Kamis, 18 September 2014

TUJUAN HUKUM



*Batasan dan Definisi
  Sesungguhnya hukum adalah alat, bukan tujuan. Manusia-lah yang memiliki tujuan. Karena manusia sebagai bagian dari masyarakat (kehidupan sosial) tidak mungkin dapat dipisahkan dari hukum, maka maksud dari tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk menggapai tujuan tersebut.
  Berkaitan dengan tujuan hukum, maka terdapat beberapa pendapat atau teori. Namun apabila diinventarisasi, maka hanya terdapat dua teori.Kedua teori ini adalah teori etis dan teori utilitas.

      1. Teori Etis
  Teori etis ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea, Aristoteles berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk mencapai keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah ius suum ciuque tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya. Sehingga dengan demikian, kita menjadi tahu bahwa keadilan tidak bisa disamaratakan, sebab kalau disamaratakan maka justeru akan terjadi ketidakadilan.
  Selanjutnya Aristoteles mengemukakan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Namun ada pakar hukum yang lain membedakan keadilan atas 6 macam, yaitu keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.
  -Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Tidak menuntut semua orang mendapat bagian yang sama, melainkan sesuai perbandingan jasanya.
  -Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap individu sama banyak (sama rata) tanpa melihat jasa-jasanya.
  -Keadilan vindikatif adalah keadilan yang memberikan ganjaran atau sanksi kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang diperbuat.
  -Keadilan kreatif adalah keadilan yang diberikan untuk memberikan perlindungan kepada individu yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya.
  -Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap individu sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang.
  -Keadilan legalis adalah keadilan yang ingin diciptakan oleh UU. Misalnya pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
  Teori ini dinamakan teori etis karena menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Menurut L.J  van Apeldoorn teori etis ini dianggap tidak adil atau berat sebelah karena terlalu mengagung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak mampu membuat peraturan umum. Sedangkan peraturan umum itu sarana untuk kepastian dan tertib hukum.

     2. Teori Utilitas
  Teori ini diperkenalkan oleh Jeremy Bentham dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1780). Menurut Bentham, hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang bermanfaat atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah "Kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak". Ajaran Bentham disebut juga dengan eudaemonisme atau utilitarianisme. Di dalam teori ini mengajarkan bahwa dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak.
  Seperti halnya teori etis, teori utilitas pun dianggap berat sebelah karena teori ini dianggap bersifat subyektif, relatif, dan individual.

  Atas kelemahan kedua teori inilah muncul teori gabungan yaitu teori pengayoman. Teori ini dikemukakan oleh beberapa tokoh yaitu L.J van Apeldoorn, van Kan, dan Bellefroid. Menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik itu secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif maksudnya upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan secara pasif artinya mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.

Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah:
   a. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan
   b. Mewujudkan kedamaian sejati
   c. Mewujudkan keadilan
   d. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Kamis, 11 September 2014

Tokoh-Tokoh Dalam Teori Sosiologi

Teori Giddens
Ada dua pendekatan yang kontras bertentangan, dalam memandang realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti, fungsionalisme Parsonian dan strukturalisme, yang cenderung ke obyektivisme). Kedua, pendekatan yang terlalu menekankan pada individu (seperti, tradisi hermeneutik, yang cenderung ke subyektivisme).
Menghadapi dua pendekatan yang kontras berseberangan tersebut, Anthony Giddens tidak memilih salah satu, tetapi merangkum keduanya lewat teori strukturasi. Lewat teori strukturasi, Giddens menyatakan, kehidupan sosial adalah lebih dari sekadar tindakan-tindakan individual. Namun, kehidupan sosial itu juga tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial.
Menurut Giddens, human agency dan struktur sosial berhubungan satu sama lain. Tindakan-tindakan yang berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen individual-lah yang mereproduksi struktur tersebut. Tindakan sehari-hari seseorang memperkuat dan mereproduksi seperangkat ekspektasi. Perangkat ekspektasi orang-orang lainlah yang membentuk apa yang oleh sosiolog disebut sebagai “kekuatan sosial” dan “struktur sosial.”
Hal ini berarti, terdapat struktur sosial –seperti, tradisi, institusi, aturan moral—serta cara-cara mapan untuk melakukan sesuatu. Namun, ini juga berarti bahwa semua struktur itu bisa diubah, ketika orang mulai mengabaikan, menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda.

Teori Cooley
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.

Teori Erikson
Menurut Erikson, perkembangan kepribadian seseorang itu berlangsung melalui delapan tahapan yang perpindahannya ditandai oleh adanya krisis jati diri atau identitas. Delapan tahapan tersebut adalah tahap bayi, tahap awal kanak-kanak, tahap bermain, tahap sekolah, tahap remaja, tahap dewasa, tahap dewasa menengah, dan tahap tua.

Teori Horton
Menurut Horton, kepribadian adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi, dan temperamen seseorang. Sikap, perasaan, ekspresi, dan temperamen itu akan terwujud dalam tindakan seseorang jika dihadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang mempunyai kecenderungan berperilaku yang baku, atau berpola dan konsisten, sehingga cirri khas pribadinya.

Teori Jean Piaget
Peer group adalah kelompok pertemanan dengan teman sebaya. Menurut Piaget, hubungan di antara teman sebaya lebih demokratis dibanding hubungan hubungan antara anak dan orangtua. Hubungan antarteman sebaya lebih diwarnai oleh semangat kerja sama dan saling member dan menerima di antara anggota kelompok. Menurut Piaget, dalam keluarga, orang tua dapat memaksakan berlakunya aturan keluarga. Dalam kelompok teman sebaya, aturan perilaku dicari dan diuji kemanfaatannya secara bersama-sama. Ketika anak tumbuh semakin dewasa, peran keluarga dalam perkembangan sosial semakin berkurang dan digantikan oleh kelompok teman sebaya.

Teori Albert Bandura
Pandangan dasar teori sosialisasi adalah bahwa penyimpangan sosial merupakan produk dari proses sosialisasi yang kurang sempurna atau gagal. Menurut Albert Bandura misalnya, anak-anak belajar perilaku menyimpang dengan mengamati dan meniru orang lain yang memiliki perilaku menyimpang. Khususnya, mereka mengamati dan meniru orang yang dekat dengannya.

Teori Emile Durkheim
Emile Durkheim, sosiolog dari Perancis, memperkenalkan konsep tentang anomi (anomie) dalam karyanya yang terkenal The Division of Labour in Society. Ia menggunakan konsep anomi untuk mendeskripsikan kondisi tanpa norma yang terjadi dalam masyarakat. Anomi berarti runtuhnya norma mengenai bagaimana masyarakat seharusnya bersikap terhadap yang lain. Masyarakat tidak tahu lagi apa yang bias diharapkan orang lain. Kondisi itu, menurut Durkheim, akan melahirkan perilaku menyimpang. Anomi mengacu pada hancurnya norma-norma sosial, ketika norma tidak lagi mengontrol tindakan anggota masyarakat.

Teori Goffman
Bagi Erving Goffman, perilaku menyimpang terjadi karena adanya stigma. Stigma adalah pernamaan yang sangat negative kepada seseorang/kelompok sehingga mampu mengubah secara radikal konsep diri dan identitas sosial mereka. Adanya stigma akan membuat seseorang atau sebuah kelompok dianggap negatif dan diabaikan, sehingga mereka disisihkan secara sosial.

Teori Howard S. Becker
Menurut Howard S. Becker tindakan perilaku menyimpang sesunguhnya tidak ada. Setiap tindakan sebenarnya bersifat “netral” dan “relatif”. Artinya, makna tindakan itu relatif tergantung pada sudut pandang orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang karena orang lain/masyarakat memaknai dan menamainya (labeling) sebagai perilaku menyimpang. Penyebutan sebuah tindakan sebagai perilaku menyimpang sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan.

Teori Caesare Lombroso
Lombroso menyatakan, bahwa pelaku kejahatan pada umumnya memiliki cirri-ciri fisik yang berbeda bila dibandingkan dengan orang kebanyakan. Menurutnya, para pelaku kajahatan umumnya memiliki cirri fisik: raut muka murung/sedih, rahang dan tulang pipi menonjol keluar, bulu-bulu yang berlebihan, dan jari-jari yang luar biasa panjang, sehingga membuat mereka menyerupai nenek moyang manusia (kera).

Teori Robert K. Merton
Teori ketegangan (strain theory) dikemukakan oleh Robert K. Merton. Ia menyatakan bahwa perilaku meyimpang lahir dari kondisi sosial terentu. Tepatnya, munculnya perilaku menyimpang ditentukan oleh seberapa baik sebuah masyarakat mampu menciptakan keselarasan antara aspirasi warga masyarakat dengan cara pencapaian yang dilegalkan masyarakat. Jika tidak ada keselarasan antara aspirasi-aspirasi warga masyarakat dengan cara-cara legal yang ada, maka akan lahir perilaku menyimpang. Jadi, perilaku menyimpang merupakan akibat dari adanya ketegangan antara aspirasi apa yang dianggap bernilai oleh warga masyarakat dan cara pencapaian aspirasi yang dianggap sah oleh masyarakat.


Junaidi Doni Luli
Mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang