Minggu, 16 November 2014

NEGARA

(State)




Negara sebagai suatu bentuk kehidupan bersama dari seluruh masyarakat yang bersatu di bawah satu kekuasaan pemerintahan yang mana pada awalnya mempunyai suatu tujuan dari kehidupan bersama (negara) tersebut. Dari perkembangan awalnya, ada beberapa teori yang dilontarkan mengenai awal mula terbentuknya suatu negara di antaranya adalah Teori Kenyataan, Teori Ketuhanan, Teori Perjanjian Masyarakat, Teori Kekuasaan, Teori Hukum Alam, Teori Hukum Murni, dan yang terakhir adalah Teori Modern

1. Teori Kenyataan
Teori ini mengatakan bahwa suatu negara timbul ketika syarat objektifnya sudah terpenuhi. Syarat objektif yang dimaksud adalah wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat, serta pengakuan dari negara lain). 

2. Teori Ketuhanan
Teori ini mengatakan bahwa munculnya suatu negara karena atas kehendak Tuhan. Friederich Julius Stahl (1802-1861) mengatakan bahwa negara tumbuh dalam suatu proses evolusi mulai dari keluarga, suku, bangsa, dan kemudian menjadi negara. Negara tumbuh sebagai akibat dari berkumpulnya kekuatan dari dalam, serta dengan atas kehendak Tuhan. 

3. Teori Perjanjian Masyarakat
Teori ini disusun berdasarkan asumsi bahwa sebelum hadirnya negara, masyarakat hidup sendiri-sendiri. Pada waktu itu belum ada peraturan yang mengatur tentang tata hubungan antara manusia dalam masyarakat sehingga seringkali terjadi benturan atau chaos. Akibatnya manusia saling memangsa, menghabisi satu sama lain (homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes) seperti yang digambarkan oleh Thomas Hobbes. Teori perjanjian masyarakat ini diungkap dalam buku Leviathan. Perjanjian antar kelompok manusia (contract social) yang melahirkan negara ini disebut pactum unionis. Bersamaan dengan itu, terjadi pula perjanjian yang disebut pactum subiectionis yaitu perjanjian antar kelompok manusia dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis. Penganut teori perjanjian masyarakat ini antara lain Grotius (1583-1645), John Locke (1632-1704), Immanuel Kant (1724-1804), Thomas Hobbes (1588-1679), dan J.J. Rousseau (1712-1778).

4. Teori Kekuasaan
Teori ini mengatakan bahwa negara timbul karena kekuasaan. Orang kuatlah yang mendirikan negara, karena kekuatannya itu ia berkuasa memaksakan kehendaknya terhadap orang lain sebagaimana yang disebutkan oleh Kallikles dan Voltaire "Raja yang pertama adalah prajurit yang berhasil". Teori ini juga dikemukakan oleh Karl Marx. Di samping itu, ada juga H.J Laski, dan Leon Duguit.

5. Teori Hukum Alam
Para penganut teori hukum alam berasumsi bahwa adaanya hukum yang berlaku universal (tidak berubah atau statis dan berlaku di setiap waktu dan tempat). Hukum alam ini bukan buatan negara, melainkan hukum yang berlaku menurut kehendak alam. Para ahli yang menganut teori ini adalah Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquino. Plato berasumsi bahwa negara muncul karena:
"Adanya keinginan dan kebutuhan manusia yang beraneka ragam sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan itu".

6. Teori Hukum Murni
Menurut Hans Kelsen negara adalah suatu kesatuan tata hukum yang bersifat memaksa. Setiap individu harus taat dan tunduk. Kehendak negara adalah kehendak hukum, sehingga negara identik dengan hukum. 

7. Teori Modern
Teori ini menitikberatkan pada fakta dan paradigma tertentu untuk mendapat konklusi mengenai asal mula, hakekat, serta bentuk negara. Tokoh-tokoh teori ini adalah Prof. Mr. R. Kranenburg dan Prof. Dr. J.H.A. Logemann. Kranenburg mengatakan bahwa pada hakekatnya negara merupakan suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Contras dengan asumsi ini, Logemann mengatakan bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang yang menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut dengan bangsa. Perbedaan kedua asumsi ini terletak pada definisi istilah "bangsa". 


TEORI LENYAPNYA NEGARA

*Teori Organis
Teori ini mengatakan bahwa negara adalah suatu organisme, layaknya suatu makhluk hidup. Fisiologi negara sama dengan makhluk hidup yang mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan kematian. Tokoh penganut teori ini antara lain Herbert Spencer, F.J. Schmittenner, Constantin Frantz, dan Bluntschi.

*Teori Anarkis
Anarkisme merupakan suatu paham (doktrin) yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaan adalah lembaga yang menjadi biang kerok penindasan. Oleh karena itu negara, pemerintahan beserta perangkatnya mesti dibubarkan atau dihilangkan.

*Teori Marxisme
Teori ini diilhami oleh pandangan-pandangan dari Karl Marx. Beliau menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut Marxis. Teori ini merupakan dasar teori komunisme modern. Marxisme merupakan bentuk protes terhadap kapitalisme. Kaum proletar dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk menumpuk kekayaan (properti). Sehingga pada saatnya kaum proletar ini pasti akan memberontak, menuntuk hak serta keadilannya.




(Junaidi Doni Luli)
Mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang (UM)


      


Sabtu, 01 November 2014



LEMBAGA LEGISLATIF SEBAGAI REPRESENTASI RAKYAT INDONESIA
DALAM PROSES BIROKRASI


Junaidi Doni Luli (130711615631)

Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang

Abstrak: Partisipasi seluruh rakyat Indonesia dalam proses birokrasi melalui lembaga legislatif baik DPR, DPD, maupun DPRD merupakan amanat dari konstitusi dan wujud dari pelaksanaan sistem demokrasi di republik ini. Sehingga dengan demikian lembaga legislatif ini dituntut untuk lebih tanggap dan  akomodatif terhadap segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan kemauan publik serta menjalankan fungsi dan wewenang lain yang diberikan oleh konstitusi. Dengan hadirnya lembaga legislatif, diharapkan proses birokrasi berjalan dengan baik atau optimal karena di sana terjadi proses check and balance antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif sehingga amanat dari konsitusi yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera dapat terealisasi. Meskipun terwakili oleh lembaga legislatif, tetapi peran serta secara langsung oleh masyarakat juga menjadi hal yang esensial dalam proses birokrasi baik terhadap lembaga legislatif itu sendiri maupun proses birokrasi secara keseluruhan.

Abstract : The participation of all the people of Indonesia in the bureaucratic process through both the House of Representatives legislature , DPD , and DPRD is the mandate of the constitution and form of implementation of the democratic system in the republic . So the legislature is required to be more responsive and accommodating to everything the public needs and willingness to carry out the functions and powers as well as others provided by the constitution . With the presence of the legislature , is expected to run well the bureaucratic process or optimal because there occurs a process of checks and balances between the legislative bodies of the executive so that the mandate of the constitution is to realize a just and prosperous society can be realized . Although represented by the legislature , but direct participation by the public is also becoming essential in both the bureaucratic process itself and the legislature as a whole bureaucratic process.


Kata kunci: Pancasila, legislatif, rakyat Indonesia, konstitusi, demokrasi

Berbicara mengenai negara modern yang bersistem demokrasi, maka di sana terdapat tiga lembaga birokrasi yang fungsi dan wewenangnya saling terkait antara satu dengan yang lain yaitu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal dengan istilah trias politica. Ketiga lembaga itu di Indonesia dikenal dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR dan DPD), dan DPRD sebagai lembaga legislatif, Presiden beserta kabinetnya dan gubernur, bupati maupun walikota  di daerah sebagai lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif ini diperankan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.  
Partisipasi rakyat sebagai obyek dari kekuasaan negara sangatlah esensial untuk mewujudkan sistem demokrasi yang diterapkan di republik ini. Rakyat dapat menggunakan saluran atau media-media yang ada untuk memonitoring proses birokrasi yang dilaksanakan oleh para birokrat baik itu terhadap legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Demokrasi di negeri ini telah disesuaikan dengan keadaan dan budaya bangsa Indonesia sehingga dikenal dengan istilah “demokrasi Pancasila”, bukan demokrasi liberalis maupun demokrasi lain seperti yang diterapkan pada negara-negara lain. Karena pada hakekatnya keadaan dan budaya antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain adalah berbeda, sehingga butuh penyesuaian melalui proses filterisasi agar tidak melunturkan identitas asli atau budaya dari bangsa yang berdemokrasi tersebut.  

PEMILIHAN LEGISLATIF SEBAGAI BENTUK KEDAULATAN RAKYAT (DEMOKRASI)
Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum menjadi salah satu ciri utamanya. Sehingga dengan demikian maka eksistensi rakyat sangat esensial yang mana ikut menentukan arah roda birokrasi melalui pemilihan legislatif baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah (provinsi, kabupaten dan kota). Dalam proses ini, masyarakat diharapkan secara matang dan bertanggung jawab untuk menggunakan hak konstitusinya sehingga di kemudian hari hasilnya dapat dirasakan secara nyata karena figur-figur yang mereka pilih atau dipercayakan amanat bekerja sepenuhnya untuk kepentingan publik dan menempatkan kepentingan golongan maupun individu setelah kepentingan masyarakat. Karena pada hakekatnya dalam negara demokrasi, rakyatlah yang berdaulat atau berkuasa. Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan dilanjutkan pasal 2 ayat (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Sehingga dengan demikian figur yang hendak dipilih oleh konstituen dalam hal ini masyarakat mesti memperhatikan aspek-aspek kepribadian dari sang caleg (calon legislator) seperti kejujurannya, keberpihakannya pada kepentingan publik atau amanah, bertanggung jawab (akuntability), serta memiliki track record yang baik. Singkatnya, punya aspek leadership yang memadai.
Pemilihan legislatif ini dilaksanakan setiap lima tahun dan diikuti oleh pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif) yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 E khususnya ayat (1). Meskipun dalam realita empirisnya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan (inkonstitusi), tapi ekspektasi kita adalah demokrasi di negeri ini semakin dewasa dari hari ke hari dengan cara terus diadakan perbaikan atau refleksi dari waktu ke waktu. Hal ini membutuhkan campur tangan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa, terlebih lembaga-lembaga yang sengaja dibentuk untuk mengatur tentang pemilihan umum ini seperti Bawaslu, Panwaslu, dan juga KPU sendiri.

TUPOKSI LEMBAGA LEGISLATIF DALAM BIROKRASI
            Secara abstraksi, lembaga legislatif mempunyai wewenang untuk mengawasi dan mengkritisi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda birokrasi (Supervision and Criticism Government). Secara implisit, lembaga legislatif (DPR RI) mempunyai fungsi pengawasan (controlling), fungsi anggaran, dan fungsi legislasi (membuat Undang-Undang). Di samping itu, lembaga legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat juga memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Lembaga legislatif berwewenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar dalam pasal 3 ayat (1), melantik sekaligus memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pasal 3 ayat (2 dan 3), merancang UU bersama Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama dalam pasal 20 ayat (2), memberikan persetujuan kepada Presiden dalam hal menyatakan perang atau membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dalam pasal 11 ayat (1), membahas RAPBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dalam pasal 23 ayat (2), serta beberapa wewenang lain yang diberikan oleh konstitusi. Meskipun dalam lembaga legislatif di Indonesia (pusat) ini terdiri dari DPR RI dan DPD yang dipayungi MPR RI, eksistensi DPR RI ini lebih terekspose daripada DPD. Hal ini dikarenakan hampir semua konstelasi peraturan perundang-undangan yang ada di republik ini dihasilkan dari urung rembug antara DPR RI dengan Presiden. Sedangkan DPD hanya dilibatkan manakala itu berkaitan dengan persoalan-persoalan daerah seperti merumuskan RUU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hal lainnya sebagaimana disebutkan dalam UU mengenai Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

KORELASI ANTARA LEMBAGA LEGISLATIF DENGAN EKSEKUTIF DALAM BIROKRASI
            Sebagai partner dalam birokrasi, eksistensi lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam menjalankan birokrasi mesti tetap kondusif. Hal ini agar segala sesuatu yang menjadi program eksekutif (pemerintah dalam arti sempit) akan terealisasi dan mengena pada apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan rakyat baik berupa kebijakan atau regulasi dan sebagainya. Selain itu, korelasi antara legislatif dengan eksekutif juga nampak pada proses pembuatan UU (hukum positif), dan beberapa realita lain yang dilakukan oleh presiden sebagai penyelenggara eksekutif tetapi mesti mendapat legitimasi atau persetujuan dari legislatif. Silang argument merupakan hal yang manusiawi atau lumrah, selama masih di dalam koridor untuk kepentingan rakyat.
Mengingat oknum-oknum yang ada di lembaga legislatif (kecuali DPD) maupun eksekutif adalah orang partai (non independent), maka jelas bahwa kehadiran mereka juga tentu diikutsertakan dengan hadirnya kepentingan-kepentingan baik itu kepentingan partai pengusung maupun kepentingan personal. Hal ini kalau tidak diperhatikan dan ditempatkan secara proporsional maka akan sangat berbahaya karena tentu akan menghegemoni jalannya birokrasi karena di sana akan terjadi perhelatan kepentingan, implikasinya kepentingan publik menjadi terabaikan. Dengan alasan demi kepentingan publik, mereka memajukan hasrat atau syahwat politik (kekuasaan). Padahal apabila ditelisik atau ditelaah, itu malah bertentangan dengan kemauan publik. Hal semacam ini sebaiknya dihindari kalau kita betul-betul ingin mengadakan birokrasi yang berkualitas dan memihak pada kepentingan publik sebagaimana tujuan awal berdirinya negara.
Birokrasi yang tidak efisien, efektif, dan akomodatif mengakibatkan cita-cita dari konstitusi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera menjadi hal yang utopis. Pancasila dan UUD 1945 mesti dijadikan parameter utama untuk menjalankan birokrasi dan perumusan kebijakan publik sehingga dengan demikian pelan tapi pasti cita-cita konstitusi itu akan menjadi nyata. Meskipun secara harafiah, sebuah ideologi tidak mungkin tercapai secara 100%. Relasi antara lembaga legislatif dengan eksekutif dalam birokrasi dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan khususnya dalam UUD 1945 misalnya pada pasal 3 ayat (2 dan 3), pasal 5 ayat (1), pasal 7A, pasal 7B ayat (1 sampai 7), pasal 7C, pasal 8 ayat (2), pasal 9 ayat (1 dan 2), pasal 11 ayat (1 dan 2), pasal 13 ayat (1,2, dan 3), pasal 14 ayat (2), pasal 20 ayat (2 sampai 5), pasal 22 ayat (2), pasal 23 ayat (2 dan 3), dan mungkin masih ada lagi peraturan perundang-undangan yang melibatkan antara lembaga legislatif dalam hal ini MPR RI dengan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden).

LEMBAGA LEGISLATIF DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG DEMOKRATIS, ADIL DAN MAKMUR
Tujuan akhir dari berdirinya sebuah negara adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini lembaga legislatif sebagai salah satu unsur pemerintah tentu mempunyai tanggung jawab moril untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan negara itu  yang riilnya tertuang dalam konstitusi. Sebagai konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi di republik ini, maka tuntutan untuk menjalankan birokrasi secara demokratis tidak bisa dihindari. Keadaan ini tentu akan berimbas pada situasi di masyarakat. Menurut Sri Untari (2006:31) ciri-ciri pemerintahan yang demokratis adalah:
1.      Pemerintah mengayomi masyarakat
Tindakan pemerintah untuk mengemban, mengayomi rakyat disebabkan pemerintah memperoleh kekuasaan dari rakyatnya, dimana pemerintahan baru terbentuk setelah rakyat mengadakan pemilihan, bukan karena keturunan.
2.      Adanya keseimbangan kekuasaan
Dalam pemerintahan yang bercorak demokratis terdapat keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan keseimbangan ini tidak akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau kekuasaan yang melampaui batas atau hukum. Dengan keseimbangan kekuasaan ini masing-masing penyelenggara pemerintahan dapat diawasi secara efektif, sehingga dapat mempertanggung jawabkan segala pekerjaannya.
3.      Persuasi diutamakan
Penyelenggaraan pemerintahan memerlukan partisipasi rakyat. Dalam rangka menggerakkan keikutsertaan rakyat dalam segala kegiatan pemerintahan maupun pembangunan. Dengan demikian pemerintah dalam menggunakan pengarahan, motivasi, bimbingan dan ajakan sehingga partisipasi rakyat lahir karena kesadaran, bukan keterpaksaan.
4.      Bersifat terbuka
Pemerintahan yang bercorak demokratis pada umumnya bersifat terbuka bagi warga negara maupun bagi negara lain. Hal ini berarti rakyat maupun masyarakat luar negeri dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini transparansi diutamakan.
5.      Jaminan kemerdekaan atau kebebasan
Corak demokratis akan menjamin kebebasan dan kemerdekaan serta seluruh hak-hak yang dimiliki rakyatnya sesuai hukum yang berlaku, sehingga rakyat hidup dengan tenang, tanpa perasaan tertekan atau takut.
6.      Politik damai
Pada dasarnya dengan corak demokratis negara berusaha untuk mengadakan hubungan luar negeri dengan berbagai bangsa dengan prinsip saling menghargai, menguntungkan, membantu, dengan demikian tercipta hubungan luar negeri yang harmonis, saling pengertian dan pada akhirnya terwujud perdamaian dunia yang abadi.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita dari pada negara ini yang telah tertuang dalam konstitusi serta berpatokan pada Pancasila, maka sinergis antara ketiga lembaga negara ini (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) menjadi urgent untuk diperhatikan dan dijaga. Kepentingan rakyat mesti dijadikan sebagai kiblat utama dalam merumuskan atau membuat kebijakan publik. Sebagaimana eksistensi rakyat merupakan salah satu syarat utama berdirinya sebuah negara yang riilnya mesti diperhatikan kesejahteraan dan kemakmurannya. Intisari demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” ini mesti kita pahami, lalu kita aktualisasikan dalam proses birokrasi dan dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Usia kemerdekaan bangsa ini hampir mencapai 7 dekade, tetapi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang konon katanya menjadi tanggung jawab negara khususnya pemerintah dapat dikatakan masih jauh dari apa yang digariskan oleh Pancasila dan UUD 1945. Hal ini merupakan kausal dari pengelolaan atau manajemen birokrasi dan sumber daya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke maupun dari Miangas sampai pulau Rote belum optimal atau belum sepenuhnya didedikasikan untuk kepentingan atau kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kepentingan-kepentingan pragmatis para elit maupun konglomerat masih banyak mengelilingi proses birokrasi yang ada di negeri ini. Hal inilah yang menjadi penghambat utama dalam membangun masyarakat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Sehingga dengan demikian pengelolaan birokrasi dan sumber daya  yang ada terkhusus Sumber Daya Alam (SDA) mesti benar-benar berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.  

PANCASILA SEBAGAI PARAMETER DALAM PROSES BIROKRASI
Pada tataran ide, revitalisasi Pancasila harus dikembalikan pada eksistensinya sebagai ideologi bangsa dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai. Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti “Membela Pancasila Sampai Mati” atau “Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan” menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis, atau lebih buruk lagi hanya dianggap sebatas instrument tujuan. Akibatnya, kekecewaan mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat (Sukardi Rinakit, 2008:4).
Melihat realita empiris yang ada, maka Pancasila mesti betul-betul dijadikan sebagai asas tertinggi dalam menjalankan birokrasi termasuk dalam membuat regulasi atau kebijakan publik. Baik itu dalam lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif mesti berdasarkan atas keadilan sosial dan tegak lurus  dengan sila-sila Pancasila lainnya. Hukum mesti benar-benar dijadikan sebagai panglima dan rambu-rambu untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Sebagai penjabaran dari apa yang ada pada Pancasila, maka UUD 1945 tidak bisa terlepas dari hal ini. Di samping itu, prinsip “4 Pilar” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika juga mesti disejalankan. Jika demikian maka ekspektasi kita adalah keadaannya membalik di mana segala sesuatunya baik itu hukum, regulasi atau kebijakan publik lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Tidak seperti yang selama ini terjadi atau yang dilakukan oleh birokrat yang semata-mata untuk mencapai kepentingan golongan atau personal, dan lebih parahnya lagi untuk kepentingan pihak asing. Retorika semestinya berbanding lurus dengan implementasi, sehinggaa tidak menimbulkan stigma “pembohongan atau pembodohan publik”.

PENUTUP
            Dalam proses birokrasi, kepekaan birokrat terhadap apa yang menjadi kebutuhan dan kemauan publik menjadi sesuatu yang penting untuk dimiliki. Karena pada dasarnya dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, rakyat menduduki posisi yang esensial sebagaimana unsur penting terbentuknya sebuah negara. Di samping itu, rakyat juga yang memberikan mandat bagi penguasa untuk menjalankan fungsi-fungsi birokratis. Lembaga legislatif sebagai kumpulan oknum-oknum yang mewakili (representatif) rakyat dalam birokrasi diharapkan dapat memainkan peran sebagaimana mestinya termasuk selalu dekat dan mengetahui apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan rakyat (Constituency Work). Begitu pula pada lembaga eksekutif maupun yudikatif. Ini merupakan sesuatu yang sakral karena mereka mewakili jutaan rakyat Indonesia yang menghuni kepulauan di nusantara ini. Sehingga dengan demikian ekspektasinya adalah tujuan berdirinya republik ini yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat sepenuhnya dirasakan secara nyata.

DAFTAR RUJUKAN

Untari, Sri, 2006. Ilmu Pemerintahan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

Rinakit, Sukardi, 2008. Tuhan Tidak Tidur. Jakarta: Kompas

Lutfi, Mustafa, 2011. Perihal Negara, Hukum dan Kebijakan Publik. Malang: SETARA Press

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ke IV
Seta. (2009). Badan Legislatif di Indonesia. (Online). (http://setabasri01.blogspot.com) Diakses 05 Oktober 2014

Revli. (2014). Pemisahan Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. (Online). (http://www.seputarsulut.com). Diakses 05 Oktober 2014