Kamis, 05 Maret 2015

PEMBERANTASAN KORUPSI DAN CITA-CITA PROKLAMASI
BANGSA INDONESIA



Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia sebentar lagi akan mencapai usianya yang ke-70 tahun (1945-2015 M). Dalam perjalanannya yang mencapai usia ke-70 tahun tersebut, dinamika dalam lingkup politik di birokrasi maupun di masyarakat secara umum senantiasa terjadi. Hal ini sudah menjadi konsekuensi logis dari hakekat manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial dan makhluk politik) yang senantiasa mempunyai kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Hal ini juga berkaitan dengan kodrati manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individu yang senantiasa berproses dalam kehidupan tersebut. Berangkat dari konsepsi ini, dalam birokrasi di negeri ini seringkali terjadi pergulatan politik yang kadang berakibat positif tetapi juga kadang berakibat negatif. Karena memang pada hakekatnya politik adalah seni dalam mencapai kepentingan bersama, tetapi seringkali dibelokkan untuk mencapai kepentingan pragmatis baik pribadi maupun golongan. Fenomena semacam ini seringkali terekspose baik dalam kebijakan-kebijakan yang diperuntukan untuk publik, produk hukum, keputusan-keputusan, maupun tindakan-tindakan inkonstitusi lain yang berakibat pada proses hukum seperti KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Fenomena yang satu ini untuk Indonesia sudah bukan menjadi hal baru karena memang dalam birokrasi baik dari tingkat pusat sampai daerah sudah dipenuhi oleh prilaku KKN ini. Penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu merupakan jawaban atas situasi ini. Hal ini tidak lain adalah untuk mengembalikan birokrasi kepada domainnya untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Kata Kunci: Korupsi dan Cita-cita Bangsa Indonesia
Kata “korupsi” memang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Karena memang sejak era Orde Baru maupun era Reformasi saat ini fenomena Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sudah merebak dan seringkali menghiasi media-media pemberitaan baik cetak maupun elektronik. KKN sudah menjadi penyakit kronis birokrasi di republik ini karena memang secara kuantitas sudah sangat tinggi angkanya. Dalam menjawab situasi ini, maka hukum mesti benar-benar difungsikan sebagaimana mestinya. Penegakannya yang tanpa pandang bulu sudah menjadi hal mutlak yang harus dilakukan jika kita ingin bangsa ini terlepas dari kukungan kebiasaan dan prilaku korupsi oleh para birokrat baik di pusat maupun daerah. Karena prilaku KKN ini jelas akan menghambat terealisasinya cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam pasal- pasal UUD 1945. Sudah barang tentu menjadi tanggung jawab kita semua, dengan jalan melakukan pengawasan sekaligus mengkritisi jika terjadi hal-hal ini di luar ekspektasi publik. Selain itu, kita juga menekuni profesi kita masing-masing dalam rangka mengisi kemerdekaan yang diwariskan oleh para pendahulu kita yang tidak lain adalah dalam rangka membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera dengan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pancasila yang menjadi ideologi dengan bersumber pada nilai-nilai filosofis bangsa sudah semestinya kita pahami dan implementasikan dalam kehidupan praksis, selain itu juga mesti diderivasikan ke dalam segala bentuk peraturan perundang-undangan yang hendak (ius constituendum) atau pun yang sedang berlaku (ius constitutum).

PROBLEMATIKA KORUPSI DALAM BIROKRASI
            Perilaku korupsi para birokrat dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia akhir-akhir ini semakin merebak. Hal ini dapat kita lihat dalam berbagai media informasi baik cetak maupun elektronik yang tak henti-hentinya menyampaikan informasi terkait tindakan korupsi baik pemerintah di tingkat pusat maupun di daerah-daerah. Dapat ditarik benang merah bahwa secara tidak langsung nilai-nilai kebersamaan, kepemimpinan dengan mengutamakan kepentingan umum, beserta nilai lainnya semakin hari semakin pudar seiring bergulirnya arus globalisasi dan pergantian waktu. Fenomena mengutamakan kepentingan pragmatis baik pribadi maupun golongan dengan jalan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau pun sejenisnya kian marak. Implikasinya adalah birokrasi tidak berjalan secara efektif, efisien, dan sebagaimana mestinya sesuai politik hukum yang ada dalam grundnorm yaitu UUD 1945 beserta berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya.
            Pada tahun 2004, 2005, dan 2006, Transparency International Indonesia (TII) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan Corruption Perception Index (CPI) sangat rendah atau masih menempati negara terkorup. Pada tahun 2004 TII menempatkan Indonesia sebagai negara terbersih ke-137 atau terkorup ke-4 dari 146 negara yang disurvey, hanya sedikit lebih baik dari Myanmar, Nigeria, dan Bangladesh. Pada tahun itu, Indonesia hanya memperoleh CPI 2.0, sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan Bangladesh dengan CPI 1.5, Nigeria dengan CPI 1.6, dan Myanmar dengan CPI 1.7. Tingkat capaian CPI Indonesia ini jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan Singapura yang menempati urutan terbersih ke-5 dengan CPI 9.1 atau Malaysia yang menempati peringkat ke-39 dengan CPI 5.0.
(Moh. Mahfud MD, 2013: 190-191).
            Dengan melihat data dari TII pada tahun 2004, maka jelas dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara terkorup di dunia. Keadaan seperti ini jelas-jelas menghambat pencapaian tujuan negara yaitu mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana amanat Pancasila dan UUD 1945. Hukum sebagai instrumen dan output dari proses politik diharapkan dapat menjadi jembatan bagi negara ini dalam mewujudkan cita-citanya karena memang secara Sumber Daya Alam bangsa ini cukup besar potensinya. Secara kuantitas, Sumber Daya Manusia Indonesia memang tinggi, tetapi rendah secara kualitas. Inilah problematika yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pembangunan dengan pemerataan di segala sektor baik pendidikan, kesehatan, persoalan infrastruktur, serta berbagai sektor lainnya sudah semestinya diperhatikan oleh pemerintah. Karena memang antara kesehatan dan pendidikan tentu mempunyai kaitan yang erat dengan persoalan kualitas SDM masyarakat. Merebaknya prilaku KKN juga berimplikasi pada tidak efektifnya pembangunan masyarakat baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, serta pelayanan publik lainnya. Ironisnya, prilaku KKN ini terjadi hampir di seluruh lembaga negara baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari tingkat pusat hingga daerah. Sehingga cita-cita bangsa semakin menjadi hal yang utopis atau sulit untuk dicapai.
            Mengenai prilaku korupsi, ada yang berasumsi bahwa korupsi disebabkan oleh mental para oknum birokrat, ada juga asumsi bahwa sistem yang ada masih belum mapan dalam mencegah prilaku korupsi tersebut atau karena adanya peluang, ada juga yang mengatakan bahwa praktek korupsi sudah menjadi semacam budaya karena praktek ini sudah sejak lama terpraktekan dalam masyarakat kita darii jaman kerajaan dan juga masa penjajahan, serta berbagai asumsi lainnya. Jika kita telisik, memang asumsi-asumsi ini logis atau bisa diterima secara logika. Menurut penulis, memang antara mental oknum pejabat dan adanya peluang korupsi yang diberikan oleh sistem yang ada mempunyai kaitan dalam suatu tindak pidana korupsi. Karena jika mental oknum pejabat ini kuat dan teguh pada prinsip, maka peluang seperti apapun pasti tidak dimanfaatkan untuk melakukan korupsi tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika sistem dalam hal ini mekanisme atau prosedur dalam birokrasi dengan sebegitu kuatnya proses checks and balances maka peluang korupsi yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dapat tertutupi. Mengenai asumsi bahwa prilaku korupsi sudah semacam budaya warisan, dapat kita ubah dengan penanaman jiwa nasionalis dan tanggung jawab dengan mengutamakan kepentingan publik serta pembenahan atau pun penguatan terhadap segala prosedur yang ada sehingga dapat meminimalisir sekecil mungkin peluang dan tindakan korupsi itu. Suatu budaya berawal dari sebuah kebiasaan, dan jika kebiasaan untuk selalu mengutamakan kepentingan umum ditanamkan maka secara tidak langsung akan membawa dampak penurunan angka korupsi. Selain dari uraian di atas, ada juga kasus korupsi yang oleh pelakunya tidak menyadari kalau ia ternyata melakukan korupsi. Adanya ketidaksadaran ini jika kemudian ditelusuri dan diidentifikasi sebagai bagian dari prilaku KKN maka mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus dibawa ke pengadilan untuk diproses secara hukum lebih lanjut.
            Dalam bukunya The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, Sebastian Pompe mengatakan bahwa prilaku korupsi karena asumsi budaya di lembaga negara khususnya yudikatif (peradilan) atau judicial corruption baru muncul setelah peristiwa Malari pada tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan gaya militer. Soeharto masuk dan mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi lembaga kehakiman. Sejak saat itu, kebiasaan suap menyuap di kalangan hakim pun kian merebak sehingga independensi yang semestinya dimiliki oleh lembaga yudisial pun menjadi hilang karena intervensi eksekutif (Presiden). Pembinaan lembaga yudisial pada saat itu di bagi menjadi dua atap yakni oleh satu Departemen (di bawah intervensi pemerintah) dan Mahkamah Agung. Mengenai administratif kepegawaian dan finansial diurusi oleh Departement tersebut, dan mengenai teknis pelaksanaan peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Padahal dalam catatan sejarah yaitu tahun 1950-an, lembaga yudisial di Indonesia berjalan dengan begitu baik dan hukum pun ditegakkan sebagaimana mestinya dengan kepemimpinan yang tegas dan penuh integritas. Jaksa Agung pada masa itu yaitu Soeprapto, dengan tegas dan berani mengajukan siapa pun ke pengadilan karena melanggar hukum, termasuk para menteri. Pada masa itu juga muncul banyak hakim yang jujur, tegas, dan penuh integritas yang siap menghukum pejabat mana pun jika terindikasi melanggar hukum.
            Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai negara hukum (nomokrasi) sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsekuensinya adalah segala sesuatunyaa mesti disinkronkan atau dilegitimasi oleh hukum dalam hal ini sebagai upaya preventif tindakan-tindakan yang menyimpang dari konstitusi. Berkaitan dengan hukum, maka sesungguhnya hal ini tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut oleh negara ini yaitu Sistem Hukum Pancasila dengan konsep prismatik yang mengambil sisi baik dari kedua sistem hukum Barat yaitu Eropa Kontinental yang mengutamakan kepastian hukum (rechtstaat) dan Anglo Saxon yang menekankan pada penegakan prinsip keadilan (the rule of law) yang kemudian disinkronkan dengan nilai dan kultur bangsa Indonesia sehingga tidak menimbulkan kontradiksi atau semacamnya. Dalam praktek ketatanegaraan, seringkali Sistem Hukum Pancasila dengan konsepsi prismatik atau integratif ini tidak dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh (integrall), tetapi dipisah-pisah antara Eropa Kontinental (kepastian hukum) dan Anglo Saxon (prinsip keadilan) sesuai kepentingan oknum yang berperkara. Apabila dalam sebuah perkara dapat dimenangkan dengan alasan kepastian hukum, maka ketentuan rechtstaat yang digunakan. Begitu pula dengan penegakan prinsip keadilan, apabila dilihat hal ini dapat membawa kemenangan maka the rule of law yang dipakai. Sehingga timbulnya distorsi terhadap konsepsi prismatik Sistem Hukum Pancasila yang tidak dipandang secara totalitas, tetapi disesuaikan dengan kepentingan para oknum. Hal ini juga terjadi dalam penanganan kasus korupsi yang oleh para oknum yang berperkara bersama tim kuasa hukumnya menafsirkan hukum sesuai kepentingannya dan sekedar memenuhi syarat hukum secara formalitas-prosedural, bukan untuk melaksanakan sukma hukum yaitu penegakan prinsip keadilan dan kebenaran sesuai Pancasila dan UUD 1945 tetapi bagaimana untuk memenangkan perkara dan menyelamatkan kepentingannya.
Lembaga legislatif (pembuat UU), eksekutif (pelaksana UU), dan yudikatif (pengawas pelaksanaan UU) atau yang kita kenal dengan konsepsi Trias Politika semestinya membangun satu barisan yang kuat dalam rangka mengawal pembangunan menuju cita-cita bangsa. Hal ini contras dengan situasi di republik kita hari ini yang mana prilaku KKN merebak dengan begitu hebatnya di masing-masing institusi dari tahun ke tahun. Tameng penegakan hukum khususnya lembaga yudisial di Indonesia pun semakin tumpul dan penuh dengan KKN itu sendiri. Sehingga pembangunan hukum di republik ini sepertinya jalan di tempat, tidak beda jauh dengan era Orde Baru yang dipenuhi oleh hukum yang bersifat multi interpretable sehingga bisa ditafsirkan, dimanipulasi, atau dibelokkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pragmatis. Di samping judicial corruption yang merebak di lembaga yudisial, KKN juga merebak di lembaga kepolisian dan kejaksaan. Sehingga korupsi memang semakin tumbuh subur tanpa ada satu lembaga pun yang mampu memberantas prilaku yang satu ini.

KPK, JAWABAN ATAS MEREBAKNYA KORUPSI
            Ketika rejim Suharto digulingkan pada Mei 1998, salah satu sistem dalam masyarakat yang dapat dikatakan rusak parah adalah hukum. Krisis multi dimensi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 salah satunya karena berkenaan dengan persoalan hukum tersebut. Banyaknya produk hukum yang bersifat positivis-instrumentalistik maupun yang asimetris dengan semangat proklamasi dan konstitusi, merebaknya prilaku KKN oleh para pejabat, beserta beberapa persoalan lain memang marak pada masa Orde Baru yang kemudian digantikan dengan era Reformasi dengan menetapkan beberapa agenda di antaranya adalah: a) Amandemen UUD 1945, b) Penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI, c) Penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, d) Otonomi daerah, e) Kebebasan pers, dan f) Mewujudkan kehidupan demokrasi. Berbagai produk hukum pada masa Orde Baru ditinjau ulang atau pun dibuat baru sama sekali beserta institusi-institusi yang diperlukan dalam merealisasikan agenda-agenda tersebut.
            Berangkat dari konsepsi bahwa konfigurasi politik suatu rejim yang bersifat otoriter atau nondemokratis akan berimplikasi pada produk hukumnya yang bersifat konservatif-ortodoks atau semata-mata untuk melindungi kepentingan penguasa, maka perubahan konfigurasi politik dari rejim Orde Baru ke Orde Reformasi tentu mesti diikuti oleh perubahan pada hukum. Pada era Reformasi saat ini, sebagai bagian dari upaya penegakan hukum maka materi dari beberapa UU dan pelembagaan yudisial juga diubah. Selain amandemen atas UUD 1945 hingga empat kali, terjadi pula pencabutan PNPS Nomor 11/1963, kemudian pengganti UU Nomor 3 Tahun 1971, penyatuatapan semua lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, pembentukan KPK, dan penggantian semua UU di bidang politik yang disinyalir menyimpang dari konstitusi.
Dengan melihat realita bahwa prilaku KKN ini tumbuh dengan subur di republik ini baik dari masa Orde Baru maupun pada Reformasi saat ini, maka melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang kemudian kita kenal dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan nama lain yang diberikan oleh UU atasnya. KPK diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindakan-tindakan korupsi melalui mekanisme hukum yang sudah diatur secara jelas dalam UU KPK tersebut. Sejak tahun 2004 hingga 31 Januari 2015, berdasarkan data dari Anti Corruption Clearing House (ACCH) kasus korupsi yang ditangani oleh KPK sejumlah 679 kasus (penyelidikan), 416 kasus (penyidikan), 326 kasus (penuntutan), 283 kasus (inkchrat), dan 297 kasus (eksekusi). Berdasarkan data tersebut, maka laporan dugaan kasus korupsi yang masuk ke KPK mencapai angka 2001 kasus baik penyelidikan, penyidikan, penuntutan, inkchrat atau yang sudah berkekuatan hukum tetap, maupun kasus yang dieksekusi eksekusi. Hal ini tidak lain adalah akibat dari keterbatasan yang dimiliki oleh KPK dari sisi tenaga kepegawaian. Total pegawai KPK pada akhir 2014 sebanyak 1.102 pegawai, termasuk 73 penyelidik, 79 penyidik, 94 penuntut umum, dan 262 pegawai kedeputian pencegahan. Dalam memberantas KKN sebagaiamana salah satu dari agenda Reformasi, maka jelas sangat membutuhkan dukungan dan sinergitas dari seluruh elemen bangsa tidak hanya pada lembaga yudisial, tetapi juga legislatif, eksekutif, dan seluruh rakyat Indonesia untuk selalu mengawal dan mengkritisi jalannya pemerintahan dalam rangka mewujdukan cita-cita proklamasi bangsa Indonesia.
Ekspektasi dalam membangun hubungan yang sinergis dan saling mendukung terutama di antara sesama lembaga penegak hukum akhir-akhir ini telah menunjukan fakta yang sebaliknya bahwa justeru di antara sesama lembaga penegak hukum saling mencari menang dan mengkriminalisasi lembaga lain. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus KPK-POLRI yang berawal dari pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri yang mana sebelumnya calon Kapolri ini sudah ditetapkan sebagai Tersangka dalam suatu kasus dugaan korupsi oleh KPK. Konflik antara POLRI-KPK pun meruncing, ketika Budi Gunawan mengajukan gugatan ke pra peradilan yang kemudian diputuskan bahwa penetapan sebagai tersangka atas Budi Gunawan oleh KPK adalah tidak sah. Meskipun demikian, keputusan menjadi Kapolri atau tidaknya Budi Gunawan ada di tangan Joko Widodo selaku Presiden yang memiliki hak prerogatif atas itu. Tidak hanya itu, tidak lama dari kasus ini, dua pimpinan KPK yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pun ikut ditetapkan sebagai Tersangka oleh POLRI atas dugaan pemalsuan data dan beberapa dugaan kasus lainnya.
Proyeksi dari situasi di atas menunjukan bahwa memang antara sesama institusi penegak hukum pun belum ada sinergitas dan saling mendukung dalam menegakan hukum tersebut. Sehingga secara tidak langsung upaya untuk merealisasikan agenda Reformasi pun semakin menjadi hal yang utopis. Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah menggariskan cita-cita bangsa yang mesti dicapai secara bersama-sama dengan jalan persatuan, gotong royong, dan sinergitas atau saling mendukung di antara seluruh elemen bangsa termasuk dalam hal penegakan hukum.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi yang baru didirikan setelah Reformasi bergulir tentu tidak bisa terlepas dari dinamika-dinamika politik baik berupa perlawanan maupun upaya-upaya yang sengaja dilakukan untuk melemahkan eksistensi KPK ini. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPTPK yang kemudian kita kenal dengan UU KPK dan eksistensi dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pernah digugat atau diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan mekanisme judicial review oleh beberapa mantan anggota KPU dengan dihadapkan pada UUD 1945 (konstitusi) seperti pasal 1 angka 3 yang dikaitkan dengan pasal 53 UU itu yang katanya contras dengan pasal 24 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ada juga pasal 2, pasal 3, dan pasal 20 UU-KPK yang dipertentangkan dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang negara hukum yang pada dasarnya mempersoalkan eksistensi KPK karena dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia hanya ada MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga dipertentangkan dengan pasal 6 huruf c UU-KPK yang menyebabkan kontradiksi antara dua atau lebih UU yang berlaku dan mengikat pada saat yang sama. Pasal 11 huruf b UU KPK juga diklaim telah menimbulkan perhatian dan meresahkan masyarakat karena berdasarkan pasal 6 huruf c, KPK diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Pemohon juga mempersoalkan pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK yang memberi kewenangan kepada KPK untuk menyadap dan merekam pembicaraan dalam penanganan kasus dugaan korupsi yang katanya melanggar pasal 28D ayat (1), pasal 28F, dan pasal 28G ayat (1) UUD 1945 mengenai hak warga negara dari rasa aman dan melanggar asas praduga tak bersalah. Pasal 40 UU KPK mengenai ketidakberwenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 dipertentangkan dengan pasal 1 ayat (3), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1), dan pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena pasal tersebut membawa konsekuensi bagi oknum yang disidik atau diperiksa sebagai Tersangka secara otomatis akan menjadi Terdakwa serta persoalan akan persamaan kedudukan di depan hukum. Di samping berbagai pasal dari UU KPK yang dipersoalkan ini, masih ada juga pasal yang dipersoalkan yaitu pasal 72 yang dipertentangkan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu mengenai kepastian hukum. Padahal di Indonesia, penegakan hukum dan HAM tidak hanya berpatokan pada kepastian hukum, tetapi juga prinsip keadilan dan kemanfaatan.
Dari berbagai data dan uraian dalam tulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa upaya penegakan hukum secara umum dan pemberantasan korupsi khususnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya segala sesuatunya membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang dalam mencapai hasil yang memuaskan. Dalam judicial review atas UU KPK yang diajukan oleh beberapa mantan anggota KPU itu, menurut penulis pada dasarnya tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena memang pembentukan KPK melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 berdasarkan perintah konstitusi yaitu UUD 1945 dalam hal menegakan hukum dan memberantas KKN. Sehingga pemberlakuan dan jalannya UU KPK telah memiliki legal standing yang sah dan secara formal UU ini dibuat oleh lembaga legislatif yaitu DPR sehingga jika dipersoalkan maka bukan melalui judicial review, tetapi melalui legislative review.
Memang sejauh ini KPK dapat dikatakan sedikit berhasil dalam memberantas korupsi sebagaimana politik hukum dari UU KPK yang dijabarkan dalam tupoksi lembaga tersebut. Di mata masyarakat luas, satu-satunya lembaga negara yang dapat dipercaya independensi dan integritasnya yaitu KPK, setelah integritas Mahkamah Konstitusi dicabik-cabik oleh kasus Akil Mochtar. Ketika kasus Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi mencuat, optimisme publik terhadap penegakan hukum di republik ini kian mengalami degradasi. Sehingga KPK merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang tersisa jika kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto itu tidak benar oleh hukum.
Adanya polemik mengenai eksistensi KPK yang dikaitkan dengan konstitusi, secara implisit sebenarnya hal ini sudah diatur oleh UUD 1945. Karena kewenangan yang diberikan kepada lembaga legislatif untuk mengatur lebih lanjut mengenai sistem ketatanegaraan yang belum dimuat dalam UUD 1945 sejauh tidak melanggar asas-asas dan restriksi yang dimuat dalam konstitusi. Eksistensi KPK juga dapat dijelaskan dengan menggunakan dalil hukum salus populi supreme lex (keselamatan rakyat atau bangsa dan negara adalah hukum tertinggi). Kronisnya prilaku KKN di negeri ini telah menuntut adanya KPK untuk melakukan upaya preventif maupun represif sehingga negara tidak terkesan permisif terhadap kasus-kasus korupsi. Secara konstitusional (tertulis), KPK juga mempunyai legitimasi karena eksistensinya bersumber pada salah satu dokumen tersebar atau peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945.


PENUTUP
            Konsepsi nomokrasi (negara hukum) yang dianut oleh Indonesia semestinya dilaksanakan atau ditegakkan secara konsisten. Segala perbuatan hukum mesti ditindaklanjut secara hukum pula, sehingga roda pembangunan dalam masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini tidak lain adalah konsekuensi dari eksistensi hukum sebagai output politik UUD 1945 dan sarana pengantar bagi rakyat Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Pembangunan hukum baik dari sisi substansi, struktural, maupun budaya hukumnya mesti disejalankan sehingga tidak terjadi kepincangan sosial. Di samping itu, penegakan hukum secara tegas tanpa pandang bulu menjadi hal yang urgent sehingga pemenuhan rasa keadilan dapat terealisasi. Prilaku birokrat yang penuh dengan syahwat KKN mesti ditanggapi secara serius oleh hukum karena secara tidak langsung akan berimplikasi pada tidak efektifnya proses pembangunan masyarakat karena banyak yang diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau pun golongan. Pancasila dan UUD 1945 yang telah diderivasikan ke dalam segala bentuk peraturan perundang-undangan diharapkan dapat mengantarkan dan mengawal proses pembangunan menuju terwujudnya cita-cita proklamasi bangsa Indonesia.



           

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar