsafat adalah salah satu  ilmu pengetahuan mengenai proses berpikir manusia dalam mencari suatu kebenaran yang hakiki. Sebagai salah satu dari sekian ilmu pengetahuan, filsafat tidak bisa terlepas dari apa yang diajarkan di institusi-institusi pendidikan salah satunya adalah Perguruan Tinggi. Filsafat ini terbagi dalam beberapa kurun waktu yang di dalamnya termasuk Masa Skolastik yang terjadi di wilayah Eropa. Istilah Skolastik ini merupakan kata sifat yang berasal dari kata school yang berarti sekolah. Filsafat Skolastik ini di dalamnya banyak diupayakan pengembangan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah. Kurikulum pengajarannya meliputi studi duniawi atau artes liberales, meliputi tata bahasa, retorika, dialektika (seni berdiskusi), ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, dan musik. Filsafat Skolastik ini mendorong agar peserta didik termasuk mahasiswa memiliki kemampuan yang diperlukan ketika terjun ke dalam masyarakat nanti. Misalnya kemampuan untuk menyatakan pendapat secara rasional, dan kreatif dalam bidang kehidupan lainnya.

1.2 Rumusan Masalah
1.) Apa itu filsafat Skolastik dan faktor yang apa yang mempengaruhinya?
2.) Siapa sajaakah tokoh filsafat Skolastik ?
3.) Bagaimana perkembangan filsafat Skolastik ?

1.3 Tujuan
1.) Untuk mengetahui apa itu filsafat Skolastik dan faktor yang mempengaruhinya
2.) Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang ada dalam sejarah filsafat Skolastik
3.) Untuk mengetahui perkembangan filsafat Skolastik
                                                                                                              
       
                                   
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Faktor Yang Mempengaruhi Filsafat Skolastik

A. Pengertian Filsafat Skolastik
Istilah Skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan.
Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik yaitu sebagai berikut.
a.       Filsafat Skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Skolastik ini sebagai bagian dari kebudayaan abad pertengahan yang religius.
b.      Filsafat Skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah Skolastik Yahudi, Skolastik Arab, dan lain-lain.
c.       Filsafat Skolastik adalah sistem yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesis yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
d.      Filsafat Skolastik adalah filsafat Nasrani karena banyak dipengaruhi oleh ajaran Gereja
                                   
B. Faktor Yang Mempengaruhi Filsafat Skolastik
Filsafat Skolastik ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut.
*Faktor Religius 
Faktor religius dapat mempengaruhi corak pemikiran filsafatnya. Yang dimaksud dengan faktor religius adalah keadaan lingkungan saat itu yang berkehidupan religius. Mereka berangapan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu perjuangan ke tanah suci Yerussalem, dunia ini hanyalah negeri asing dan sebagai tempat pembungahn limbah air mata saja (tempat kesedihan). Mereka meyakini bahwa manusia tidak bisa sampai ke tanah airnya (surga) dengan kemampuannya sendiri, sehingga harus ditolong. Karena manusia itu memiliki kelemahan yang dilakukan (diwariskan) oleh Adam, mereka juga berkeyakinan bahwa Isa anak Tuhan berperan sebagai pembebas dan pemberi bahagia. Ia juga memberi pengampunan sekaligus menolongnya. Maka, hanya dengan jalan pengampunan inilah manusia dapat tertolong agar dapat mencapai tanah airnya (surga). Anggapan dan keyakinan inilah yang dijadikan dasar pemikiran filsafatnya.
*Faktor Pengetahuan   
Pada saat itu telah banyak didirikan lembaga pengajaran yang diupayakan oleh biara-biara, gereja, ataupun dari keluarga istana. Kepustakaannya diambil dari para penulis Latin, Arab (Islam) dan Yunani.
                                                                       
2.2 Tokoh-Tokoh Filsafat Skolastik
Tokoh-tokoh dalam sejarah perkembangan filsafat Skolastik adalah sebagai berikut.

a.       Peter Abaelardus (1097-1180)
Ia dilahirkan di Le Pallet, Perancis. Ia mempunyai kepribadian yang keras dan pandangannya sangat tajam sehingga sering kali bertengkar dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang konseptualisme dan sarjana terkenal dalam sastar romantik, sekaligus sebagai rasionalistik, artinya peranan akal dapat menundukkan kekuatan iman. Iman harus mau didahului akal. Yang harus dipercaya adalah apa yang telah disetujui atau diterima oleh akal. Ia berbeda dengan Anselmus yang mengatakan bahwa berpikir harus sejalan dengan iman, Abaelardus memberikan alasan bahwa berpikir itu berada diluar iman (diluar kepercayaan). Karena itu berpikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Hal ini sesuai dengan metode dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukan dalam teologi bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti-bukti. Dengan demikian, dalam teologi itu iman hampir kehilangan tempat. Ia mencontohkan, seperti ajaran Trinitas juga berdasarkan pada bukti-bukti, termasuk bukti dalam wahyu Tuhan.

b.      Albertus Magnus (1203-1280)
Di samping sebagai biarawan, Albertus Magnus juga dikenal sebagai cendekiawan abad pertengahan. Ia lahir dengan nama Albert von Bollstad yang juga dikenal sebagai “doktor universalis” dan “doktor magnus”, kemudian bernama Albertus Magnus (Albert the Great). Ia mempunyai kepandaian luar biasa. Di Universitas Padua ia belajar artes liberales, ilmu-ilmu pengetahuan alam, kedokteran, filsafat Aristoteles, belajar teologi di Bulogna, dan masuk ordo Dominican tahun 1223, kemudian ke Koln menjadi dosen filsafat dan teologi. Terakhir ia diangkat sebagai uskup agung. Pola pemikiran Albertus Magnus meniru Ibnu Rusyd dalam menulis tentang Aristoteles. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ia mengadakan penelitian dalam ilmu biologi dan ilmu kimia.                                                                                   
c.       Thomas Aquinas (1225-1274)
Nama sebenarnya adalah Santo Thomas Aquinas, yang artinya Thomas yang suci dari Aquinas. Di samping sebagai ahli pikir, ia juga seorang dokter gereja bangsa Italia. Ia lahir di Rocca Secca, Napoli (Italia). Ia merupakan tokoh terbesar Skolastisisme, salah seorang suci gereja katolik Romawi dan pendiri aliran yang dinyatakan menjadi filsafat resmi gereja Katolik. Tahun 1245 ia belajar pada Albertus Magnus. Ia berusaha untuk membuktikan bahwa iman Kristen secara penuh dapat dibenarkan dengan pemikiran logis. Ia menerima pemikiran Aristoteles sebagai otoritas tertinggi tentang pemikirannya yang logis. Menurut pendapatnya, semua kebenaran asalnya dari Tuhan. Kebenaran diungkapkan dengan jalan yang berbeda-beda, sedangkan iman berjalan di luar jangkauan pemikiran. Tidak ada kontradiksi antara pemikiran dan iman. Semua kebenaran mulai timbul secara ketuhanan walaupun iman diungkapkan lewat beberapa kebenaran yang berada di luar kekuatan pikir. Selanjutnya ia mengatakan bahwa iman lebih tinggi dan berada di luar pemikiran yang berkenaan sifat Tuhan dan alam semesta. Thomas sendiri menyadari bahwa tidak dapat menghilangkan unsur-unsur Aristoteles. Bahkan ia menggunakan ajaran Aristoteles, tetapi pemkirannya berbeda. Masuknya unsur Aristoteles ini didorong oleh kebijakan pimpinan gereja Paus Urbanus V (1366) yang memberikan angin segar untuk kemajuan filsafat. Kemudian Thomas melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
Langkah pertama, Thomas menyuruh teman sealiran Willem van Moerbeke untuk membuat terjemahan baru yang langsung dari Yunani. Hal ini untuk melawan Aristotelianisme yang berorientasi pada Ibnu Rusyd, dan upaya ini mendapat dukungan dari Siger van Brabant. Langkah kedua, pengkristenan ajaran Aristoteles dari dalam. Bagian-bagian yang bertentangan dengan apa yang dianggap Kristen bertentangan  sebagai firman Aristoteles, tetapi diupayakan agar selaras dengan ajaran Kristen. Langkah ketiga, ajaran Aristoteles yang telah dikristenkan dipakai untuk membuat sintesis yang lebih bercorak ilmiah (sintesis deduktif antara iman dan akal). Sistem barunya itu untuk menyusun Summa Theologiae. 
                                                                                                                    
d.      William Ockham (1285-1349)
Ia merupakan ahli pikir Inggris yang beraliran skolastik. Karena terlibat dalam pertengkaran umum dengan Paus John XXII, ia dipenjara di Avignon, tetapi dapat melarikan diri dan mencari perlindungan pada Kaisar Louis IV. Ia menolak ajaran Thomas dan mendalilkan bahwa kenyataan itu hanya terdapat pada benda-benda satu demi satu, dan hal-hal yang umum itu hanya tanda-tanda abstrak. Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual. Konsep-konsep atau kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa kenyataan. Pemikirannya ini dapat dilalui hanya lewat intuisi, bukan lewat logika. Di samping itu, ia membantah anggapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan doktrin teologis. Hal ini membawa kesulitan dirinya yang pada waktu itu sebagai penguasanya Paus John XXII.

e.       Nicolas Cosasus (1401-1464)
Ia sebagai tokoh pemikir yang berada paling akhir masa skolastik. Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara untuk mengenal yaitu lewat indra, akal, dan intuisi. Dengan indra kita akan mendapat pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang sifatnya tidak sempurna. Dengan akal kita akan mendapat bentuk-bentuk pengertian yang abstrak berdasar pada sajian atau tangkapan indra. Dengan intuisi kita akan mendapat pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya dengan intuisi inilah kita akan dapat mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatukan. Manusia seharusnya menyadari akan keterbatasan akal, sehingga banyak hal yang seharusnya dapat diketahui. Karena keterbatasan akal tersebut, hanya sedikit saja yang dapat diketahui oleh akal. Dengan intuisi inilah diharapkan akan sampai pada kenyataan, yaitu suatu tempat di mana segala sesuatu bentuknya menjadi larut, yaitu Tuhan. Pemikirna Nicolas ini sebagi upaya mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan, yang dibuat ke suatu sintesis yang lebih luas. Sintesis ini mengarah ke masa depan, dari pemikiran ini terdapat suatu pemikiran para humanis.
                                                                                                                             
2.3 Perkembangan Filsafat Skolastik    
Perkembangan filsafat Skolastik terbagi menjadi tiga periode yaitu:                  
1.      Skolastik awal, berlangsung dari tahun 800-1200 M
2.      Skolastik puncak, berlangsung dari tahun 1200-1300 M
3.      Skolastik akhir, berlangsung dari tahun 1300-1450 M

A.    Skolastik Awal (800-1200 M)
Sejak abad ke-5 hingga ke-8 Masehi, pemikiran filsafat Patristik mulai merosot, terlebih lagi abad ke-6 dan 7 disebut sebagi abad kacau. Hal ini disebabkan pada saat itu terjadi serangan terhadap Romawi sehingga kerajaan Romawi beserta peradabannya ikut runtuh yang telah dibangun selama berabad-abad.
Baru pada ke-8 Masehi, kekuasaan berada di bawah Karel Agung (742-814) dapat memberikan suasana ketenangan dalam bidang politik, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, termasuk kehidupan manusia serta pemikiran filsafat yang semuanya menampakkan mulai adanya kebangkitan. Kebangkitan inilah yang merupakan kecemerlangan abad pertengahan, di mana arah pemikirannya berbeda sekali dengan dengan yang sebelumnya.
Saat ini merupakan zaman baru bangsa Eropa. Hal ini ditandai dengan skolastik yang di dalamnya banyak diupayakan pengembangan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah. Pada mulanya skolastik ini timbul pertama kalinya di biara Italia Selatan dan akhirnya sampai berpengaruh ke Jerman dan Belanda.
Kurikulum pengajarannya meliputi studi duniawi atau artes liberales, meliputi tata bahasa, retorika, dialektika (seni berdiskusi), ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, dan musik.
                                                                                                           8
B.     Skolastik Puncak (1200-1300 M)
Masa ini merupakan kejayaan skolastik yang berlangsung dari tahun 1200-1300 dan masa ini juga disebut masa berbunga. Masa itu ditandai dengan munculnya universitas-universitas dan ordo-ordo, yang secara bersama-sama ikut menyelenggarakan atau memajukan ilmu pengetahuan, di samping juga peranan universitas sebagai sumber atau pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
            Berikut ini beberapa faktor mengapa masa skolastik mencapai pada puncaknya.
a. Adanya pengaruh Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina sejak abad ke-12 sehingga sampai abad ke-13 telah tumbuh menjadi ilmu pengetahuan yang luas.
b. Tahun 1200 didirikan Universitas Almamater di Perancis. Universitas ini merupakan gabungan dari beberapa sekolah. Almamater inilah sebagai awal (embrio) berdirinya Universitas di Paris, di Oxford, di Mont Pellier, di Cambridge dan lain-lainnya.
c.   Berdirinya ordo-ordo. Ordo-ordo inilah yang muncul karena banyaknya perhatian orang terhadap ilmu pengetahuan sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk memberikan suasana yang semarak pada abad ke-13. Hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan kerohanian di mana kebanyakan tokoh-tokohnya memegang peran di bidang filsafat dan teologi, seperti Albertus de Grote, Thomas Aquinas, Binaventura, J.D Scotus, William Ocham.

C.     Skolastik Akhir (1300-1450)
Masa ini ditandai dengan adanya rasa jemu terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya sehingga memperlihatkan stagnasi (kemandegan). Di antara tokoh-tokohnya adalah William Ockham (1285-1349), dan Nicolas Cosasus (1401-1464)

          
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia berusaha untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dengan cara berpikir (berfilsafat) kemudian diwujudnyatakan dengan aksi atau tindakan. Hal ini muncul karena adanya kesangsian (skeptis), adanya keheranan, dan juga kesadaran akan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Ilmu filsafat ini sendiri muncul pada abad sebelum masehi. Seiring perjalanan peradaban umat manusia, filsafat juga ikut mengalami perkembangan. Dalam perkembangan ini, filsafat telah melewati satu masa di mana filsafat disertakan dalam pembelajaran di sekolah-sekolah yang dikenal dengan filsafat skolastik yang mana ia termasuk dalam pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesis yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.

B.     Saran
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tentu mengalami problema-problema. Maka dari itu, pendidikan filsafat sebagai seni berfikir dalam menemukan kebenaran murni mesti diikut sertakan dalam pendidikan di sekolah-sekolah maupun institusi-institusi pendidikan lainnya guna menciptakan generasi yang tangguh dan mampu memberikan atau menyatakan opini yang rasional, ikut berperan aktif dalam mencari pemecahan-pemecahan persoalan dalam kehidupan bermasyarakat dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA 
Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, alih bahasa siapa ?, Bumi Aksara, Jakarta
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: 2010






                                                                                                                                            


                                                                                                        
         


Sabtu, 16 Agustus 2014





Lewo Bahan Baran Tawan



TANAH INDONESIA

Pengarang: Anggun Nurlatifah

Begitu banyak keindahan
Hutan, gunung, dan lautan

Itulah alam Indonesia
Surga di tanah khatulistiwa

Akan tetapi,...
Banyak tangan jahil
Yang tak bertanggung jawab
Yang merusak keindahanmu

Hutan, gunung, dan lautan
Janganlah kau hilang
Tetaplah di tanah Indonesia
Menjaga Indonesia

Hutan, gunung, dan lautan
Engkaulah Indonesiaku
Tanah kelahiranku
Tanah tercinta, oh Indonesia

Puisi Kemerdekaan Indonesia

Karya: Saeful Anwar

Bunyi genderang membakar semangat
Darah dalam dada-pun bergejolak
Jiwa dan raga ber-irama
Seakan ajal mendekat
Tongkat kayu kutancapkan
Di tanah ini ku pijakan
Kaki berdarah kemerdekaan
Demi generasi masa depan
Semangat tetap berkobar
Di negeri ku kibarkan
Bendera merdeka-pun berkibar
Di negeri penuh harapan
Puji syukur ku panjatkan
Merah putih telah berkibar
Garuda di dada
Indonesia merdeka

Bambu Runcing


Mustahil semut taklukan gajah
Bambu runcing jadikan sejarah
Penjajah berlari tinggalkan negeri
Hilang tenggelam di makan bumi
Inilah aku si semut merah
Tegakan badan melawan gajah
Seakan hidup tak bergairah
Semangat berkobar tak akan punah
Terus berjuang pantang menyerah
Demi masa depan tinggalkan sejarah
Sejarah terukir hilangkan penjajah

Tanahku Tanah Surga


Karya: Romlah

Tanahku tanah surga
Menginjak kaki tanah yang suci
Menancap kayu menjadi beti
Berucap syukur pada Ilahi
Tanahku tanah surga
Apa yang kau tanam
Bisa kau tuai