NUSANTARA
DENGAN PERSPEKTIF
BHINNEKA TUNGGAL IKA
BHINNEKA TUNGGAL IKA
Junaidi
Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Email: junaidi.bantel@gmail.com
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Email: junaidi.bantel@gmail.com
Abstrak: Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, terdiri dari gugusan ribuan pulau yang dikenal dengan istilah Nusantara. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mengukir satu sejarah yang sama yaitu sama-sama pernah dinaungi oleh panji Majapahit dan Sriwijaya. Pada era inilah nenek moyang bangsa Indonesia saling berinteraksi baik dalam hal perdagangan, perkawinan, serta hal lainnya. Setelah melalui sejarah yang cukup panjang, terjadilah suatu pertemuan antar kaum pemuda se-Nusantara yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Dengan ikrar bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia telah berjuang untuk mengusir bangsa Eropa yang datang untuk menjajah dan merampas kekayaan alam serta banyak memperbudak orang-orang pribumi yaitu bangsa Indonesia sendiri. Tahun 1945 tepatnya tanggal 17 Agustus merupakan hari yang bersejarah yang mana sang republik yaitu Republik Indonesia lahir. Dengan berideologi Pancasila dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, bangsa Indonesia membangun peradabannya di tengah persaingan global. Sebagai generasi penerus bangsa ini, hendaknya kita meneruskan perjuangan para pendahulu dan pendiri negara ini yaitu tidak lain adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bersama. Perjuangan tidak harus dengan mengangkat senjata, tetapi perjuangan dengan cara kita masing-masing yang setidaknya berdayaguna bagi diri kita, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Kata Kunci: Nusantara, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila
Akhir-akhir
ini kita sering mendapat informasi di tanah air, di antaranya adalah tawuran
antar pelajar atau masyarakat, korupsi, bencana alam, dan lain sebagainya.
Hal-hal semacam ini kalau kita kaji dari segi sosiologis memang merupakan satu
hal yang lumrah. Tetapi jikalau tidak kita sikapi secara cepat dan tepat tentu
akan berdampak serius yang mana dapat mengancam integrasi bangsa ini khususnya
masalah tawuran atau perang antar masyarakat. Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hasil
perjuangan bersama bangsa Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan
intensitas persoalan khususnya tawuran atau perang yang cukup tinggi. Hal ini
tentu menandakan bahwa rasa persaudaraan dan kekeluargaan sebagai suatu bangsa
dapat dikatakan masih rendah. Bangsa Indonesia sebagai satu bangsa yang besar
dengan heterogenitasnya tentu rentan akan disintegrasi, tetapi hal itu dapat
kita minimalisir jikalau rasa senasib dan seperjuangan, serta sepenanggungan
yaitu dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa ini kita pahami dan
implementasikan dalam personal kita masing-masing.
The founding fathers
sudah mewarisi kita satu bangsa yang merdeka serta ideologinya yaitu Pancasila
dan juga UUD 1945, tinggal bagaimana langkah menuju apa yang sudah digambarkan
dalam Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke-IV yang mana merupakan jabaran
dari Pancasila itu sendiri. Pembuatan hukum positif, pengambilan keputusan,
serta pemberlakuan kebijakan yang semata-mata untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat merupakan sesuatu yang mesti dilakukan oleh pemerintah selaku
pelaksana roda birokrasi di negeri ini. Karena pada hakekatnya pemerintah
adalah pelayan, bukan majikan. Yang mana kekuasaan yang mereka miliki adalah
semata-mata titipan atau kepercayaan dari rakyat sebagai esensi dari demokrasi
(kedaulatan rakyat) yang berlaku di republik ini.
BERKAH BAGI NUSANTARA
Negara
Indonesia yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17
Agustus 1945, adalah negara besar yang didukung oleh sejumlah keunggulan, mulai
dari keunggulan geografis (Sumber Kekayaan Alam), keunggulan demografis (Sumber
Daya Manusia), keunggulan sosial budaya sampai dengan keunggulan ideologis.
Keunggulan yang secara geografis terletak di antara 6 LU-11 LS dan 95 BT-141 BT
tersebut, mencakup keunggulan natural (alamiah) dengan luas wilayah 15 juta
kilometer persegi, yang terdiri dari 3 juta kilometer persegi daratan dan
kurang lebih 12 juta kilometer persegi lautan, dalam gugusan yang selama ini
kita ketahui berjumlah 17. 508 pulau. Namun dalam Konferensi Rupa Bumi yang
diadakan PBB di New York (AS) yang berakhir tanggal 31 Juli 2012, pemerintah
Indonesia secara resmi mendaftarkan 13. 466 pulau sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pulau yang didaftarkan, jumlahnya berbeda dengan
jumlah pulau yang diketahui oleh publik selama ini. Tanah subur dengan iklim
yang memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, serta kaya Sumber
Kekayaan Alam (SKA) dan keanekaragaman hayati, yang mana Indonesia sangat kaya
dengan berbagai macam flora dan fauna. Indonesia memiliki 47.000 jenis
tumbuh-tumbuhan dan 3025 species binatang. Posisi geopolitiknya yang sangat
strategis, sebagai negara bahari (maritim, kelautan) berada di antara benua
Asia dan benua Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
sebagai transpolitik-ekonomi dan kultural bangsa-bangsa di dunia saat ini dan
di masa yang akan datang. Bangsa Indonesia memiliki 615 bahasa daerah, 485 lagu
daerah dan 300 gaya seni tari. Jumlah penduduk yang sangat besar yang
berdasarkan hasil sensus 2010 berjumlah 237,6 juta, terdiri dari 10.086 suku
bangsa. Jumlah penduduk Indonesia tersebut menduduki urutan empat besar di
dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat merupakan modal yang paling
penting, karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat tergantung pada
faktor manusianya (SDM). (Suko Wiyono, 2012:17).
Berdasarkan
data yang tertera di atas, memang dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah
suatu bangsa yang besar nan kaya, kaya secara Sumber Daya Alam (SDA) maupun
Sumber Daya Manusia (SDM). Hanya saja mesti kita akui bahwa Sumber Daya Manusia
bangsa ini belum cukup terlatih untuk mengelola berkah yang diberikan oleh
Tuhan kepada bangsa ini dengan Sumber Daya Alam yang melimpah ruah. Hal ini
tentu berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Peran IPTEK
sangat besar pada era saat ini yang mana segala sesuatunya kalau tidak tidak
didukung oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memadai maka akan sangat
sulit untuk pengelolaannya apalagi mengenai kekayaan alam yang mana banyak
terpendam di dalam perut bumi.
Dengan
menata generasi yang handal secara intelektual maupun secara spiritual maka
persoalan-persoalan ini dapat ditangani. Hal ini juga berkaitan dengan Tri
Dharma Perguruan Tinggi dalam rangka mewujudkan generasi bangsa yang handal dan
tangguh serta mampu bersaing di era global saat ini. Karena intelektual tanpa
diimbangi oleh spiritual dan ideologi yang kuat maka akan mudah digoyah dan
tergerus, apalagi di jaman yang penuh kompetisi saat ini. Kegiatan penelitian
serta pengembangan teknologi di tanah air menjadi hal yang penting dan mesti
digalakkan oleh pemerintah termasuk di Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi di
tanah air.
SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA
Layaknya
negara lain di dunia, Indonesia sendiri mempunyai satu ideologi yang bersumber
dari nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat Nusantara yaitu Pancasila.
Pancasila merupakan hasil rumusan dari pada pendiri bangsa (founding fathers) pada masa-masa sidang
BPUPKI. Istilah Pancasila sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno
dalam pidatonya pada tanggal 01 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI untuk
menyampaikan rumusan dasar negara. Pancasila sendiri berasal dari bahasa
Sanskerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu “panca” yang artinya lima, dan
“sila” yang berarti dasar atau asas, secara harafiah Pancasila berarti lima
dasar. Dengan lambang burung garuda sambil mencengkram sebuah pita yang
bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, dan di dada sang garuda tergantung sebuah
perisai yang tergambar lima sila Pancasila. Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa digambarkan dengan sebuah bintang bersudut lima yang diletakan tepat
di tengah perisai, sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab
digambarkan dengan pohon beringin, sila ketiga yaitu persatuan Indonesia
digambarkan dengan sebuah rantai, sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang digambarkan
dengan kepala banteng, dan sila yang terakhir atau sila kelima yaitu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tergambar dengan padi dan kapas.
Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang tertera pada pita yang dicengkram oleh burung garuda
pada awalnya berasal dari bahasa Jawa kuno, yang mana kata bhinneka merupakan gabungan dua kata yaitu bhinna dan ika, sedangkan
tunggal ika merupakan gabungan dua kata yaitu tunggal dan ika. Bhinna diartikan berbeda-beda dan ika diartikan itu sedangkan tunggal diartikan satu. Berdasarkan arti
kata tersebut Bhinneka Tunggal Ika berarti “berbeda-beda itu satu itu” yang
sering kita artikan berbeda tetapi tetap satu jua. Bhinneka Tunggal Ika pada awalnya
merupakan sesanti yang menunjukan semangat toleransi kehidupan beragama rakyat
Majapahit, yang mana meskipun di antara masyarakat Majapahit pada masa itu
berbeda agamanya antara satu dengan yang lain, namun mereka tetap satu dalam
pengabdian. Pada masa itu antara pemeluk agama Budha dan pemeluk agama Hindu
dapat hidup rukun dan damai berdampingan di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk
dengan Mahapatihnya yang sangat terkenal yaitu Patih Gajah Mada. (Suko Wiyono,
2012:31).
Semboyan
pada masa Kerajaan Majapahit ini kemudian mengilhami para pendiri bangsa ini
sehingga diadopsi dan diabadikan sebagai semboyan bangsa Indonesia yang
heterogen baik dari sisi suku bangsa, etnik, kebudayaan, adat istiadat, agama,
dan juga bahasa yang terintegrasi dalam satu panji yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diawali dengan ikrar oleh para pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928. Perbedaan merupakan sesuatu yang kodrati sebagai makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa, yang bukan untuk dipertentangkan tetapi untuk diintegrasikan
menjadi satu sintesa yang positif dalam rangka membangun negara tercinta ini.
NKRI
yang terdiri dari 13. 466 pulau terintegrasi dan terikat dengan satu semboyan
yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” dengan perasaan senasib dan seperjuangan sebagai
bagian dari satu sejarah yang sama yaitu sejarah Majapahit dan Sriwijaya.
Inilah kekuatan terbesar kita untuk membangun negeri tercinta, yaitu Republik
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau
Rote. Ditambah dengan anugerah kekayaan alam yang melimpah ruah dari Sang
Pencipta, sehingga memang pantas negeri ini dijuluki sebagai “surga kecil yang
jatuh ke bumi”. Tinggal saja bagaimana segala yang ada dikelolah dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana amanat UUD 1945 (pasal 33 UUD 1945). Itulah cita-cita negara yang
diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia pada
tangga 17 Agustus 1945.
TANTANGAN BAGI BHINNEKA TUNGGAL IKA
Bangsa
Indonesia sebagai salah satu pion dalam percaturan dunia internasional tentu
tidak bisa terlepas dari pasang surutnya dunia internasional yang mana membawa
imbas bagi kehidupan politik di tanah air. Sebagai satu bangsa yang besar yang
terdiri dari beraneka ragam suku, ras, etnik, agama, budaya, adat istiadat,
latar dan kepentingan tentu seringkali mengalami turbelensi-turbelensi yang
setidaknya dapat mengancam integrasi bangsa ini. Rentetan peristiwa yang
terjadi di tanah air baik di Poso, Ambon, Papua, dan juga di berbagai daerah
lain cukup membuktikan hal itu.
Meskipun
penggerak utama dan sasaran utama globalisasi saat ini sebenarnya sama seperti
jaman kolonialisme dahulu, yaitu kapitalisme yang agresif dan eksploitatif,
tetapi penampilannya memang sangat menawan dan mudah sekali membangkitkan
simpati bagi mereka yang tidak mencermatinya secara komprehensif. Dengan dalih
memperjuangkan hak-hak asasi manusia, demokratisasi dan lingkungan hidup,
mereka berusaha melakukan tekanan dalam bidang politik dan ekonomi, yang
berakibat timbulnya fenomena semakin berkembang dan menguatnya sifat
individualistis, solidaritas kelompok yang sempit berlatar belakang suku,
agama, ras, dan adat istiadat serta latar belakang kepentingan-kepentingan
sesaat lainnya. Hal ini menimbulkan disparitas dan diskriminasi sosial, yaitu
persaingan dan pertentangan antar kelompok dalam masyarakat. Pemujaan kebebasan
dan demokrasi atas nama HAM yang kebablasan, berwujud dalam oligarchy dan anarchisme. Keadaan tersebut jelas akan mereduksi semangat
kolektifitas yang memunculkan gejala penolakan terhadap konsep persatuan dan
kesatuan sebagai sebuah kekuatan mendasar bagi bangunan Indonesia seperti yang
terpatri dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga budaya dan etika politik
amat memprihantinkan. Sebagai akibat tantangan global dan liberalisasi yang
melanda rakyat Indonesia, maka budaya dan moral sosial politik dalam tatanan
kebangsaan dan kenegaraan sudah jauh menyimpang dari pada cita-cita, identitas
dan integritas NKRI sebagai negara proklamasi berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. (Suko Wiyono, 2012:8-9).
Keterpurukan
Indonesia di tahun 1998, karena hantaman krisis moneter yang kemudian
berkembang menjadi krisis ekonomi, krisis politik dan bahkan telah berubah
menjadi krisis multidimensi. Hal ini bukanlah semata-mata merajalelanya korupsi
dan berkembangbiaknya secara luar biasa konglomerat hitam. Akan tetapi korupsi
dan konglomerat hitam merupakan akibat dari potret buram kebijakan publik yang
lebih berorientasi pada penyelamatan penguasa untuk mempertahankan jaring-jaring
kekuasaannya. Situasi inilah yang kemudian dapat menumbuhsuburkan korupsi dan
“halal” dilakukan. Dari kebijakan publik yang buruk menyebabkan kolusi dan
perselingkuhan antara kekuasaan dengan pemegang kendali modal (pengusaha), yang
membuat pengusaha dengan mudah “membeli” lisensi, fasilitas dan memonopoli
akibat dari kebijakan yang penuh rekayasa untuk menguntungkan diri sendiri dan
kelompoknya. Pendek kata kebijakan publik di masa orde baru tak lebih hanya
sebagai alat pembenar bagi penguasa orde baru.
(Mustafa Lutfi, 2011:37).
(Mustafa Lutfi, 2011:37).
Di
samping itu, pada tataran praksis banyak sekali penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh tokoh politik di tanah air termasuk aparat pemerintah sendiri
untuk mencapai kepentingan-kepentigan pragmatis entah itu pribadi maupun
golongan. Contoh konkret dari situasi ini adalah melambungnya angka korupsi
yang dilakukan di tubuh birokrasi dari tahun ke tahun. Hal ini tentu menandakan
bahwa kesadaran akan kedudukan yang diperoleh sebagai titipan dari pemilik
kedaulatan tertinggi yaitu rakyat masih tergolong rendah, di samping kesadaran
hukum (budaya hukum). Korupsi sudah menjadi momok bagi lembaga pemerintahan,
sampai-sampai muncul stigma bahwa tidak ada politisi maupun birokrat yang tidak
melakukan tindakan korupsi. Hal ini merupakan implikasi dari situasi yang kian
parah oleh kasus-kasus korupsi yang dimuat oleh media-media pemberitaan
akhir-akhir ini. Secara tidak langsung, situasi ini tentu berdampak pada
disintegrasi bangsa ini. Yang mana muncul pandangan bahwa para birokrat di
negeri ini hidup bergelimangan harta yang mana itu sebenarnya adalah titipan
dari rakyat, tetapi rakyat sendiri hidup dalam situasi yang cukup sulit dan
dilematis. Apalagi ditambah imbas dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Sehingga tidak heran kalau akhir-akhir ini angka kriminalitas
semakin meroket, termasuk tindakan-tindakan separatis yang ingin memisahkan
diri dari NKRI seperti di Papua dan beberapa daerah lain di tanah air.
Dalam
menghadapi situasi semacam ini, hukum merupakan satu kata kunci yang sangat
urgent untuk menjawab tentang dasar atau rambu-rambu dalam membangun masyarakat
Indonesia di era globalisasi saat ini. Hukum bukan satu-satunya norma yang
mesti dijadikan patokan, tetapi sebagai satu bentuk norma yang paling konkret
dan sangat efisien serta efektif untuk membangun masyarakat Indonesia. Sehingga
dengan demikian ia bisa menjadi penutup pintu bagi disintegrasi bangsa ini yang
mana merupakan tantangan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri.
Semangat persatuan dengan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika tentu akan berdampak
positif dan menjadi kekuatan terbesar bagi bangsa ini dalam langkah menuju
cita-cita bangsa.
Menurut
Suko Wiyono (2012:34), faktor-faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa
Indonesia ini antara lain: (1) Nilai-nilai luhur Pancasila (fundamental,
instrumental, praksis), (2) Hukum yang ditegakan secara konsisten dan adil, (3)
Kepemimpinan yang efektif, (4) Pembangunan yang bermuatan harmoni, dan (5) Kekuatan
(force). Sedangkan faktor-faktor yang
dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia adalah: (1) Kekuatan
neoliberalisme yang mengubah negara kesejahteraan menjadi negara korporasi
(dari welfare state menjadi corporate state). Fundamentalisme pasar,
(2) Fundamentalisme theokrasi dan sektarianisme, (3) Kesenjangan struktural,
(4) Separatisme, (5) Kekerasan politik, (6) Dampak globalisme, (7) Sentralisasi
dan desentralisasi yang tidak berorientasi pada kepentingan publik.
Rentetan
peristiwa kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Ambon merupakan fenomena yang
dikhawatirkan akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Untuk mengatasi dan
mencari solusi untuk fenomena itu, maka perlu digiatkan pendidikan karakter (character building), karena perilaku
masyarakat amat erat kaitannya dengan tingkat penghayatan dan pengamalan
masyarakat terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Pendidikan karakter
merupakan suatu kebutuhan sosio kultural
yang sangat mendesak bagi kehidupan yang berkeadaban. Pewarisan nilai antar
generasi dan dalam satu generasi merupakan wahana sosiopsikologis dan menjadi
tugas dari proses peradaban-peradaban (Budimansyah, 2010:149).
Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika cukup menjadi obat yang ampuh untuk menjaga keintegrasian
NKRI baik secara ideologis maupun secara teritori. Hal ini tentu mesti didukung
oleh pendidikan karakter pada jenjang pendidikan yang mana bersumber pada
nilai-nilai Pancasila. Karena Pancasila sebagai konsensus dari bangsa ini untuk
hidup bersama di bawah satu pemerintahan yaitu Republik Indonesia. Hal itu
dapat terlaksana apabila masing-masing kita entah sebagai masyarakat biasa,
kaum cendekiawan, aparat pemerintah, dan berbagai golongan lain tanpa
terkecuali memahami dan mengimplementasikan semboyan itu di samping mengamalkan
nilai-nilai luhur atau filosofis bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sehingga
dengan sendirinya akan terbangun kesadaran hukum di benak masing-masing warga
negara sebagai konsekuensi logis dari penempatan Pancasila sebagai asas
tertinggi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
KORELASI
ANTARA NUSANTARA DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA DENGAN PERSPEKTIF PANCASILA
Nusantara,
Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika diibaratkan sebagai sebuah mata rantai yang
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Nusantara sebagai
teritori, Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa, serta Bhinneka
Tunggal Ika sebagai semboyan persatuan bangsa Indonesia. Ketiga hal ini sebagai
subordinat yang saling mempengaruhi satu sama lain yang mana apabila secara
teritori (Nusantara) tidak terintegrasi maka dasar negara yaitu Pancasila
bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dirancang untuk mewadahi seluruh rakyat
Indonesia itu akan menjadi hal yang sia-sia. Begitu juga sebaliknya, apabila
nilai-nilai Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak kita pahami
dan kita praksiskan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen maka
ia bisa menjadi sumbu pemicu disintegrasi bangsa ini.
Para
pendiri bangsa (founding fathers)
sudah berjuang dan menuntaskan tanggung jawabnya di era mereka, hari ini adalah
tanggung jawab kita sebagai pewaris bangsa yang merdeka ini untuk mencapai apa
yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan juga seluruh rakyat Indonesia
yang sudah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Esensinya adalah penempatan dan
pelaksanaan nilai-nilai Pancasila menjadi hal yang mutlak dan tidak dapat kita
tunda lagi. Nilai gotong royong, nilai religius, nilai toleransi, nilai
tanggung jawab, nilai keadilan, nilai demokrasi, saling mencintai dan
menghargai antar sesama, serta nilai-nilai filosofis bangsa lainnya kita
jadikan sebagai rel dalam tata laksana kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah unsur pembangun negeri ini
sekaligus menjadi ciri khas bagi negeri ini. Ini adalah kekuatan kita dalam
menata masyarakat menuju civil society
yang dicita-citakan. Sinergitas dan kontinyutas seluruh elemen bangsa dibarengi
dengan kerja keras dan berdasarkan grundnorm
yaitu Pancasila adalah langkah yang pasti menuju apa yang dicita-citakan itu.
Pembuatan kebijakan dan hukum positif serta pengambilan keputusan mesti
melibatkan partisipasi publik, hal ini untuk menghindari kemubaziran kebijakan,
hukum, atau pun keputusan yang diambil karena tidak sesuai dengan ekspektasi
publik. Dalam hal ini, mesti kita pahami bahwa publik adalah sasaran dari
output kekuasaan yaitu kebijakan, hukum, maupun keputusan sehingga urgent untuk
dilibatkan dalam proses itu. Selain itu, hal ini juga memproyeksikan bahwa
rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi (pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Integrasi
Nusantara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dengan perspektif Pancasila berkaitan
dengan sila Pancasila terutama sila ke-3 yaitu “Persatuan Indonesia” yang
mengandung nilai persatuan, kebersamaan, kecintaan pada bangsa, kecintaan pada
tanah air, dan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu jua). Slogan
“bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” adalah penyemangat bagi kebhinnekaan
bangsa ini. Heterogenitas yang ada kita sintesakan menjadi kekuatan yang
positif untuk membangun Ibu Pertiwi sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda Proklamasi
dan yang menjadi tonggak sejarah bagi bersatunya rakyat negeri ini. Pancasila
sudah tidak diragukan lagi keabsahannya dalam mewujudkan civil society seturut cita-cita bangsa yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana yang disebutkan dalam
Pembukaan UUD 1945 (alinea ke-IV).
PENUTUP
Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari gugusan ribuan pulau telah
mempunyai satu semboyan pemersatu yaitu Bhinneka Tunggal Ika karena sifat
heterogennya. Dengan ras, etnik, suku, agama, budaya, bahasa, adat istiadat,
beserta latar dan kepentingan lain yang beragam menjadikan bangsa Indonesia
sebagai satu bangsa yang besar, kuat, dan kaya. Di samping itu, dalam sebaran
kepulauan di Nusantara ini terdapat banyak sekali kekayaan alam yang merupakan
berkah tersendiri bagi bangsa ini. Dengan ekspektasi bahwa akan tercapai
keadaan damai, adil, dan makmur yang merata di jajaran pulau dari Sabang sampai
Merauke, Miangas sampai Pulau Rote, bangsa ini mesti menjalin sinergitas secara
kontinyu dalam rangka mewujudnyatakan cita-cita segenap bangsa Indonesia ini.
Jalan
menuju realisasi ekspektasi itu adalah pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara
murni dan konsekuen, sehingga dasar-dasar pembangunan yang ditetapkan tidak
asimetris atau bahkan kontras dengan nilai dan budaya bangsa Indonesia sendiri
sebagai implikasi dari kehilangan pegangan dalam menyambut datangnya arus
globalisasi yang membawa paham liberalism.
Ini menjadi hal yang urgent untuk diperhatikan, apalagi keadaan bangsa kita
yang heterogen. Kesadaran akan hal ini mesti mulai dibina dalam benak masing-masing
warga negara, dan perlu untuk diintensifkan dalam masing-masing jenjang
pendidikan. Sehingga tercipta generasi bangsa yang sehat secara intelektual dan
spiritual, serta mampu menjaga integrasi Nusantara yang ber-Bhinneka Tunggal
Ika ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dasim, Budimansyah. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa, Widya
Bandung: Aksara press
Lutfi, Mustafa. 2011. Perihal Negara, Hukum dan Kebijakan Publik. Malang: SETARA Press
Wiyono, Suko. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara,
Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press
hubungan internasional diperlukan oleh Indonesia yang menguntungkan kedua negara
BalasHapus