Kamis, 26 Februari 2015


PANCASILA SEBAGAI INSTRUMEN INTEGRATIF
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 terdiri dari gugusan pulau yang berjumlah 13. 466 merupakan satu negara yang cukup besar dan luas baik dari sisi geografis maupun dari sisi demografis. Dengan keadaan yang demikian maka bangsa Indonesia sangat membutuhkan instrumen yang dapat mengintegrasikan sekian banyak pulau ini dalam satu panji kekuasaan yaitu NKRI. Dalam masa-masa sidang BPUPKI antara bulan Mei sampai Juni 1945 para pendiri negara (founding fathers) telah membicarakan dan berdebat panjang lebar mengenai dasar negara untuk republik ini yang di kemudian hari dinamakan dengan Pancasila oleh Bung Karno pada tanggal 01 Juni 1945 (hari lahirnya Pancasila). Sudah selama hampir 70 tahun ini NKRI berdiri dengan berdasarkan pada Pancasila sebagai ideologi sekaligus sebagai rambu-rambu atau paradigma pembangunan. Di samping itu, Pancasila juga telah dijadikan sebagai sistem hukum yang diberlakukan di negara ini. Dengan demikian maka, Pancasila mesti diderivasikan ke dalam segala bentuk peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang diberlakukan di republik ini dan pemberlakuannya mesti secara konsisten, tidak diskriminatif terhadap latar dan ikatan primordial apapun.

Kata Kunci: Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, integrasi
Realita-realita empiris yang muncul dalam media pemberitaan akhir-akhir ini menimbulkan suatu kekhawatiran. Adanya kasus tawuran antar warga maupun pelajar, gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI, dan berbagai kasus lainnya tentu menunjukkan bahwa kian memudarnya nilai-nilai persatuan di antara sesama Warga Negara Indonesia (WNI). Hal ini juga secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemahaman dan penghayatan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila kian melemah. Selain keadaan-keadaan internal yang demikian, ada pula faktor eksternal yang secara tidak langsung dapat memudarkan atau melemahkan sikap-sikap ke-Indonesia-an yaitu arus globalisasi yang kian menggerus. Jika kita tidak jeli dalam memfilterisasi pengaruh-pengaruh semacam globalisasi ini maka dapat dipastikan bangsa ini akan kehilangan jati diri dan digerogoti oleh nafsu duniawi. Sebagai kaum cendekiawan (Mahasiswa), kita merasa terpanggil untuk menyerukan dan menggaungkan kembali Pancasila dengan semboyannya yaitu Bhinneka Tunggal Ika di seantero Nusantara sehingga rasa sepenanggungan dan seperjuangan dapat terbangun kembali. Apalagi Pancasila sendiri dibangun dengan berlandaskan pada nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat Indonesia sehingga mudah untuk diterima dan diimplementasikan dalam kehidupan bersama. Di samping itu, hal ini perlu juga diintensifkan dalam jalur pendidikan karena memang pendidikan sendiri merupakan sarana yang efektif untuk menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai filosofis Pancasila sehingga pemahaman dan kesadaran itu terbangun sejak dini. Jika keadaan ini terwujud maka, cita-cita dari negara proklamasi berdasarkan Pancasila akan mudah untuk kita wujudkan. Dari sisi Sumber Daya Alam (SDA), negeri ini termasuk negeri yang kaya dengan bahan mineral, gas, minyak bumi, dan barang tambang lainnya yang melimpah ruah. Hanya saja bagaimana untuk mengelola SDA yang ada sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UUD 1945 (Pasal 33).

PANCASILA SEBAGAI STAATSFUNDAMENTALNORM
            Pancasila merupakan ideology, dasar negara, sistem hukum, dan juga instrumen integratif atau pemersatu kepulauan Nusantara dalam panji NKRI yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui perbincangan dan perdebatan yang panjang dalam forum BPUPKI, akhirnya disepakati bahwa dasar negara Indonesia dinamakan dengan Pancasila yang terdiri dari 5 sila yaitu (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara hukum Indonesia menghendaki adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat dengan mengedepankan asas kerukunan. Sarana peradilan sebagai opsi yang terakhir jika musyawarah tersebut tidak mencapai mufakat, tetapi tetap berpegang pada prinsip penegakan keadilan dan kebenaran.
            Secara etimologis, kata “Pancasila” terdiri dari dua suku kata yaitu “panca” dan “sila”. “Panca” yang berarti lima (5), dan “sila” berarti dasar atau asas. Secara harfiah, kata “Pancasila” dapat dikonklusikan dengan lima dasar atau lima sila. Dalam konteks NKRI, Pancasila sendiri merupakan dasar negara yang dijadikan sebagai acuan utama dalam proses birokrasi atau pemerintahan sekaligus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan ciri karakteristik yang memuat nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia di antaranya persatuan dan gotong royong, religius, musyawarah untuk mufakat, dan berbagai nilai lainnya merupakan modal bangsa ini dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Secara ideologis, bangsa Indonesia mempunyai keunggulan yaitu memiliki Pancasila yang berbeda dengan ideologi barat yaitu liberalisme maupun komunisme yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia pada umumnya. Melalui sepak terjang selama hampir 70 tahun ini, dasar negara Pancasila tetap kokoh berdiri sebagai staatsfundamentalnorm yang mengiringi proses pemerintahan dari negara sejak awal proklamasi kemerdekaan hingga hari ini. Di samping Pancasila, ada UUD 1945 sebagai grundnorm yang merupakan konstitusi yang juga mesti diderivasikan ke dalam segala hukum positif di republik ini. Selain mesti diderivasikan, Pancasila dan UUD 1945 juga mesti dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana output yang ada lebih menuju pada kepentingan publik atau simetris dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 tersebut.
            Sebagai sistem hukum, Pancasila menganut konsep prismatik atau integratif antara dua sistem  hukum Barat yaitu Eropa Kontinental (rechtstaat dengan ciri civil law) dan Anglo Saxon (the rule of law dengan ciri common law). Penerimaan dengan konsep prismatik ini juga melalui yang namanya filterisasi sehingga ada sinkronisasi kedua sistem hukum Barat tersebut dengan nilai dan budaya yang hidup di Indonesia. Menurut Moh. Mahfud MD (2012:188) inti dari negara hukum Pancasila adalah penegakan keadilan dan kebenaran, bukan semata-mata penegakan hukum dalam arti formal, dan karenanya hukum dan rasa keadilan masyarakat (living law) diberikan tempat yang wajar untuk diberlakukan. Di dalam konsep ini, kepastian hukum harus dijamin untuk memastikan tegaknya keadilan, bukan hanya tegaknya hukum-hukum tertulis yang adakalanya tidak adil. Di Korea konsep the rule of law diadaptasikan ke dalam konsepsi the rule of just law.
            Dengan demikian maka, penegakan hukum secara konsisten tanpa memandang ikatan primordial dan latar apapun sudah menjadi sebuah keharusan yang mesti diperhatikan dan dilaksanakan di negara ini mengingat begitu banyaknya kasus-kasus nepotisme yang berimplikasi pada penegakan hukum yang tidak konsisten dan terkesan pandang bulu. Komitmen yang kuat untuk melaksanakan dan menegakan hukum secara konsisten sudah barang tentu mesti dimiliki oleh personalia aparat penegak hukum di samping oleh seluruh rakyat. Sehingga cita-cita dan apa yang digariskan baik oleh Pancasila maupun UUD 1945 secara perlahan tapi pasti akan tercapai. Secara tidak langsung, penegakan hukum dengan setegak-tegaknya juga dapat menjaga keintegrasian NKRI di bawah naungan Pancasila. Sehingga perasaan atau asumsi-asumsi bahwa penegakan hukum yang ada berat sebelah atau lebih memihak pada satu golongan dapat dihilangkan dari benak orang-orang yang merasa adanya ketidakadilan hukum di republik ini. Ketidakadilan dalam penegakan hukum juga sebenarnya dapat menjadi faktor disintegrasi suatu bangsa, termasuk di Indonesia. Sehingga memang pembangunan hukum baik dari sisi substansi, struktural, maupun budaya hukum mesti disejalankan sinkron dengan asas tertinggi yaitu Pancasila (staatsfundamentalnorm).
            Menurut Moh. Mahfud MD (2012:55) sebagai paradigma pembangunan hukum, Pancasila memiliki sekurang-kurangnya empat kaidah penuntun yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pertama, hukum harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan menjamin keutuhan bangsa dan karenanya tidak diperbolehkan ada hukum-hukum yang menanam benih disintegrasi. Kedua, hukum harus mampu menjamin keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat. Ketiga, hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara hukum). Keempat, hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apapun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan dan keberadaban.
            Selain dari segi yuridis, dari segi filosofis Pancasila juga mengisyaratkan adanya integrasi secara teritori dan ideologis yaitu dengan adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” pada pita yang dicengkram oleh Garuda Pancasila. Prinsip Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika memproyeksikan bahwa meskipun bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, pluralistik, atau pun multikultural baik dari sisi suku, etnik, agama, adat istiadat, budaya, bahasa dan lain sebagainya tetapi tetap terintegrasi dalam satu panji yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak adanya peristiwa bersejarah yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta yang kita kenal dengan sebutan Hari Sumpah Pemuda. Dari sisi histori, bangsa Indonesia juga pernah bernaung di bawah panji yang sama yaitu Majapahit dan Sriwijaya sebelum akhirnya dijajah oleh bangsa asing selama berabad-abad lamanya.
            Jadi, sesungguhnya Pancasila mempunyai banyak aspek yang kemudian dapat menjadi faktor pengikat atau pengintegrasi NKRI yaitu aspek filosofis, yuridis, historis, idelologis, dan juga antropologis. Sehingga menjaga dan melaksanakannya sudah barang tentu menjadi kewajiban kita semua tanpa memandang latar apapun. Dengan demikian maka semangat proklamasi dan negara Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalamnya tercipta suasana persatuan, kekeluargaan dan keharmonisan menuju cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh the founding fathers.

PANCASILA DAN TANTANGANNYA  
            Dinamika-dinamika yang berkembang dalam masyarakat kita akhir-akhir ini merupakan satu tanda bahwa perlu adanya instrumen yang dapat digunakan untuk menyamakan persepsi, mindset, dan bila perlu kepentingan yang tidak lain adalah ideologi kita yaitu Pancasila. Dengan nilai filosofis yang dikandungnya, maka sesungguhnya Pancasila menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan problematika yang dihadapi selama ini yaitu dengan musyawarah untuk mufakat dengan menjunjung tinggi asas kekeluargaan. Sejak era Orde Lama hingga Reformasi saat ini, Pancasila tetap menjadi konsensus bangsa Indonesia yang dijadikan sebagai asas tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan menuju cita-cita bangsa sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
            Meskipun Pancasila tetap tegak berdiri mengawal pelaksanaan roda pemerintahan, tetapi dari masa ke masa yaitu sejak awal kemerdekaan hingga hari ini mempunyai corak atau konfigurasi politik yang berbeda-beda. Pancasila yang sesungguhnya menjadi dasar, asas, atau pijakan dalam pelaksanaan birokrasi yang demokratis justeru pada masa Orde Baru yaitu jaman Suharto berkuasa penggunaan kata “Pancasila” mengalami overdosis atau terjadinya kekacauan epistemologis pada konteks politik sehingga meskipun tindakan-tindakan inkonstitusi sekalipun dilandasi atau didalilkan simetris dengan Pancasila. Akhirnya muncul konotasi yang menyamakan Pancasila dengan era Orde Baru, yang mana pengucapan kata “Pancasila” dikhawatirkan akan menghidupkan kembali rejim Orde Baru yang otoriter. Hal semacam ini merupakan faktor yang melemahkan atau menimbulkan pesimisme publik terhadap Pancasila yang mana dianggap tidak mampu membawa bangsa ini menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Pancasila yang pada hakekatnya berasal dari nilai-nilai filosofis dan kultur yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia yang kemudian dijadikan sebagai paradigma pembangunan di segala lini semestinya dijadikan sebagai milik bersama (colective) sehingga pemahaman sekaligus aktualisasinya mesti dilakukan secara bersama-sama.
            Selain tantangan sebagaimana tergambar dalam paragraf di atas, dalam masyarakat pun munculnya aliran-aliran anti Pancasila atau yang menolak adanya Pancasila sebagai dasar negara dan paradigma pembangunan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Aliran ini tidak hanya menolak Pancasila, tetapi juga menolak pelaksanaan demokrasi di republik ini. Mereka ingin mendirikan negara Khilafah yang berdasarkan pada satu agama yaitu Islam dengan menghapus Pancasila yang ada selama ini. Adanya ORMAS semacam ini mesti ditanggapi secara serius, karena jelas-jelas mengancam keintegrasian NKRI yang bermasyarakat plural, baik dari sisi suku, adat isitiadat, ras, agama, dan juga kepentingan yang mesti diperhatikan dan disejalankan secara bersamaan. Negara Indonesia bukan negara yang berdasarkan pada satu agama saja, tetapi negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang di dalamnya terdapat banyak agama dan kepercayaan. Negara sudah menjamin itu, bahwa setiap warga negara berhak untuk memeluk salah satu agama dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya tersebut (Pasal 29 ayat (2)). Dalam sejarah ketatanegaraan, sila pertama Pancasila dan juga Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke-IV sempat menyebutkan “Kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” akhirnya dihapuskan dan diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” oleh the founding fathers karena dinilai dapat menimbulkan disintegrasi di kalangan masyarakat yang mana tidak hanya memeluk satu agama yaitu Islam, tetapi juga Kristen, Budha, dan Hindu. Menurut penulis, keputusan yang diambil oleh the founding fathers itu tepat adanya yaitu dalam rangka menjaga keintegrasian NKRI baik dari sisi teritori maupun ideologi. Sehingga sudah sepantasnya warisan ini kita jaga dan kita bina dalam rangka mewujudkan civil society sebagaimana cita-cita bangsa ini.
            Selain realita dan sejarah di atas, Suko Wiyono (2012:34), mengemukakan faktor-faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa Indonesia ini antara lain: (1) Nilai-nilai luhur Pancasila (fundamental, instrumental, praksis), (2) Hukum yang ditegakan secara konsisten dan adil, (3) Kepemimpinan yang efektif, (4) Pembangunan yang bermuatan harmoni, dan (5) Kekuatan (force). Sedangkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia adalah: (1) Kekuatan neoliberalisme yang mengubah negara kesejahteraan menjadi negara korporasi (dari welfare state menjadi corporate state). Fundamentalisme pasar, (2) Fundamentalisme theokrasi dan sektarianisme, (3) Kesenjangan struktural, (4) Separatisme, (5) Kekerasan politik, (6) Dampak globalisme, (7) Sentralisasi dan desentralisasi yang tidak berorientasi pada kepentingan publik. Langkah yang tepat dan mesti kita lakukan adalah memperkuat faktor-faktor integrasi dan memperlemah faktor yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa sehingga resiko perpecahan dapat diminimalisir sekecil mungkin.
            Sebagaimana salah satu faktor yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa ini yaitu globalisasi, maka proses filterisasi dan sinkronisasi sangat diperlukan agar pengaruh yang satu ini tidak menyebabkan kelunturan ciri karakteristik dan nilai-nilai filosofis yang ada dalam masyarakat. Dengan cara memilah dan memilih mana yang baik dan yang tidak baik bagi bangsa ini sehingga kita tidak mudah terombang ambing dengan pengaruh luar termasuk adanya pengaruh neoliberal yang senantiasa mengikuti jejak globalisasi tersebut. Penguatan pendidikan karakter yang berbasiskan pada nilai-nilai Pancasila sudah tidak bisa kita tunda lagi sehingga generasi bangsa ini siap dan kuat untuk menerima tantangan globalisasi ini dengan tidak meninggalkan identitas aslinya.
            Sebagaimana paragraf sebelumnya, dalam rangka menanamkan benih dan jiwa nasionalis yang cinta akan bangsa dan tanah air, maka media efektif yang dapat dimanfaatkan yaitu pendidikan. Pendidikan dari jenjang dasar, menengah pertama, menengah atas, sampai perguruan tinggi dapat dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila yang ada. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencetak generasi yang tangguh tidak hanya dari sisi teknologi dan intelektualitas, tetapi juga dari sisi moralitas sehingga nilai-nilai filosofis yang telah dituangkan dalam Pancasila tetap kuat mengawal pembangunan dan tidak mengalami kelunturan atau bahkan kehilangan identitas bangsa ini.

BHINNEKA TUNGGAL IKA, JAWABAN ATAS PLURALITAS MASYARAKAT BANGSA INDONESIA
            Realita akan adanya keanekaragaman (pluralitas) yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia tentu membutuhkan suatu rasa toleransi yang tinggi untuk menerima dan memahami segala perbedaan yang ada. Secara historis, kepulauan Nusantara ini pernah bersatu dalam naungan panji Sriwijaya (abad VII-IX) dan juga Majapahit (abad XIII-XVI), bahkan secara teritorinya lebih luas dari NKRI sekarang yaitu mencapai Taiwan dan Madagaskar. Baik secara historis maupun geografis, bangsa Indonesia juga memiliki keunggulan dari sisi demografis yang dapat dijadikan sebagai modal utama untuk memakmurkan dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
            Setelah dijajah oleh bangsa asing selama 350 tahun lebih (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang), akhirnya bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah melalui perjalanan yang cukup panjang. Sebelum teks proklamasi itu dibacakan, pada bulan-bulan sebelumnya pemerintah Jepang telah membentuk organisasi-organisasi yang bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatunya menyongsong kemerdekaan yang pada awalnya dijanjikan oleh pemerintah Jepang tersebut. Baik BPUPKI maupun PPKI dibentuk tidak lain adalah untuk merealisasikan janji Jepang tersebut. Namun pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah terjadi peristiwa bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki masing-masing pada tanggal 06 dan 09 Agustus 1945. Setelah mengetahui peristiwa ini, para pemuda mendesak kaum tua termasuk Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memanfaatkan situasi vacum of power ini untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia.
            Pada masa-masa sidang BPUPKI, para pendiri bangsa (founding fathers) telah merumuskan dan menyepakati dasar negara yang di kemudian hari disebut dengan Pancasila. Sila Pancasila salah satunya adalah “Persatuan Indonesia” (sila ke-3) secara eksplisit mengisyaratkan adanya keintegrasian (persatuan) di antara seluruh bangsa Indonesia dengan bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika”. Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara tentu mempunyai alasan-alasan yang kuat. Alasan filosofis dan antropologis bahwa Pancasila sendiri digali dari nilai dan kultur bangsa Indonesia sehingga secara kausal ia sinkron dan mudah untuk diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia baik di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan pulau lainnya dalam bingkai NKRI.
            Realita pluralitas bangsa Indonesia beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya telah diekstrak menjadi satu sistem nilai normatif yang utuh yaitu Pancasila. Pancasila mampu menampung dan menjembatani seluruh diferensiasi sosial yang ada termasuk kepentingan sehingga dalam mencapai cita-cita atau harapan dapat ditempuh dalam satu jalan yang sama tanpa memandang latar dan ikatan primordial apapun. Atau dengan kata lain, dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur bangsa sebagaimana terproyeksi dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat dilaksanakan sejalan, searah, dan juga setujuan.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika di atas pita yang dicengkram oleh Garuda Pancasila secara implisit menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, terdiri dari beraneka macam suku, ras, adat istiadait, agama, termasuk kepentingan yang mesti disintesakan ke dalam satu kekuatan yang positif dalam rangka menjaga keintegrasian baik secara teritorial maupun secara ideologis. Menurut Suko Wiyono (2012:31), semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertera pada pita yang dicengkram oleh burung garuda pada awalnya berasal dari bahasa Jawa kuno, yang mana kata bhinneka merupakan gabungan dua kata yaitu bhinna dan ika, sedangkan tunggal ika merupakan gabungan dua kata yaitu tunggal dan ika. Bhinna diartikan berbeda-beda dan ika diartikan itu sedangkan tunggal diartikan satu. Berdasarkan arti kata tersebut Bhinneka Tunggal Ika berarti “berbeda-beda itu satu itu” yang sering kita artikan berbeda tetapi tetap satu jua. Bhinneka Tunggal Ika pada awalnya merupakan sesanti yang menunjukan semangat toleransi kehidupan beragama rakyat Majapahit, yang mana meskipun di antara masyarakat Majapahit pada masa itu berbeda agamanya antara satu dengan yang lain, namun mereka tetap satu dalam pengabdian. Pada masa itu antara pemeluk agama Budha dan pemeluk agama Hindu dapat hidup rukun dan damai berdampingan di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya yang sangat terkenal yaitu Patih Gajah Mada.
Sesanti pada masa kejayaan Majapahit ini kemudian mengilhami the founding fathers dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang mampu mengayomi seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dalam 13. 466 pulau di bawah pangkuan Ibu Pertiwi yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Segala perbedaan yang ada tentu membutuhkan suatu rasa toleransi yang tinggi dengan saling menghormati dan menghargai segala entitas yang ada sehingga resiko disintegrasi dapat diminimalisir sekecil mungkin. Sila Pancasila beserta nilai-nilai implisitnya sudah barang tentu menjadi wajib untuk kita pahami dan wujudnyatakan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga suasana harmonis, aman, damai, dan tenteram dapat terwujud. Karena memang Pancasila sendiri berinduk pada nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat yang kental akan kekeluargaan, gotong royong, musyawarah untuk mufakat, beserta nilai-nilai lainnya.
Penanaman nilai-nilai Pancasila juga mesti diintensifkan pada generasi-generasi penerus bangsa sehingga ciri karakteristik yang membedakan eksistensi bangsa Indonesia dengan bangsa lain di dunia tetap dipertahankan seiring bergulirnya perubahan jaman. Identitas bangsa yaitu Pancasila merupakan hal mutlak yang mesti dipertahankan. Sehingga generasi yang dicetak tidak hanya cakap secara intelektual dan teknologi, tetapi juga secara moral dan spiritual. Pembudayaannya sejak dini pada taraf pendidikan juga tentu akan membawa imbas pada keadaan masyarakat. Sehingga masyarakat yang mantap baik secara intelektual dan teknologi maupun secara moral dan spiritual yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dapat tercipta. Tidak lain adalah dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini.

PENUTUP
            Keharusan adanya suatu instrumen yang mampu menampung dan menjembatani segala bentuk perbedaan yang ada di tengah masyarakat bangsa Indonesia telah dijawab dengan adanya Pancasila. Perumusan dan pembahasan yang dilakukan di forum BPUPKI mengenai dasar negara akhirnya menemui kata sepakat untuk memberlakukan Pancasila sebagai pengisi kekosongan dasar negara tersebut. Pancasila sendiri merupakan hasil ekstract dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law) bangsa Indonesia sehingga kemudian dijadikan sebagai konsensus yang diberlakukan di seluruh wilayah dalam teritori NKRI. Di samping posisi filosofis, Pancasila juga menempati posisi yuridis, ideologis, yang mana mesti diderivasikan ke dalam segala bentuk peraturan perundang-undangan di samping UUD 1945 sehingga semangat proklamasi tetap menjiwai setiap hukum positif yang ada di republik ini. Karena memang penegakan hukum secara konsisten yang bersumber pada staatsfundamentalnorm yaitu Pancasila merupakan salah satu dari sekian faktor yang dapat memperkuat integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Semangat toleransi dengan berbasis pada Bhinneka Tunggal Ika juga merupakan faktor yang esensial dalam mempertahankan entitas bangsa Indonesia yang heterogen ke dalam satu kesatuan di bawah pangkuan Ibu Pertiwi.

DAFTAR PUSTAKA
Mahfud MD, Moh. 2012. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers
Wiyono, Suko. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara, Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press




           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar