PANCASILA SEBAGAI INSTRUMEN
INTEGRATIF
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 terdiri dari gugusan
pulau yang berjumlah 13. 466 merupakan satu negara yang cukup
besar dan luas baik dari sisi geografis maupun dari sisi demografis. Dengan
keadaan yang demikian maka bangsa Indonesia sangat membutuhkan instrumen yang
dapat mengintegrasikan sekian banyak pulau ini dalam satu panji kekuasaan yaitu
NKRI. Dalam masa-masa sidang BPUPKI antara bulan Mei sampai Juni 1945 para
pendiri negara (founding fathers)
telah membicarakan dan berdebat panjang lebar mengenai dasar negara untuk
republik ini yang di kemudian hari dinamakan dengan Pancasila oleh Bung Karno
pada tanggal 01 Juni 1945 (hari lahirnya Pancasila). Sudah selama hampir 70
tahun ini NKRI berdiri dengan berdasarkan pada Pancasila sebagai ideologi
sekaligus sebagai rambu-rambu atau paradigma pembangunan. Di samping itu,
Pancasila juga telah dijadikan sebagai sistem hukum yang diberlakukan di negara
ini. Dengan demikian maka, Pancasila mesti diderivasikan ke dalam segala bentuk
peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang diberlakukan di republik ini
dan pemberlakuannya mesti secara konsisten, tidak diskriminatif terhadap latar
dan ikatan primordial apapun.
Kata Kunci: Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, integrasi
Realita-realita
empiris yang muncul dalam media pemberitaan akhir-akhir ini menimbulkan suatu
kekhawatiran. Adanya kasus tawuran antar warga maupun pelajar, gerakan
separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI, dan berbagai kasus lainnya
tentu menunjukkan bahwa kian memudarnya nilai-nilai persatuan di antara sesama
Warga Negara Indonesia (WNI). Hal ini juga secara tidak langsung menunjukkan
bahwa pemahaman dan penghayatan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila kian melemah.
Selain keadaan-keadaan internal yang demikian, ada pula faktor eksternal yang
secara tidak langsung dapat memudarkan atau melemahkan sikap-sikap
ke-Indonesia-an yaitu arus globalisasi yang kian menggerus. Jika kita tidak
jeli dalam memfilterisasi pengaruh-pengaruh semacam globalisasi ini maka dapat
dipastikan bangsa ini akan kehilangan jati diri dan digerogoti oleh nafsu
duniawi. Sebagai kaum cendekiawan (Mahasiswa), kita merasa terpanggil untuk
menyerukan dan menggaungkan kembali Pancasila dengan semboyannya yaitu Bhinneka
Tunggal Ika di seantero Nusantara sehingga rasa sepenanggungan dan seperjuangan
dapat terbangun kembali. Apalagi Pancasila sendiri dibangun dengan berlandaskan
pada nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat Indonesia sehingga mudah
untuk diterima dan diimplementasikan dalam kehidupan bersama. Di samping itu,
hal ini perlu juga diintensifkan dalam jalur pendidikan karena memang
pendidikan sendiri merupakan sarana yang efektif untuk menyampaikan dan
menanamkan nilai-nilai filosofis Pancasila sehingga pemahaman dan kesadaran itu
terbangun sejak dini. Jika keadaan ini terwujud maka, cita-cita dari negara
proklamasi berdasarkan Pancasila akan mudah untuk kita wujudkan. Dari sisi
Sumber Daya Alam (SDA), negeri ini termasuk negeri yang kaya dengan bahan mineral,
gas, minyak bumi, dan barang tambang lainnya yang melimpah ruah. Hanya saja
bagaimana untuk mengelola SDA yang ada sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
sebagaimana amanat UUD 1945 (Pasal 33).
PANCASILA SEBAGAI STAATSFUNDAMENTALNORM
Pancasila merupakan ideology,
dasar negara, sistem hukum, dan juga instrumen integratif atau pemersatu kepulauan
Nusantara dalam panji NKRI yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui perbincangan dan perdebatan yang panjang dalam
forum BPUPKI, akhirnya disepakati bahwa dasar negara Indonesia dinamakan dengan
Pancasila yang terdiri dari 5 sila yaitu (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara hukum Indonesia
menghendaki adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat dengan
mengedepankan asas kerukunan. Sarana peradilan sebagai opsi yang terakhir jika
musyawarah tersebut tidak mencapai mufakat, tetapi tetap berpegang pada prinsip
penegakan keadilan dan kebenaran.
Secara etimologis, kata “Pancasila” terdiri dari dua suku
kata yaitu “panca” dan “sila”. “Panca” yang berarti lima (5), dan “sila”
berarti dasar atau asas. Secara harfiah, kata “Pancasila” dapat dikonklusikan
dengan lima dasar atau lima sila. Dalam konteks NKRI, Pancasila sendiri
merupakan dasar negara yang dijadikan sebagai acuan utama dalam proses
birokrasi atau pemerintahan sekaligus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
ciri karakteristik yang memuat nilai-nilai filosofis yang hidup dalam
masyarakat bangsa Indonesia di antaranya persatuan dan gotong royong, religius,
musyawarah untuk mufakat, dan berbagai nilai lainnya merupakan modal bangsa ini
dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Secara ideologis, bangsa Indonesia mempunyai keunggulan yaitu memiliki
Pancasila yang berbeda dengan ideologi barat yaitu liberalisme maupun komunisme
yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia pada umumnya. Melalui sepak terjang
selama hampir 70 tahun ini, dasar negara Pancasila tetap kokoh berdiri sebagai staatsfundamentalnorm yang mengiringi
proses pemerintahan dari negara sejak awal proklamasi kemerdekaan hingga hari
ini. Di samping Pancasila, ada UUD 1945 sebagai grundnorm yang merupakan konstitusi yang juga mesti diderivasikan
ke dalam segala hukum positif di republik ini. Selain mesti diderivasikan,
Pancasila dan UUD 1945 juga mesti dapat dijadikan sebagai parameter untuk
mengukur sejauh mana output yang ada
lebih menuju pada kepentingan publik atau simetris dengan amanat Pancasila dan
UUD 1945 tersebut.
Sebagai sistem hukum, Pancasila menganut konsep prismatik
atau integratif antara dua sistem hukum
Barat yaitu Eropa Kontinental (rechtstaat
dengan ciri civil law) dan Anglo
Saxon (the rule of law dengan ciri common law). Penerimaan dengan konsep
prismatik ini juga melalui yang namanya filterisasi sehingga ada sinkronisasi
kedua sistem hukum Barat tersebut dengan nilai dan budaya yang hidup di
Indonesia. Menurut Moh. Mahfud MD (2012:188) inti dari negara hukum Pancasila
adalah penegakan keadilan dan kebenaran, bukan semata-mata penegakan hukum
dalam arti formal, dan karenanya hukum dan rasa keadilan masyarakat (living law) diberikan tempat yang wajar
untuk diberlakukan. Di dalam konsep ini, kepastian hukum harus dijamin untuk
memastikan tegaknya keadilan, bukan hanya tegaknya hukum-hukum tertulis yang
adakalanya tidak adil. Di Korea konsep the
rule of law diadaptasikan ke dalam konsepsi the rule of just law.
Dengan demikian maka, penegakan hukum secara konsisten
tanpa memandang ikatan primordial dan latar apapun sudah menjadi sebuah
keharusan yang mesti diperhatikan dan dilaksanakan di negara ini mengingat
begitu banyaknya kasus-kasus nepotisme yang berimplikasi pada penegakan hukum
yang tidak konsisten dan terkesan pandang bulu. Komitmen yang kuat untuk
melaksanakan dan menegakan hukum secara konsisten sudah barang tentu mesti
dimiliki oleh personalia aparat penegak hukum di samping oleh seluruh rakyat.
Sehingga cita-cita dan apa yang digariskan baik oleh Pancasila maupun UUD 1945
secara perlahan tapi pasti akan tercapai. Secara tidak langsung, penegakan hukum
dengan setegak-tegaknya juga dapat menjaga keintegrasian NKRI di bawah naungan
Pancasila. Sehingga perasaan atau asumsi-asumsi bahwa penegakan hukum yang ada
berat sebelah atau lebih memihak pada satu golongan dapat dihilangkan dari
benak orang-orang yang merasa adanya ketidakadilan hukum di republik ini. Ketidakadilan
dalam penegakan hukum juga sebenarnya dapat menjadi faktor disintegrasi suatu
bangsa, termasuk di Indonesia. Sehingga memang pembangunan hukum baik dari sisi
substansi, struktural, maupun budaya hukum mesti disejalankan sinkron dengan
asas tertinggi yaitu Pancasila (staatsfundamentalnorm).
Menurut Moh. Mahfud MD (2012:55) sebagai paradigma
pembangunan hukum, Pancasila memiliki sekurang-kurangnya empat kaidah penuntun
yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di
Indonesia. Pertama, hukum harus
melindungi segenap bangsa Indonesia dan menjamin keutuhan bangsa dan karenanya
tidak diperbolehkan ada hukum-hukum yang menanam benih disintegrasi. Kedua, hukum harus mampu menjamin
keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar
tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat. Ketiga, hukum harus dibangun secara
demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara
hukum). Keempat, hukum tidak boleh
diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apapun dan harus mendorong
terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan dan keberadaban.
Selain dari segi yuridis, dari segi filosofis Pancasila
juga mengisyaratkan adanya integrasi secara teritori dan ideologis yaitu dengan
adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” pada pita yang dicengkram oleh Garuda
Pancasila. Prinsip Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika memproyeksikan
bahwa meskipun bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, pluralistik,
atau pun multikultural baik dari sisi suku, etnik, agama, adat istiadat,
budaya, bahasa dan lain sebagainya tetapi tetap terintegrasi dalam satu panji
yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak adanya peristiwa
bersejarah yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta yang kita kenal dengan
sebutan Hari Sumpah Pemuda. Dari sisi histori, bangsa Indonesia juga pernah
bernaung di bawah panji yang sama yaitu Majapahit dan Sriwijaya sebelum
akhirnya dijajah oleh bangsa asing selama berabad-abad lamanya.
Jadi, sesungguhnya Pancasila mempunyai banyak aspek yang
kemudian dapat menjadi faktor pengikat atau pengintegrasi NKRI yaitu aspek
filosofis, yuridis, historis, idelologis, dan juga antropologis. Sehingga
menjaga dan melaksanakannya sudah barang tentu menjadi kewajiban kita semua
tanpa memandang latar apapun. Dengan demikian maka semangat proklamasi dan
negara Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalamnya tercipta
suasana persatuan, kekeluargaan dan keharmonisan menuju cita-cita bangsa
sebagaimana yang diamanatkan oleh the
founding fathers.
PANCASILA DAN TANTANGANNYA
Dinamika-dinamika
yang berkembang dalam masyarakat kita akhir-akhir ini merupakan satu tanda
bahwa perlu adanya instrumen yang dapat digunakan untuk menyamakan persepsi,
mindset, dan bila perlu kepentingan yang tidak lain adalah ideologi kita yaitu
Pancasila. Dengan nilai filosofis yang dikandungnya, maka sesungguhnya
Pancasila menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan problematika yang
dihadapi selama ini yaitu dengan musyawarah untuk mufakat dengan menjunjung
tinggi asas kekeluargaan. Sejak era Orde Lama hingga Reformasi saat ini,
Pancasila tetap menjadi konsensus bangsa Indonesia yang dijadikan sebagai asas
tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan menuju cita-cita bangsa
sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Meskipun Pancasila tetap tegak berdiri mengawal
pelaksanaan roda pemerintahan, tetapi dari masa ke masa yaitu sejak awal
kemerdekaan hingga hari ini mempunyai corak atau konfigurasi politik yang
berbeda-beda. Pancasila yang sesungguhnya menjadi dasar, asas, atau pijakan
dalam pelaksanaan birokrasi yang demokratis justeru pada masa Orde Baru yaitu
jaman Suharto berkuasa penggunaan kata “Pancasila” mengalami overdosis atau
terjadinya kekacauan epistemologis
pada konteks politik sehingga meskipun tindakan-tindakan inkonstitusi sekalipun
dilandasi atau didalilkan simetris dengan Pancasila. Akhirnya muncul konotasi
yang menyamakan Pancasila dengan era Orde Baru, yang mana pengucapan kata
“Pancasila” dikhawatirkan akan menghidupkan kembali rejim Orde Baru yang
otoriter. Hal semacam ini merupakan faktor yang melemahkan atau menimbulkan
pesimisme publik terhadap Pancasila yang mana dianggap tidak mampu membawa
bangsa ini menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Pancasila yang pada hakekatnya
berasal dari nilai-nilai filosofis dan kultur yang hidup dalam masyarakat
bangsa Indonesia yang kemudian dijadikan sebagai paradigma pembangunan di
segala lini semestinya dijadikan sebagai milik bersama (colective) sehingga pemahaman sekaligus aktualisasinya mesti
dilakukan secara bersama-sama.
Selain tantangan sebagaimana tergambar dalam paragraf di
atas, dalam masyarakat pun munculnya aliran-aliran anti Pancasila atau yang
menolak adanya Pancasila sebagai dasar negara dan paradigma pembangunan di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Aliran ini tidak hanya menolak
Pancasila, tetapi juga menolak pelaksanaan demokrasi di republik ini. Mereka
ingin mendirikan negara Khilafah yang berdasarkan pada satu agama yaitu Islam
dengan menghapus Pancasila yang ada selama ini. Adanya ORMAS semacam ini mesti
ditanggapi secara serius, karena jelas-jelas mengancam keintegrasian NKRI yang
bermasyarakat plural, baik dari sisi suku, adat isitiadat, ras, agama, dan juga
kepentingan yang mesti diperhatikan dan disejalankan secara bersamaan. Negara
Indonesia bukan negara yang berdasarkan pada satu agama saja, tetapi negara
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang di dalamnya terdapat banyak agama
dan kepercayaan. Negara sudah menjamin itu, bahwa setiap warga negara berhak
untuk memeluk salah satu agama dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya
tersebut (Pasal 29 ayat (2)). Dalam sejarah ketatanegaraan, sila pertama
Pancasila dan juga Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke-IV sempat menyebutkan
“Kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” akhirnya
dihapuskan dan diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” oleh the founding fathers karena dinilai
dapat menimbulkan disintegrasi di kalangan masyarakat yang mana tidak hanya
memeluk satu agama yaitu Islam, tetapi juga Kristen, Budha, dan Hindu. Menurut
penulis, keputusan yang diambil oleh the
founding fathers itu tepat adanya yaitu dalam rangka menjaga keintegrasian
NKRI baik dari sisi teritori maupun ideologi. Sehingga sudah sepantasnya
warisan ini kita jaga dan kita bina dalam rangka mewujudkan civil society sebagaimana cita-cita
bangsa ini.
Selain realita dan sejarah di atas, Suko Wiyono
(2012:34), mengemukakan faktor-faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa
Indonesia ini antara lain: (1) Nilai-nilai luhur Pancasila (fundamental,
instrumental, praksis), (2) Hukum yang ditegakan secara konsisten dan adil, (3)
Kepemimpinan yang efektif, (4) Pembangunan yang bermuatan harmoni, dan (5)
Kekuatan (force). Sedangkan
faktor-faktor yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia adalah: (1)
Kekuatan neoliberalisme yang mengubah negara kesejahteraan menjadi negara
korporasi (dari welfare state menjadi
corporate state). Fundamentalisme
pasar, (2) Fundamentalisme theokrasi dan sektarianisme, (3) Kesenjangan
struktural, (4) Separatisme, (5) Kekerasan politik, (6) Dampak globalisme, (7)
Sentralisasi dan desentralisasi yang tidak berorientasi pada kepentingan
publik. Langkah yang tepat dan mesti kita lakukan adalah memperkuat
faktor-faktor integrasi dan memperlemah faktor yang dapat menimbulkan
disintegrasi bangsa sehingga resiko perpecahan dapat diminimalisir sekecil
mungkin.
Sebagaimana salah satu faktor yang dapat menyebabkan
disintegrasi bangsa ini yaitu globalisasi, maka proses filterisasi dan
sinkronisasi sangat diperlukan agar pengaruh yang satu ini tidak menyebabkan
kelunturan ciri karakteristik dan nilai-nilai filosofis yang ada dalam
masyarakat. Dengan cara memilah dan memilih mana yang baik dan yang tidak baik
bagi bangsa ini sehingga kita tidak mudah terombang ambing dengan pengaruh luar
termasuk adanya pengaruh neoliberal yang senantiasa mengikuti jejak globalisasi
tersebut. Penguatan pendidikan karakter yang berbasiskan pada nilai-nilai
Pancasila sudah tidak bisa kita tunda lagi sehingga generasi bangsa ini siap
dan kuat untuk menerima tantangan globalisasi ini dengan tidak meninggalkan
identitas aslinya.
Sebagaimana paragraf sebelumnya, dalam rangka menanamkan
benih dan jiwa nasionalis yang cinta akan bangsa dan tanah air, maka media
efektif yang dapat dimanfaatkan yaitu pendidikan. Pendidikan dari jenjang
dasar, menengah pertama, menengah atas, sampai perguruan tinggi dapat
dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila yang ada. Tujuannya tidak
lain adalah untuk mencetak generasi yang tangguh tidak hanya dari sisi
teknologi dan intelektualitas, tetapi juga dari sisi moralitas sehingga
nilai-nilai filosofis yang telah dituangkan dalam Pancasila tetap kuat mengawal
pembangunan dan tidak mengalami kelunturan atau bahkan kehilangan identitas
bangsa ini.
BHINNEKA TUNGGAL IKA, JAWABAN ATAS PLURALITAS MASYARAKAT BANGSA INDONESIA
Realita akan
adanya keanekaragaman (pluralitas) yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia
tentu membutuhkan suatu rasa toleransi yang tinggi untuk menerima dan memahami
segala perbedaan yang ada. Secara historis, kepulauan Nusantara ini pernah
bersatu dalam naungan panji Sriwijaya (abad VII-IX) dan juga Majapahit (abad
XIII-XVI), bahkan secara teritorinya lebih luas dari NKRI sekarang yaitu
mencapai Taiwan dan Madagaskar. Baik secara historis maupun geografis, bangsa
Indonesia juga memiliki keunggulan dari sisi demografis yang dapat dijadikan
sebagai modal utama untuk memakmurkan dan mensejahterakan seluruh rakyat
Indonesia.
Setelah dijajah oleh bangsa asing selama 350 tahun lebih
(Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang), akhirnya bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah melalui
perjalanan yang cukup panjang. Sebelum teks proklamasi itu dibacakan, pada
bulan-bulan sebelumnya pemerintah Jepang telah membentuk organisasi-organisasi
yang bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatunya menyongsong kemerdekaan
yang pada awalnya dijanjikan oleh pemerintah Jepang tersebut. Baik BPUPKI
maupun PPKI dibentuk tidak lain adalah untuk merealisasikan janji Jepang
tersebut. Namun pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang telah menyerah tanpa
syarat kepada sekutu setelah terjadi peristiwa bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki
masing-masing pada tanggal 06 dan 09 Agustus 1945. Setelah mengetahui peristiwa
ini, para pemuda mendesak kaum tua termasuk Bung Karno dan Bung Hatta untuk
segera memanfaatkan situasi vacum of
power ini untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa-masa sidang BPUPKI, para pendiri bangsa (founding fathers) telah merumuskan dan
menyepakati dasar negara yang di kemudian hari disebut dengan Pancasila. Sila
Pancasila salah satunya adalah “Persatuan Indonesia” (sila ke-3) secara
eksplisit mengisyaratkan adanya keintegrasian (persatuan) di antara seluruh
bangsa Indonesia dengan bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika”. Pemilihan
Pancasila sebagai dasar negara tentu mempunyai alasan-alasan yang kuat. Alasan
filosofis dan antropologis bahwa Pancasila sendiri digali dari nilai dan kultur
bangsa Indonesia sehingga secara kausal ia sinkron dan mudah untuk diberlakukan
bagi seluruh rakyat Indonesia baik di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, dan pulau lainnya dalam bingkai NKRI.
Realita pluralitas bangsa Indonesia beserta nilai-nilai
yang ada di dalamnya telah diekstrak menjadi satu sistem nilai normatif yang
utuh yaitu Pancasila. Pancasila mampu menampung dan menjembatani seluruh
diferensiasi sosial yang ada termasuk kepentingan sehingga dalam mencapai
cita-cita atau harapan dapat ditempuh dalam satu jalan yang sama tanpa
memandang latar dan ikatan primordial apapun. Atau dengan kata lain, dalam
rangka mewujudkan cita-cita luhur bangsa sebagaimana terproyeksi dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat dilaksanakan sejalan, searah, dan juga
setujuan.
Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika di atas pita yang dicengkram oleh Garuda Pancasila secara
implisit menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, terdiri
dari beraneka macam suku, ras, adat istiadait, agama, termasuk kepentingan yang
mesti disintesakan ke dalam satu kekuatan yang positif dalam rangka menjaga
keintegrasian baik secara teritorial maupun secara ideologis. Menurut Suko
Wiyono (2012:31), semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertera pada pita yang
dicengkram oleh burung garuda pada awalnya berasal dari bahasa Jawa kuno, yang
mana kata bhinneka merupakan gabungan
dua kata yaitu bhinna dan ika, sedangkan tunggal ika merupakan
gabungan dua kata yaitu tunggal dan ika. Bhinna
diartikan berbeda-beda dan ika
diartikan itu sedangkan tunggal diartikan
satu. Berdasarkan arti kata tersebut Bhinneka Tunggal Ika berarti “berbeda-beda
itu satu itu” yang sering kita artikan berbeda tetapi tetap satu jua. Bhinneka
Tunggal Ika pada awalnya merupakan sesanti yang menunjukan semangat toleransi
kehidupan beragama rakyat Majapahit, yang mana meskipun di antara masyarakat
Majapahit pada masa itu berbeda agamanya antara satu dengan yang lain, namun
mereka tetap satu dalam pengabdian. Pada masa itu antara pemeluk agama Budha
dan pemeluk agama Hindu dapat hidup rukun dan damai berdampingan di bawah
pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya yang sangat terkenal yaitu
Patih Gajah Mada.
Sesanti
pada masa kejayaan Majapahit ini kemudian mengilhami the founding fathers dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara
yang mampu mengayomi seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dalam 13. 466 pulau
di bawah pangkuan Ibu Pertiwi yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Segala perbedaan yang ada tentu membutuhkan
suatu rasa toleransi yang tinggi dengan saling menghormati dan menghargai
segala entitas yang ada sehingga resiko disintegrasi dapat diminimalisir
sekecil mungkin. Sila Pancasila beserta nilai-nilai implisitnya sudah barang
tentu menjadi wajib untuk kita pahami dan wujudnyatakan dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga suasana harmonis, aman, damai, dan tenteram dapat
terwujud. Karena memang Pancasila sendiri berinduk pada nilai-nilai filosofis
yang hidup dalam masyarakat yang kental akan kekeluargaan, gotong royong,
musyawarah untuk mufakat, beserta nilai-nilai lainnya.
Penanaman
nilai-nilai Pancasila juga mesti diintensifkan pada generasi-generasi penerus
bangsa sehingga ciri karakteristik yang membedakan eksistensi bangsa Indonesia
dengan bangsa lain di dunia tetap dipertahankan seiring bergulirnya perubahan
jaman. Identitas bangsa yaitu Pancasila merupakan hal mutlak yang mesti
dipertahankan. Sehingga generasi yang dicetak tidak hanya cakap secara
intelektual dan teknologi, tetapi juga secara moral dan spiritual. Pembudayaannya
sejak dini pada taraf pendidikan juga tentu akan membawa imbas pada keadaan
masyarakat. Sehingga masyarakat yang mantap baik secara intelektual dan
teknologi maupun secara moral dan spiritual yang sadar akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara dapat tercipta. Tidak lain adalah dalam
rangka mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini.
PENUTUP
Keharusan adanya
suatu instrumen yang mampu menampung dan menjembatani segala bentuk perbedaan
yang ada di tengah masyarakat bangsa Indonesia telah dijawab dengan adanya
Pancasila. Perumusan dan pembahasan yang dilakukan di forum BPUPKI mengenai
dasar negara akhirnya menemui kata sepakat untuk memberlakukan Pancasila
sebagai pengisi kekosongan dasar negara tersebut. Pancasila sendiri merupakan
hasil ekstract dari nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat (living law)
bangsa Indonesia sehingga kemudian dijadikan sebagai konsensus yang
diberlakukan di seluruh wilayah dalam teritori NKRI. Di samping posisi
filosofis, Pancasila juga menempati posisi yuridis, ideologis, yang mana mesti
diderivasikan ke dalam segala bentuk peraturan perundang-undangan di samping
UUD 1945 sehingga semangat proklamasi tetap menjiwai setiap hukum positif yang
ada di republik ini. Karena memang penegakan hukum secara konsisten yang
bersumber pada staatsfundamentalnorm
yaitu Pancasila merupakan salah satu dari sekian faktor yang dapat memperkuat
integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Semangat toleransi dengan
berbasis pada Bhinneka Tunggal Ika juga merupakan faktor yang esensial dalam
mempertahankan entitas bangsa Indonesia yang heterogen ke dalam satu kesatuan
di bawah pangkuan Ibu Pertiwi.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud
MD, Moh. 2012. Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers
Wiyono, Suko. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernergara, Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar