Jumat, 09 Januari 2015



 
NUSANTARA DENGAN PERSPEKTIF
BHINNEKA TUNGGAL IKA

Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Email:
junaidi.bantel@gmail.com

Abstrak:
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, terdiri dari gugusan ribuan pulau yang dikenal dengan istilah Nusantara. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mengukir satu sejarah yang sama yaitu sama-sama pernah dinaungi oleh panji Majapahit dan Sriwijaya. Pada era inilah nenek moyang bangsa Indonesia saling berinteraksi baik dalam hal perdagangan, perkawinan, serta hal lainnya. Setelah melalui sejarah yang cukup panjang, terjadilah suatu pertemuan antar kaum pemuda se-Nusantara yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Dengan ikrar bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia telah berjuang untuk mengusir bangsa Eropa yang datang untuk menjajah dan merampas kekayaan alam serta banyak memperbudak orang-orang pribumi yaitu bangsa Indonesia sendiri. Tahun 1945 tepatnya tanggal 17 Agustus merupakan hari yang bersejarah yang mana sang republik yaitu Republik Indonesia lahir. Dengan berideologi Pancasila dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, bangsa Indonesia membangun peradabannya di tengah persaingan global. Sebagai generasi penerus bangsa ini, hendaknya kita meneruskan perjuangan para pendahulu dan pendiri negara ini yaitu tidak lain adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bersama. Perjuangan tidak harus dengan mengangkat senjata, tetapi perjuangan dengan cara kita masing-masing yang setidaknya berdayaguna bagi diri kita, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Kata Kunci: Nusantara, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila

Akhir-akhir ini kita sering mendapat informasi di tanah air, di antaranya adalah tawuran antar pelajar atau masyarakat, korupsi, bencana alam, dan lain sebagainya. Hal-hal semacam ini kalau kita kaji dari segi sosiologis memang merupakan satu hal yang lumrah. Tetapi jikalau tidak kita sikapi secara cepat dan tepat tentu akan berdampak serius yang mana dapat mengancam integrasi bangsa ini khususnya masalah tawuran atau perang antar masyarakat. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hasil perjuangan bersama bangsa Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan intensitas persoalan khususnya tawuran atau perang yang cukup tinggi. Hal ini tentu menandakan bahwa rasa persaudaraan dan kekeluargaan sebagai suatu bangsa dapat dikatakan masih rendah. Bangsa Indonesia sebagai satu bangsa yang besar dengan heterogenitasnya tentu rentan akan disintegrasi, tetapi hal itu dapat kita minimalisir jikalau rasa senasib dan seperjuangan, serta sepenanggungan yaitu dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa ini kita pahami dan implementasikan dalam personal kita masing-masing.
The founding fathers sudah mewarisi kita satu bangsa yang merdeka serta ideologinya yaitu Pancasila dan juga UUD 1945, tinggal bagaimana langkah menuju apa yang sudah digambarkan dalam Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke-IV yang mana merupakan jabaran dari Pancasila itu sendiri. Pembuatan hukum positif, pengambilan keputusan, serta pemberlakuan kebijakan yang semata-mata untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat merupakan sesuatu yang mesti dilakukan oleh pemerintah selaku pelaksana roda birokrasi di negeri ini. Karena pada hakekatnya pemerintah adalah pelayan, bukan majikan. Yang mana kekuasaan yang mereka miliki adalah semata-mata titipan atau kepercayaan dari rakyat sebagai esensi dari demokrasi (kedaulatan rakyat) yang berlaku di republik ini.

BERKAH BAGI NUSANTARA
Negara Indonesia yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah negara besar yang didukung oleh sejumlah keunggulan, mulai dari keunggulan geografis (Sumber Kekayaan Alam), keunggulan demografis (Sumber Daya Manusia), keunggulan sosial budaya sampai dengan keunggulan ideologis. Keunggulan yang secara geografis terletak di antara 6 LU-11 LS dan 95 BT-141 BT tersebut, mencakup keunggulan natural (alamiah) dengan luas wilayah 15 juta kilometer persegi, yang terdiri dari 3 juta kilometer persegi daratan dan kurang lebih 12 juta kilometer persegi lautan, dalam gugusan yang selama ini kita ketahui berjumlah 17. 508 pulau. Namun dalam Konferensi Rupa Bumi yang diadakan PBB di New York (AS) yang berakhir tanggal 31 Juli 2012, pemerintah Indonesia secara resmi mendaftarkan 13. 466 pulau sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau yang didaftarkan, jumlahnya berbeda dengan jumlah pulau yang diketahui oleh publik selama ini. Tanah subur dengan iklim yang memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, serta kaya Sumber Kekayaan Alam (SKA) dan keanekaragaman hayati, yang mana Indonesia sangat kaya dengan berbagai macam flora dan fauna. Indonesia memiliki 47.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan 3025 species binatang. Posisi geopolitiknya yang sangat strategis, sebagai negara bahari (maritim, kelautan) berada di antara benua Asia dan benua Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sebagai transpolitik-ekonomi dan kultural bangsa-bangsa di dunia saat ini dan di masa yang akan datang. Bangsa Indonesia memiliki 615 bahasa daerah, 485 lagu daerah dan 300 gaya seni tari. Jumlah penduduk yang sangat besar yang berdasarkan hasil sensus 2010 berjumlah 237,6 juta, terdiri dari 10.086 suku bangsa. Jumlah penduduk Indonesia tersebut menduduki urutan empat besar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat merupakan modal yang paling penting, karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat tergantung pada faktor manusianya (SDM). (Suko Wiyono, 2012:17).
Berdasarkan data yang tertera di atas, memang dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang besar nan kaya, kaya secara Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Hanya saja mesti kita akui bahwa Sumber Daya Manusia bangsa ini belum cukup terlatih untuk mengelola berkah yang diberikan oleh Tuhan kepada bangsa ini dengan Sumber Daya Alam yang melimpah ruah. Hal ini tentu berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Peran IPTEK sangat besar pada era saat ini yang mana segala sesuatunya kalau tidak tidak didukung oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memadai maka akan sangat sulit untuk pengelolaannya apalagi mengenai kekayaan alam yang mana banyak terpendam di dalam perut bumi.
Dengan menata generasi yang handal secara intelektual maupun secara spiritual maka persoalan-persoalan ini dapat ditangani. Hal ini juga berkaitan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam rangka mewujudkan generasi bangsa yang handal dan tangguh serta mampu bersaing di era global saat ini. Karena intelektual tanpa diimbangi oleh spiritual dan ideologi yang kuat maka akan mudah digoyah dan tergerus, apalagi di jaman yang penuh kompetisi saat ini. Kegiatan penelitian serta pengembangan teknologi di tanah air menjadi hal yang penting dan mesti digalakkan oleh pemerintah termasuk di Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi di tanah air.

SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA
Layaknya negara lain di dunia, Indonesia sendiri mempunyai satu ideologi yang bersumber dari nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat Nusantara yaitu Pancasila. Pancasila merupakan hasil rumusan dari pada pendiri bangsa (founding fathers) pada masa-masa sidang BPUPKI. Istilah Pancasila sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 01 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI untuk menyampaikan rumusan dasar negara. Pancasila sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu “panca” yang artinya lima, dan “sila” yang berarti dasar atau asas, secara harafiah Pancasila berarti lima dasar. Dengan lambang burung garuda sambil mencengkram sebuah pita yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, dan di dada sang garuda tergantung sebuah perisai yang tergambar lima sila Pancasila. Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa digambarkan dengan sebuah bintang bersudut lima yang diletakan tepat di tengah perisai, sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab digambarkan dengan pohon beringin, sila ketiga yaitu persatuan Indonesia digambarkan dengan sebuah rantai, sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang digambarkan dengan kepala banteng, dan sila yang terakhir atau sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tergambar dengan padi dan kapas.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertera pada pita yang dicengkram oleh burung garuda pada awalnya berasal dari bahasa Jawa kuno, yang mana kata bhinneka merupakan gabungan dua kata yaitu bhinna dan ika, sedangkan tunggal ika merupakan gabungan dua kata yaitu tunggal dan ika. Bhinna diartikan berbeda-beda dan ika diartikan itu sedangkan tunggal diartikan satu. Berdasarkan arti kata tersebut Bhinneka Tunggal Ika berarti “berbeda-beda itu satu itu” yang sering kita artikan berbeda tetapi tetap satu jua. Bhinneka Tunggal Ika pada awalnya merupakan sesanti yang menunjukan semangat toleransi kehidupan beragama rakyat Majapahit, yang mana meskipun di antara masyarakat Majapahit pada masa itu berbeda agamanya antara satu dengan yang lain, namun mereka tetap satu dalam pengabdian. Pada masa itu antara pemeluk agama Budha dan pemeluk agama Hindu dapat hidup rukun dan damai berdampingan di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya yang sangat terkenal yaitu Patih Gajah Mada. (Suko Wiyono, 2012:31).
Semboyan pada masa Kerajaan Majapahit ini kemudian mengilhami para pendiri bangsa ini sehingga diadopsi dan diabadikan sebagai semboyan bangsa Indonesia yang heterogen baik dari sisi suku bangsa, etnik, kebudayaan, adat istiadat, agama, dan juga bahasa yang terintegrasi dalam satu panji yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diawali dengan ikrar oleh para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Perbedaan merupakan sesuatu yang kodrati sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang bukan untuk dipertentangkan tetapi untuk diintegrasikan menjadi satu sintesa yang positif dalam rangka membangun negara tercinta ini.
NKRI yang terdiri dari 13. 466 pulau terintegrasi dan terikat dengan satu semboyan yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” dengan perasaan senasib dan seperjuangan sebagai bagian dari satu sejarah yang sama yaitu sejarah Majapahit dan Sriwijaya. Inilah kekuatan terbesar kita untuk membangun negeri tercinta, yaitu Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote. Ditambah dengan anugerah kekayaan alam yang melimpah ruah dari Sang Pencipta, sehingga memang pantas negeri ini dijuluki sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi”. Tinggal saja bagaimana segala yang ada dikelolah dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 (pasal 33 UUD 1945). Itulah cita-cita negara yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tangga 17 Agustus 1945.

TANTANGAN BAGI BHINNEKA TUNGGAL IKA
Bangsa Indonesia sebagai salah satu pion dalam percaturan dunia internasional tentu tidak bisa terlepas dari pasang surutnya dunia internasional yang mana membawa imbas bagi kehidupan politik di tanah air. Sebagai satu bangsa yang besar yang terdiri dari beraneka ragam suku, ras, etnik, agama, budaya, adat istiadat, latar dan kepentingan tentu seringkali mengalami turbelensi-turbelensi yang setidaknya dapat mengancam integrasi bangsa ini. Rentetan peristiwa yang terjadi di tanah air baik di Poso, Ambon, Papua, dan juga di berbagai daerah lain cukup membuktikan hal itu.
Meskipun penggerak utama dan sasaran utama globalisasi saat ini sebenarnya sama seperti jaman kolonialisme dahulu, yaitu kapitalisme yang agresif dan eksploitatif, tetapi penampilannya memang sangat menawan dan mudah sekali membangkitkan simpati bagi mereka yang tidak mencermatinya secara komprehensif. Dengan dalih memperjuangkan hak-hak asasi manusia, demokratisasi dan lingkungan hidup, mereka berusaha melakukan tekanan dalam bidang politik dan ekonomi, yang berakibat timbulnya fenomena semakin berkembang dan menguatnya sifat individualistis, solidaritas kelompok yang sempit berlatar belakang suku, agama, ras, dan adat istiadat serta latar belakang kepentingan-kepentingan sesaat lainnya. Hal ini menimbulkan disparitas dan diskriminasi sosial, yaitu persaingan dan pertentangan antar kelompok dalam masyarakat. Pemujaan kebebasan dan demokrasi atas nama HAM yang kebablasan, berwujud dalam oligarchy dan anarchisme. Keadaan tersebut jelas akan mereduksi semangat kolektifitas yang memunculkan gejala penolakan terhadap konsep persatuan dan kesatuan sebagai sebuah kekuatan mendasar bagi bangunan Indonesia seperti yang terpatri dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga budaya dan etika politik amat memprihantinkan. Sebagai akibat tantangan global dan liberalisasi yang melanda rakyat Indonesia, maka budaya dan moral sosial politik dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan sudah jauh menyimpang dari pada cita-cita, identitas dan integritas NKRI sebagai negara proklamasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (Suko Wiyono, 2012:8-9).
Keterpurukan Indonesia di tahun 1998, karena hantaman krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, krisis politik dan bahkan telah berubah menjadi krisis multidimensi. Hal ini bukanlah semata-mata merajalelanya korupsi dan berkembangbiaknya secara luar biasa konglomerat hitam. Akan tetapi korupsi dan konglomerat hitam merupakan akibat dari potret buram kebijakan publik yang lebih berorientasi pada penyelamatan penguasa untuk mempertahankan jaring-jaring kekuasaannya. Situasi inilah yang kemudian dapat menumbuhsuburkan korupsi dan “halal” dilakukan. Dari kebijakan publik yang buruk menyebabkan kolusi dan perselingkuhan antara kekuasaan dengan pemegang kendali modal (pengusaha), yang membuat pengusaha dengan mudah “membeli” lisensi, fasilitas dan memonopoli akibat dari kebijakan yang penuh rekayasa untuk menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya. Pendek kata kebijakan publik di masa orde baru tak lebih hanya sebagai alat pembenar bagi penguasa orde baru.
(Mustafa Lutfi, 2011:37).
Di samping itu, pada tataran praksis banyak sekali penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh tokoh politik di tanah air termasuk aparat pemerintah sendiri untuk mencapai kepentingan-kepentigan pragmatis entah itu pribadi maupun golongan. Contoh konkret dari situasi ini adalah melambungnya angka korupsi yang dilakukan di tubuh birokrasi dari tahun ke tahun. Hal ini tentu menandakan bahwa kesadaran akan kedudukan yang diperoleh sebagai titipan dari pemilik kedaulatan tertinggi yaitu rakyat masih tergolong rendah, di samping kesadaran hukum (budaya hukum). Korupsi sudah menjadi momok bagi lembaga pemerintahan, sampai-sampai muncul stigma bahwa tidak ada politisi maupun birokrat yang tidak melakukan tindakan korupsi. Hal ini merupakan implikasi dari situasi yang kian parah oleh kasus-kasus korupsi yang dimuat oleh media-media pemberitaan akhir-akhir ini. Secara tidak langsung, situasi ini tentu berdampak pada disintegrasi bangsa ini. Yang mana muncul pandangan bahwa para birokrat di negeri ini hidup bergelimangan harta yang mana itu sebenarnya adalah titipan dari rakyat, tetapi rakyat sendiri hidup dalam situasi yang cukup sulit dan dilematis. Apalagi ditambah imbas dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sehingga tidak heran kalau akhir-akhir ini angka kriminalitas semakin meroket, termasuk tindakan-tindakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI seperti di Papua dan beberapa daerah lain di tanah air.  

Dalam menghadapi situasi semacam ini, hukum merupakan satu kata kunci yang sangat urgent untuk menjawab tentang dasar atau rambu-rambu dalam membangun masyarakat Indonesia di era globalisasi saat ini. Hukum bukan satu-satunya norma yang mesti dijadikan patokan, tetapi sebagai satu bentuk norma yang paling konkret dan sangat efisien serta efektif untuk membangun masyarakat Indonesia. Sehingga dengan demikian ia bisa menjadi penutup pintu bagi disintegrasi bangsa ini yang mana merupakan tantangan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Semangat persatuan dengan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika tentu akan berdampak positif dan menjadi kekuatan terbesar bagi bangsa ini dalam langkah menuju cita-cita bangsa.
Menurut Suko Wiyono (2012:34), faktor-faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa Indonesia ini antara lain: (1) Nilai-nilai luhur Pancasila (fundamental, instrumental, praksis), (2) Hukum yang ditegakan secara konsisten dan adil, (3) Kepemimpinan yang efektif, (4) Pembangunan yang bermuatan harmoni, dan (5) Kekuatan (force). Sedangkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia adalah: (1) Kekuatan neoliberalisme yang mengubah negara kesejahteraan menjadi negara korporasi (dari welfare state menjadi corporate state). Fundamentalisme pasar, (2) Fundamentalisme theokrasi dan sektarianisme, (3) Kesenjangan struktural, (4) Separatisme, (5) Kekerasan politik, (6) Dampak globalisme, (7) Sentralisasi dan desentralisasi yang tidak berorientasi pada kepentingan publik.
Rentetan peristiwa kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Ambon merupakan fenomena yang dikhawatirkan akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Untuk mengatasi dan mencari solusi untuk fenomena itu, maka perlu digiatkan pendidikan karakter (character building), karena perilaku masyarakat amat erat kaitannya dengan tingkat penghayatan dan pengamalan masyarakat terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Pendidikan karakter merupakan  suatu kebutuhan sosio kultural yang sangat mendesak bagi kehidupan yang berkeadaban. Pewarisan nilai antar generasi dan dalam satu generasi merupakan wahana sosiopsikologis dan menjadi tugas dari proses peradaban-peradaban (Budimansyah, 2010:149).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika cukup menjadi obat yang ampuh untuk menjaga keintegrasian NKRI baik secara ideologis maupun secara teritori. Hal ini tentu mesti didukung oleh pendidikan karakter pada jenjang pendidikan yang mana bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Karena Pancasila sebagai konsensus dari bangsa ini untuk hidup bersama di bawah satu pemerintahan yaitu Republik Indonesia. Hal itu dapat terlaksana apabila masing-masing kita entah sebagai masyarakat biasa, kaum cendekiawan, aparat pemerintah, dan berbagai golongan lain tanpa terkecuali memahami dan mengimplementasikan semboyan itu di samping mengamalkan nilai-nilai luhur atau filosofis bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sehingga dengan sendirinya akan terbangun kesadaran hukum di benak masing-masing warga negara sebagai konsekuensi logis dari penempatan Pancasila sebagai asas tertinggi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.


KORELASI ANTARA NUSANTARA DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA DENGAN PERSPEKTIF PANCASILA
Nusantara, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika diibaratkan sebagai sebuah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Nusantara sebagai teritori, Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa, serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan persatuan bangsa Indonesia. Ketiga hal ini sebagai subordinat yang saling mempengaruhi satu sama lain yang mana apabila secara teritori (Nusantara) tidak terintegrasi maka dasar negara yaitu Pancasila bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dirancang untuk mewadahi seluruh rakyat Indonesia itu akan menjadi hal yang sia-sia. Begitu juga sebaliknya, apabila nilai-nilai Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak kita pahami dan kita praksiskan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen maka ia bisa menjadi sumbu pemicu disintegrasi bangsa ini.
Para pendiri bangsa (founding fathers) sudah berjuang dan menuntaskan tanggung jawabnya di era mereka, hari ini adalah tanggung jawab kita sebagai pewaris bangsa yang merdeka ini untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan juga seluruh rakyat Indonesia yang sudah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Esensinya adalah penempatan dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila menjadi hal yang mutlak dan tidak dapat kita tunda lagi. Nilai gotong royong, nilai religius, nilai toleransi, nilai tanggung jawab, nilai keadilan, nilai demokrasi, saling mencintai dan menghargai antar sesama, serta nilai-nilai filosofis bangsa lainnya kita jadikan sebagai rel dalam tata laksana kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah unsur pembangun negeri ini sekaligus menjadi ciri khas bagi negeri ini. Ini adalah kekuatan kita dalam menata masyarakat menuju civil society yang dicita-citakan. Sinergitas dan kontinyutas seluruh elemen bangsa dibarengi dengan kerja keras dan berdasarkan grundnorm yaitu Pancasila adalah langkah yang pasti menuju apa yang dicita-citakan itu. Pembuatan kebijakan dan hukum positif serta pengambilan keputusan mesti melibatkan partisipasi publik, hal ini untuk menghindari kemubaziran kebijakan, hukum, atau pun keputusan yang diambil karena tidak sesuai dengan ekspektasi publik. Dalam hal ini, mesti kita pahami bahwa publik adalah sasaran dari output kekuasaan yaitu kebijakan, hukum, maupun keputusan sehingga urgent untuk dilibatkan dalam proses itu. Selain itu, hal ini juga memproyeksikan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi (pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Integrasi Nusantara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dengan perspektif Pancasila berkaitan dengan sila Pancasila terutama sila ke-3 yaitu “Persatuan Indonesia” yang mengandung nilai persatuan, kebersamaan, kecintaan pada bangsa, kecintaan pada tanah air, dan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu jua). Slogan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” adalah penyemangat bagi kebhinnekaan bangsa ini. Heterogenitas yang ada kita sintesakan menjadi kekuatan yang positif untuk membangun Ibu Pertiwi sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda Proklamasi dan yang menjadi tonggak sejarah bagi bersatunya rakyat negeri ini. Pancasila sudah tidak diragukan lagi keabsahannya dalam mewujudkan civil society seturut cita-cita bangsa yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 (alinea ke-IV).

PENUTUP
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari gugusan ribuan pulau telah mempunyai satu semboyan pemersatu yaitu Bhinneka Tunggal Ika karena sifat heterogennya. Dengan ras, etnik, suku, agama, budaya, bahasa, adat istiadat, beserta latar dan kepentingan lain yang beragam menjadikan bangsa Indonesia sebagai satu bangsa yang besar, kuat, dan kaya. Di samping itu, dalam sebaran kepulauan di Nusantara ini terdapat banyak sekali kekayaan alam yang merupakan berkah tersendiri bagi bangsa ini. Dengan ekspektasi bahwa akan tercapai keadaan damai, adil, dan makmur yang merata di jajaran pulau dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Pulau Rote, bangsa ini mesti menjalin sinergitas secara kontinyu dalam rangka mewujudnyatakan cita-cita segenap bangsa Indonesia ini.
Jalan menuju realisasi ekspektasi itu adalah pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen, sehingga dasar-dasar pembangunan yang ditetapkan tidak asimetris atau bahkan kontras dengan nilai dan budaya bangsa Indonesia sendiri sebagai implikasi dari kehilangan pegangan dalam menyambut datangnya arus globalisasi yang membawa paham liberalism. Ini menjadi hal yang urgent untuk diperhatikan, apalagi keadaan bangsa kita yang heterogen. Kesadaran akan hal ini mesti mulai dibina dalam benak masing-masing warga negara, dan perlu untuk diintensifkan dalam masing-masing jenjang pendidikan. Sehingga tercipta generasi bangsa yang sehat secara intelektual dan spiritual, serta mampu menjaga integrasi Nusantara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini.

DAFTAR PUSTAKA
Dasim, Budimansyah. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa, Widya Bandung: Aksara press
Lutfi, Mustafa. 2011. Perihal Negara, Hukum dan Kebijakan Publik. Malang: SETARA Press
Wiyono, Suko. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara, Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press