LEMBAGA LEGISLATIF SEBAGAI
REPRESENTASI RAKYAT INDONESIA
DALAM PROSES BIROKRASI
DALAM PROSES BIROKRASI
Junaidi Doni Luli
(130711615631)
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Partisipasi
seluruh rakyat Indonesia dalam proses birokrasi melalui lembaga legislatif baik
DPR, DPD, maupun DPRD merupakan amanat dari konstitusi dan wujud dari
pelaksanaan sistem demokrasi di republik ini. Sehingga dengan demikian lembaga legislatif
ini dituntut untuk lebih tanggap dan
akomodatif terhadap segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan kemauan
publik serta menjalankan fungsi dan wewenang lain yang diberikan oleh konstitusi.
Dengan hadirnya lembaga legislatif, diharapkan proses birokrasi berjalan dengan
baik atau optimal karena di sana terjadi proses check and balance antara lembaga legislatif dengan lembaga
eksekutif sehingga amanat dari konsitusi yaitu mewujudkan masyarakat yang adil
dan sejahtera dapat terealisasi. Meskipun terwakili oleh lembaga legislatif,
tetapi peran serta secara langsung oleh masyarakat juga menjadi hal yang
esensial dalam proses birokrasi baik terhadap lembaga legislatif itu sendiri
maupun proses birokrasi secara keseluruhan.
Abstract : The participation of
all the people of Indonesia in the bureaucratic process through both the House
of Representatives legislature , DPD , and DPRD is the mandate of the
constitution and form of implementation of the democratic system in the
republic . So the legislature is required to be more responsive and
accommodating to everything the public needs and willingness to carry out the
functions and powers as well as others provided by the constitution . With the
presence of the legislature , is expected to run well the bureaucratic process
or optimal because there occurs a process of checks and balances between the
legislative bodies of the executive so that the mandate of the constitution is
to realize a just and prosperous society can be realized . Although represented
by the legislature , but direct participation by the public is also becoming
essential in both the bureaucratic process itself and the legislature as a
whole bureaucratic process.
Kata
kunci: Pancasila, legislatif, rakyat Indonesia, konstitusi,
demokrasi
Berbicara
mengenai negara modern yang bersistem demokrasi, maka di sana terdapat tiga
lembaga birokrasi yang fungsi dan wewenangnya saling terkait antara satu dengan
yang lain yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal
dengan istilah trias politica. Ketiga
lembaga itu di Indonesia dikenal dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR dan
DPD), dan DPRD sebagai lembaga legislatif, Presiden beserta kabinetnya dan
gubernur, bupati maupun walikota di
daerah sebagai lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif ini diperankan oleh Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Partisipasi
rakyat sebagai obyek dari kekuasaan negara sangatlah esensial untuk mewujudkan
sistem demokrasi yang diterapkan di republik ini. Rakyat dapat menggunakan
saluran atau media-media yang ada untuk memonitoring proses birokrasi yang
dilaksanakan oleh para birokrat baik itu terhadap legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif. Demokrasi di negeri ini telah disesuaikan dengan keadaan dan budaya bangsa
Indonesia sehingga dikenal dengan istilah “demokrasi
Pancasila”, bukan demokrasi liberalis maupun demokrasi lain seperti yang
diterapkan pada negara-negara lain. Karena pada hakekatnya keadaan dan budaya antara
suatu bangsa dengan bangsa yang lain adalah berbeda, sehingga butuh penyesuaian
melalui proses filterisasi agar tidak melunturkan identitas asli atau budaya dari
bangsa yang berdemokrasi tersebut.
PEMILIHAN LEGISLATIF SEBAGAI BENTUK KEDAULATAN RAKYAT (DEMOKRASI)
PEMILIHAN LEGISLATIF SEBAGAI BENTUK KEDAULATAN RAKYAT (DEMOKRASI)
Dalam
sebuah negara demokrasi, pemilihan umum menjadi salah satu ciri utamanya.
Sehingga dengan demikian maka eksistensi rakyat sangat esensial yang mana ikut
menentukan arah roda birokrasi melalui pemilihan legislatif baik pada tingkat
pusat maupun tingkat daerah (provinsi, kabupaten dan kota). Dalam proses ini,
masyarakat diharapkan secara matang dan bertanggung jawab untuk menggunakan hak
konstitusinya sehingga di kemudian hari hasilnya dapat dirasakan secara nyata
karena figur-figur yang mereka pilih atau dipercayakan amanat bekerja
sepenuhnya untuk kepentingan publik dan menempatkan kepentingan golongan maupun
individu setelah kepentingan masyarakat. Karena pada hakekatnya dalam negara
demokrasi, rakyatlah yang berdaulat atau berkuasa. Sebagaimana termaktub dalam
UUD 1945 pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan
dilanjutkan pasal 2 ayat (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Sehingga dengan demikian figur yang hendak dipilih oleh
konstituen dalam hal ini masyarakat mesti memperhatikan aspek-aspek kepribadian
dari sang caleg (calon legislator) seperti kejujurannya, keberpihakannya pada
kepentingan publik atau amanah, bertanggung jawab (akuntability), serta
memiliki track record yang baik. Singkatnya,
punya aspek leadership yang memadai.
Pemilihan legislatif ini dilaksanakan setiap lima tahun dan
diikuti oleh pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif) yang dilakukan
oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 E khususnya ayat (1). Meskipun
dalam realita empirisnya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan (inkonstitusi),
tapi ekspektasi kita adalah demokrasi di negeri ini semakin dewasa dari hari ke
hari dengan cara terus diadakan perbaikan atau refleksi dari waktu ke waktu.
Hal ini membutuhkan campur tangan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen
bangsa, terlebih lembaga-lembaga yang sengaja dibentuk untuk mengatur tentang
pemilihan umum ini seperti Bawaslu, Panwaslu, dan juga KPU sendiri.
TUPOKSI LEMBAGA
LEGISLATIF DALAM BIROKRASI
Secara abstraksi,
lembaga legislatif mempunyai wewenang untuk mengawasi dan mengkritisi lembaga
eksekutif dalam menjalankan roda birokrasi (Supervision
and Criticism Government). Secara
implisit, lembaga legislatif (DPR RI) mempunyai fungsi pengawasan (controlling), fungsi anggaran, dan
fungsi legislasi (membuat Undang-Undang). Di samping itu, lembaga legislatif
dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat juga memiliki hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat. Lembaga legislatif berwewenang untuk mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar dalam pasal 3 ayat (1), melantik sekaligus
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pasal 3 ayat (2 dan 3), merancang
UU bersama Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama dalam pasal 20 ayat
(2), memberikan persetujuan kepada Presiden dalam hal menyatakan perang atau
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dalam pasal 11 ayat (1), membahas
RAPBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dalam pasal 23
ayat (2), serta beberapa wewenang lain yang diberikan oleh konstitusi. Meskipun
dalam lembaga legislatif di Indonesia (pusat) ini terdiri dari DPR RI dan DPD
yang dipayungi MPR RI, eksistensi DPR RI ini lebih terekspose daripada DPD. Hal
ini dikarenakan hampir semua konstelasi peraturan perundang-undangan yang ada
di republik ini dihasilkan dari urung rembug antara DPR RI dengan Presiden.
Sedangkan DPD hanya dilibatkan manakala itu berkaitan dengan
persoalan-persoalan daerah seperti merumuskan RUU mengenai otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hal lainnya
sebagaimana disebutkan dalam UU mengenai Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
KORELASI ANTARA LEMBAGA
LEGISLATIF DENGAN EKSEKUTIF DALAM BIROKRASI
Sebagai partner dalam birokrasi, eksistensi
lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam menjalankan birokrasi mesti
tetap kondusif. Hal ini agar segala sesuatu yang menjadi program eksekutif
(pemerintah dalam arti sempit) akan terealisasi dan mengena pada apa yang
menjadi keinginan dan kebutuhan rakyat baik berupa kebijakan atau regulasi dan
sebagainya. Selain itu, korelasi antara legislatif dengan eksekutif juga nampak
pada proses pembuatan UU (hukum positif), dan beberapa realita lain yang
dilakukan oleh presiden sebagai penyelenggara eksekutif tetapi mesti mendapat
legitimasi atau persetujuan dari legislatif. Silang argument merupakan hal yang
manusiawi atau lumrah, selama masih di dalam koridor untuk kepentingan rakyat.
Mengingat oknum-oknum yang ada di lembaga legislatif (kecuali DPD)
maupun eksekutif adalah orang partai (non independent), maka jelas bahwa
kehadiran mereka juga tentu diikutsertakan dengan hadirnya
kepentingan-kepentingan baik itu kepentingan partai pengusung maupun
kepentingan personal. Hal ini kalau tidak diperhatikan dan ditempatkan secara
proporsional maka akan sangat berbahaya karena tentu akan menghegemoni jalannya
birokrasi karena di sana akan terjadi perhelatan kepentingan, implikasinya kepentingan
publik menjadi terabaikan. Dengan alasan demi kepentingan publik, mereka
memajukan hasrat atau syahwat politik (kekuasaan). Padahal apabila ditelisik
atau ditelaah, itu malah bertentangan dengan kemauan publik. Hal semacam ini
sebaiknya dihindari kalau kita betul-betul ingin mengadakan birokrasi yang
berkualitas dan memihak pada kepentingan publik sebagaimana tujuan awal
berdirinya negara.
Birokrasi yang tidak efisien, efektif, dan akomodatif mengakibatkan
cita-cita dari konstitusi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera
menjadi hal yang utopis. Pancasila dan UUD 1945 mesti dijadikan parameter utama
untuk menjalankan birokrasi dan perumusan kebijakan publik sehingga dengan
demikian pelan tapi pasti cita-cita konstitusi itu akan menjadi nyata. Meskipun
secara harafiah, sebuah ideologi tidak mungkin tercapai secara 100%. Relasi
antara lembaga legislatif dengan eksekutif dalam birokrasi dapat dilihat dalam
beberapa peraturan perundang-undangan khususnya dalam UUD 1945 misalnya pada pasal
3 ayat (2 dan 3), pasal 5 ayat (1), pasal 7A, pasal 7B ayat (1 sampai 7), pasal
7C, pasal 8 ayat (2), pasal 9 ayat (1 dan 2), pasal 11 ayat (1 dan 2), pasal 13
ayat (1,2, dan 3), pasal 14 ayat (2), pasal 20 ayat (2 sampai 5), pasal 22 ayat
(2), pasal 23 ayat (2 dan 3), dan mungkin masih ada lagi peraturan
perundang-undangan yang melibatkan antara lembaga legislatif dalam hal ini MPR
RI dengan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden).
LEMBAGA LEGISLATIF DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG DEMOKRATIS, ADIL DAN MAKMUR
Tujuan akhir dari berdirinya sebuah negara adalah untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini lembaga legislatif sebagai
salah satu unsur pemerintah tentu mempunyai tanggung jawab moril untuk
mewujudkan apa yang menjadi tujuan negara itu
yang riilnya tertuang dalam konstitusi. Sebagai konsekuensi dari
penerapan sistem demokrasi di republik ini, maka tuntutan untuk menjalankan
birokrasi secara demokratis tidak bisa dihindari. Keadaan ini tentu akan berimbas
pada situasi di masyarakat. Menurut Sri Untari (2006:31) ciri-ciri pemerintahan
yang demokratis adalah:
1.
Pemerintah mengayomi
masyarakat
Tindakan
pemerintah untuk mengemban, mengayomi rakyat disebabkan pemerintah memperoleh
kekuasaan dari rakyatnya, dimana pemerintahan baru terbentuk setelah rakyat
mengadakan pemilihan, bukan karena keturunan.
2.
Adanya keseimbangan
kekuasaan
Dalam
pemerintahan yang bercorak demokratis terdapat keseimbangan antara kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan keseimbangan ini tidak akan
terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau kekuasaan yang melampaui batas atau
hukum. Dengan keseimbangan kekuasaan ini masing-masing penyelenggara
pemerintahan dapat diawasi secara efektif, sehingga dapat mempertanggung
jawabkan segala pekerjaannya.
3.
Persuasi diutamakan
Penyelenggaraan
pemerintahan memerlukan partisipasi rakyat. Dalam rangka menggerakkan
keikutsertaan rakyat dalam segala kegiatan pemerintahan maupun pembangunan.
Dengan demikian pemerintah dalam menggunakan pengarahan, motivasi, bimbingan
dan ajakan sehingga partisipasi rakyat lahir karena kesadaran, bukan
keterpaksaan.
4.
Bersifat terbuka
Pemerintahan
yang bercorak demokratis pada umumnya bersifat terbuka bagi warga negara maupun
bagi negara lain. Hal ini berarti rakyat maupun masyarakat luar negeri dapat
mengetahui apa yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini transparansi diutamakan.
5.
Jaminan kemerdekaan atau
kebebasan
Corak
demokratis akan menjamin kebebasan dan kemerdekaan serta seluruh hak-hak yang
dimiliki rakyatnya sesuai hukum yang berlaku, sehingga rakyat hidup dengan
tenang, tanpa perasaan tertekan atau takut.
6.
Politik damai
Pada dasarnya dengan
corak demokratis negara berusaha untuk mengadakan hubungan luar negeri dengan
berbagai bangsa dengan prinsip saling menghargai, menguntungkan, membantu,
dengan demikian tercipta hubungan luar negeri yang harmonis, saling pengertian
dan pada akhirnya terwujud perdamaian dunia yang abadi.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita dari pada negara ini yang telah
tertuang dalam konstitusi serta berpatokan pada Pancasila, maka sinergis antara
ketiga lembaga negara ini (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) menjadi urgent
untuk diperhatikan dan dijaga. Kepentingan rakyat mesti dijadikan sebagai
kiblat utama dalam merumuskan atau membuat kebijakan publik. Sebagaimana
eksistensi rakyat merupakan salah satu syarat utama berdirinya sebuah negara
yang riilnya mesti diperhatikan kesejahteraan dan kemakmurannya. Intisari
demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” ini mesti kita pahami, lalu
kita aktualisasikan dalam proses birokrasi dan dalam kehidupan praktis
sehari-hari.
Usia kemerdekaan bangsa ini hampir mencapai 7 dekade, tetapi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang konon katanya menjadi tanggung jawab
negara khususnya pemerintah dapat dikatakan masih jauh dari apa yang digariskan
oleh Pancasila dan UUD 1945. Hal ini merupakan kausal dari pengelolaan atau
manajemen birokrasi dan sumber daya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
maupun dari Miangas sampai pulau Rote belum optimal atau belum sepenuhnya
didedikasikan untuk kepentingan atau kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan
kata lain, kepentingan-kepentingan pragmatis para elit maupun konglomerat masih
banyak mengelilingi proses birokrasi yang ada di negeri ini. Hal inilah yang
menjadi penghambat utama dalam membangun masyarakat Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945. Sehingga dengan demikian pengelolaan birokrasi dan
sumber daya yang ada terkhusus Sumber
Daya Alam (SDA) mesti benar-benar berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
PANCASILA SEBAGAI
PARAMETER DALAM PROSES BIROKRASI
Pada tataran ide, revitalisasi Pancasila harus dikembalikan pada
eksistensinya sebagai ideologi bangsa dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan
cita-cita atau nilai-nilai. Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan
sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti “Membela Pancasila Sampai Mati” atau “Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan”
menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis, atau lebih buruk lagi
hanya dianggap sebatas instrument tujuan. Akibatnya, kekecewaan mudah mencuat
jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat
(Sukardi Rinakit, 2008:4).
Melihat realita empiris yang ada, maka Pancasila mesti betul-betul
dijadikan sebagai asas tertinggi dalam menjalankan birokrasi termasuk dalam
membuat regulasi atau kebijakan publik. Baik itu dalam lembaga legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif mesti berdasarkan atas keadilan sosial dan tegak
lurus dengan sila-sila Pancasila
lainnya. Hukum mesti benar-benar dijadikan sebagai panglima dan rambu-rambu
untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Sebagai penjabaran dari apa yang ada pada Pancasila, maka UUD 1945
tidak bisa terlepas dari hal ini. Di samping itu, prinsip “4 Pilar” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika juga mesti disejalankan. Jika demikian
maka ekspektasi kita adalah keadaannya membalik di mana segala sesuatunya baik
itu hukum, regulasi atau kebijakan publik lebih berpihak pada kepentingan
rakyat. Tidak seperti yang selama ini terjadi atau yang dilakukan oleh birokrat
yang semata-mata untuk mencapai kepentingan golongan atau personal, dan lebih
parahnya lagi untuk kepentingan pihak asing. Retorika semestinya berbanding
lurus dengan implementasi, sehinggaa tidak menimbulkan stigma “pembohongan atau pembodohan publik”.
PENUTUP
Dalam proses birokrasi,
kepekaan birokrat terhadap apa yang menjadi kebutuhan dan kemauan publik
menjadi sesuatu yang penting untuk dimiliki. Karena pada dasarnya dalam sebuah
negara demokrasi seperti Indonesia, rakyat menduduki posisi yang esensial
sebagaimana unsur penting terbentuknya sebuah negara. Di samping itu, rakyat
juga yang memberikan mandat bagi penguasa untuk menjalankan fungsi-fungsi
birokratis. Lembaga legislatif sebagai kumpulan oknum-oknum yang mewakili
(representatif) rakyat dalam birokrasi diharapkan dapat memainkan peran
sebagaimana mestinya termasuk selalu dekat dan mengetahui apa yang menjadi
keinginan dan kebutuhan rakyat (Constituency
Work). Begitu pula pada lembaga eksekutif maupun yudikatif. Ini
merupakan sesuatu yang sakral karena mereka mewakili jutaan rakyat Indonesia
yang menghuni kepulauan di nusantara ini. Sehingga dengan demikian ekspektasinya
adalah tujuan berdirinya republik ini yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat sepenuhnya dirasakan
secara nyata.
DAFTAR RUJUKAN
Untari,
Sri, 2006. Ilmu Pemerintahan. Malang:
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang
Rinakit,
Sukardi, 2008. Tuhan Tidak Tidur.
Jakarta: Kompas
Lutfi,
Mustafa, 2011. Perihal Negara, Hukum dan
Kebijakan Publik. Malang: SETARA Press
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
perubahan ke IV
Seta.
(2009). Badan Legislatif di Indonesia. (Online).
(http://setabasri01.blogspot.com)
Diakses 05 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar