KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK
HUKUM
DI INDONESIA
DI INDONESIA
Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Kehidupan
politik di suatu negara senantiasa mengalami pasang surut, termasuk di
Indonesia. Negara dengan luas
wilayah sekitar 15 juta kilometer persegi, yang terdiri dari 3 juta kilometer
persegi daratan dan kurang lebih 12 juta kilometer persegi lautan yang terdiri
dari 13. 466 pulau. Ditambah dengan keadaan masyarakat yang heterogen atau
pluralistik, yang terdiri dari beragam budaya, suku, etnis, ras, adat istiadat,
agama, dan kepentingan mengakibatkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Hal
ini dapat menjadi berkah bagi bangsa ini jikalau keanekaragaman yang ada dikelola
dengan baik, tetapi juga dapat menjadi bumerang disintegrasi bangsa jika tidak
kita jaga dengan baik keseimbangannya. Dengan adanya keanekaragaman termasuk
kepentingan, maka tuntutan untuk menyelenggarakan proses kenegaraan dan
pemerintahan yang non diskriminatif terhadap latar dan ikatan primordial apa
pun harus diperhatikan dan dilaksanakan secara konsisten. Tidak dapat
dipungkiri kalau adanya banyak kekuatan dan kepentingan politik di republik ini
khususnya di ibu kota (Jakarta) akhirnya menimbulkan banyak intervensi terhadap
tatanan birokrasi termasuk terhadap produk hukum yang ada. Untuk meminimalisir
adanya intervensi politik yang kuat yang dapat mempengaruhi produk hukum maka
sangat dibutuhkan mekanisme judicial
review untuk memungkinkan terjadinya peninjauan ulang terhadap Undang-Undang
yang telah diterbitkan apabila disinyalir lebih banyak mengandung kepentingan pragmatis
tertentu dan merugikan kepentingan publik.
Kata Kunci: Konfigurasi politik dan produk hukum
Politik pada hakekatnya adalah sesuatu
yang mulia, yang mana ia merupakan cara untuk mencapai kepentingan bersama
termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian, politik
sendiri tidak terlepas dari prilaku para politikus yang menggunakan politik
untuk mencapai kepentingan-kepentingan pragmatisnya baik pribadi maupun
golongan. Akhirnya kata “politik” saat ini dalam benak masyarakat kebanyakan
adalah sesuatu yang kotor, sesuatu yang menyangkut tindakan-tindakan kotor para
politikus untuk meraup jabatan dan keuntungan dari jabatan tersebut. Hal ini
menandakan bahwa terjadi pergeseran konotasi politik dari sesuatu yang bersifat
mulia karena di situ terdapat bagaimana caranya untuk mencapai kepentingan bersama
bergeser kepada bagaimana tindakan para politikus untuk mencapai
kepentingan-kepentingan sesaat yang berlawanan atau contras dengan idealisme.
Dalam
lingkup negara, kepentingan politik kian menjamur bahkan mampu menutupi
kepentingan publik yang mana ia dipengaruhi oleh pola pikir para politisi
bahkan pejabat negara. Tidak dapat dipungkiri kalau banyak sekali proses
politik yang menghasilkan output
tetapi jika ditelisik justeru lebih banyak kadar kepentingan pragmatisnya.
Salah satu output yang ditekankan
dalam tulisan ini adalah hukum. Hukum sendiri sebagai produk dari proses
politik antara eksekutif dengan legislatif di Senayan yang tidak jarang dijamah
oleh kepentingan politik ini.
Simetris
dengan amanat UUD 1945 dan prinsip demokrasi, maka pergantian rejim setiap 5
tahun tentu mempunyai konfigurasi politik yang berbeda-beda dan output atau pun produk hukum pun
sifatnya berbeda-beda. Konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan
produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan
menghasilkan produk hukum yang konservatif atau ortodoks. Negara Indonesia
sesuai Pancasila dan UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa proses dan pengelolaan
birokrasi mesti didasarkan pada prinsip demokrasi seiring konsep prismatik yang
dianut oleh Pancasila sebagai sistem hukum di Indonesia.
KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM DARI MASA KE MASA
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
telah mencapai usianya yang ke 70 pada 2015 ini memang telah mengalami
pergantian rejim selama 8 kali sejak jaman Bung Karno sampai jaman Jokowi saat
ini. Dalam perjalanannya seiring kekuatan politik pada masa-masanya, memang
telah mempengaruhi konfigurasi politik pada masa itu sendiri. Rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat
(2), memang pada awal berkuasa suatu rejim mesti mendapat legitimasi dari
rakyat (legitimasi sosial), legitimasi hukum, dan legitimasi politik.
Memperjuangkan kepentingan rakyat, memperkuat sistem presidensial, menegakkan
demokrasi dan hukum dengan setegak-tegaknya, memang merupakan kalimat-kalimat
yang tidak asing lagi di telinga kita manakala proses kontestasi lima tahunan
hendak bergulir. Janji dan kalimat-kalimat manis sering menghiasi panggung
politik untuk meraup dukungan dari rakyat. Itulah situasi politik, yang penting
untuk kita pilah dan pilih mana yang terbaik untuk bangsa dan negara
kedepannya.
Bung
Karno yang diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia oleh PPKI pada tanggal
18 Agustus 1945 bersama Bung Hatta sebagai wakilnya memang telah berkuasa
hingga tahun 1966 setelah menjadi tahanan politik rejim Orde Baru dengan tuduhan
ikut terlibat secara tidak langsung dalam pemberontakan PKI yaitu G30S pada
tahun 1965. Republik Indonesia yang bisa dikatakan masih bayi (masa awal
kemerdekaan) telah dipegang Soekarno secara otoriter dengan menempatkan
kekuasaan yang sentralistik di tangannya sebagai Presiden pertama kala itu. Pada
awalnya memang pelaksanaan birokrasi dijalankan secara demokratis (sebelum era
Demokrasi Terpimpin). Tetapi dalam perjalanannya, ciri otoriter pun mulai
nampak ditandai dengan berlakunya Demokrasi Terpimpin. Diikuti dengan
tindakannya membubarkan DPR, menerapkan konsep politik NASAKOM yang jelas-jelas
menegasikan Pancasila sila pertama, mengintervensi Mahkamah Agung sehingga
proses peradilan tidak dapat berjalan secara independen, pengangkatan dirinya
sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS. Sebagaimana tesis bahwa konfigurasi
politik yang otoriter berimplikasi pada produk hukum yang ortodoks atau
konservatif pun memang terjadi pada rejim Orde Lama ini. Inkonstitusi secara
terang-terangan banyak dilakukan oleh rejim ini, tidak seperti rejim Orde Baru
yang mana tindakan inkonstitusinya terlebih dahulu diberi baju hukum (hukum
dengan ciri positivis-instrumentalistik) atau hukum hanya sebagai instrumen
legitimasi belaka.
Setelah
Bung Karno digulirkan dari pemerintahan pada tahun 1966 atas tuduhan ikut
terlibat secara tidak langsung dalam G30S PKI, rejim Orde Baru di bawah
pemerintahan Suharto pun dimulai. Setelah berhasil menumpas gerakan PKI,
Suharto kemudian membangun dinasti pemerintahan di bawah keluarganya selama 32
tahun (1966-1998). Memang pada awalnya rejim Orde Baru hendak membangun
pemerintahan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,
tetapi dalam perjalanannya hal itu berubah drastis. Rejim Orde Baru dinilai
sebagai suatu rejim yang mencekam yang mana kebebasan untuk berpikir dan
mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat, kebebasan pers, dan kebebasan lainnya
pun ikut terpasung. Pola demokrasi pun hanya sebatas formalitas. Pelaksanaan
Pemilihan Umum (Pemilu) hanya diikuti oleh tiga partai politik yaitu Golongan
Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Partai Golkar sebagai partai penguasa, sementara PPP dan PDI
hanya sebagai ornament dalam demokrasi belaka. Seperti halnya Orde Lama, rejim
Orde Baru pun dapat dikatakan sebagai rejim yang otoriter atau non demokratis. Kekuasaan
legislatif semestinya sebagai lembaga yang memiliki fungsi check and balances, ternyata tidak lebih sebagai lembaga pemberi
stempel. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar anggota parlemen adalah
orang-orang Golkar atau yang menghamba pada Suharto. Orang-orang parlemen yang
fokal dan dianggap membahayakan kekuasaan Orde Baru pun disingkirkan.
Konfigurasi politik yang demikian telah membawa dampak pada produk hukum yang
tidak lain adalah sebagai output dari
proses politik yang tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan pragmatis para
elit atau penguasa. Implikasinya adalah hukum yang ada hanya sebagai tulisan
formalitas atau justeru membenarkan tindakan-tindakan inkonstitusi dengan
dalil-dalil tertentu. Hukum yang demikian disebut sebagai hukum yang berciri
positivis-intrumentalistik. Hukum hanya sebagai instrumen pembenar atau pemberi
legitimasi, tetapi sesungguhnya asimetris dengan prinsip kebenaran dan keadilan
atau Pancasila yang sejatinya.
Ketidakmampuan
rejim Orde Baru dalam mengatasi krisis moneter yang berdampak pada krisis
ekonomi pada tahun 1997, akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap
rejim di bawah Suharto tersebut. Gerakan dan demonstrasi yang menggaungkan
ketidakpercayaan rakyat terhadap rejim Orde Baru serta menghendaki agar rejim
Orde Baru segera diganti dengan rejim yang lebih demokratis pun kian marak di
tanah air. Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi, ditambah meroketnya
hutang luar negeri serta merebaknya prilaku korupsi di kalangan birokrat
akhirnya menjadi alasan yang kuat untuk menggulingkan Suharto. Pada tanggal 21
Mei 1998, Suharto kemudian menyatakan untuk berhenti dari jabatannya sebagai
Presiden Republik Indonesia. Hal ini menandakan bahwa telah berakhirnya rejim
Orde Baru yang otoriter (non demokratis) dan telah dimulainya era Reformasi.
Namun, ketidakpuasan rakyat masih ada karena B.J Habibi sebagai Wakil Presiden
waktu itu yang menggantikan posisi Suharto sebagai Presiden dianggap sebagai
sisa-sisa dari rejim Orde Baru sehingga mesti digantikan juga. Presiden B.J
Habibi memegang tampuk pemerintahan hanya dalam beberapa bulan. K.H Abdurahman
akhirnya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4 menggantikan
B.J Habibi.
Gerakan reformasi di segala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara memang digencarkan sejak tumbangnya era Orde
Baru yang otoriter. Salah satu bidang yang menjadi fokus gerakan Reformasi
adalah hukum. Hukum yang bersifat positivis-instrumentalistik atau hanya
sebagai pembenar tindakan inkonstitusi elit atau penguasa memang banyak
diciptakan pada era Orde Baru. Keadaan yang demikian mesti dirubah yaitu dengan
cara melakukan amademen terhadap UUD 1945 yang dinilai banyak menjadi sumber
distorsi karena sifat pasal-pasalnya yang multi
interpretable. Amandemen UUD 1945 sejak awal Reformasi hingga tahun 2002
telah dilakukan sebanyak 4 kali. Salah satu pasal yang diamandemen karena
dinilai sebagai salah satu sumber distorsi adalah pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh
MPR. Sifat pasal ini telah membuat rejim Orde Baru berkuasa selama 3 dekade
lebih (32 tahun) yang mana Presiden dipilih oleh MPR. Seperti yang kita
ketahui, MPR kala itu memang dipenuhi oleh orang-orang Golkar atau yang menghamba
pada kekuasaan Orde Baru.
Tuntutan demokratisasi, penegakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta penghormatan dan perlindungan
HAM menjadi agenda yang digencar-gencarkan pada era Reformasi saat ini.
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil (LUBER JURDIL) pun dilaksanakan seiring amandemen UUD 1945 pasal
1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dilaksanakan
menurut UUD 1945. Pemilu rutin dilakukan setiap 5 tahun sekali untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan anggota DPD, Gubernur dan Bupati, serta
anggota DPRD baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Produk hukum pada era
Reformasi saat ini sudah menjurus pada sifat hukum yang responsif-otonom, tentu
mesti diikuti dengan konfigurasi politik yang berkarakteristik demokratis. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD, indikator yang dapat digunakan untuk
melihat dan menilai suatu rejim yang otoriter atau pun demokratis yaitu: (a)
sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, (b) peranan eksekutif, dan (c)
kebebasan pers.
Sistem
multi partai, pemisahan kekuasaan (separation
of power) yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dengan ciri check and balances, serta kebebasan pers
dan keterbukaan informasi kepada publik memang dapat dikatakan sebagai realitas
dari sebuah negara demokrasi sebagaimana yang terjadi saat ini. Ekspektasinya
adalah situasi ini mesti tetap dipertahankan, bila perlu ditingkatkan. Karena
pelaksanaan birokrasi yang sehat dengan bersendikan demokrasi dan penghormatan
terhadap HAM saat ini menjadi trend
bagi negara-negara di dunia. Tentu dengan mengacu pada staatsfundamentalnorm yang berlaku di negeri ini yaitu Pancasila
dan Pembukaan UUD 1945 serta grundnorm
yaitu tidak lain adalah UUD 1945 (batang tubuh). Dengan demikian maka bangsa
Indonesia telah mempunyai rambu-rambu pembangunan yang jelas dalam rangka
mewujudkan cita-cita bangsa.
PANCASILA DAN KONSEP PRISMATIK YANG MENJIWAI PRODUK HUKUM
Pancasila
merupakan hasil ramuan (ekstract)
dari nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia memang
telah dijadikan sebagai ideologi atau pandangan hidup bangsa, dasar negara, serta
rambu-rambu pembangunan. Sehingga tidak terbantahkan bahwa implementasi atau
pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen sudah menjadi hal yang mutlak
bagi siapa pun, tanpa memandang latar dan ikatan primordial apapun.
Di samping sebagai dasar negara,
ideologi, dan rambu-rambu pembangunan, Pancasila juga sebagai sistem hukum yang
berlaku di republik ini. Sistem hukum Pancasila menganut konsep prismatik atau
integratif antara sistem hukum Eropa Kontinental (rechtstaat) dan sistem hukum Anglo Saxon (the rule of law) dengan
mengambil sisi baik dari kedua sistem hukum tersebut, ditambah dengan penyesuaian
terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia. Rechtstaat dengan penekanan pada
kepastian hukum (hukum tertulis atau civil
law) sedangkan the rule of law
lebih menekankan pada penegakan prinsip keadilan dengan berbasiskan pada hukum
tidak tertulis (common law).
Sebagaimana definisi pada umumnya, bahwa suatu sistem hukum mesti diderivasikan
ke dalam segala sendi peraturan perundang-undangan di samping konstitusi. Sehingga
memang sistem hukum Pancasila mesti dijadikan sebagai basis material hukum
positif yang dibuat dan diberlakukan di Indonesia. Sisi baik dari kedua sistem
hukum Barat tersebut yaitu penekanan pada kepastian hukum sekaligus penegakan
prinsip keadilan telah menjadi ciri karakteristik dari sistem hukum Pancasila
(konsep prismatik).
Dalam konteks relasi antara politik
dan hukum, bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan produk
hukum yang responsif-otonom dan sebaliknya bahwa konfigurasi politik yang
otoriter atau non demokratis akan menghasilkan produk hukum yang
konservatif-ortodoks sebagaimana pembahasan di awal. Sesuai Pancasila terkhusus
sila ke-4, maka penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis mesti diperhatikan
dan dilaksanakan di republik ini. Musyawarah mufakat mesti diutamakan dalam
menyelesaikan setiap persoalan-persoalan di masyarakat, sehingga situasi yang
harmonis dan kondusif dapat tercipta. Nilai luhur musyawarah untuk mufakat yang
ada dalam masyarakat bangsa Indonesia mesti tetap dijaga dan dijalankan.
Perwujudannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu pelaksaan
sistem demokrasi dengan perangkat-perangkatnya termasuk melalui mekanisme
Pemilihan Umum (Pemilu) maupun mekanisme lain sebagaimana yang diatur oleh
Undang-Undang juga mesti dijalankan secara murni dan konsekuen.
Sila-sila Pancasila tentu mempunyai
kandungan nilai masing-masing. Menurut Suko Wiyono (2012:95) secara implisit,
nilai-nilai yang ada dalam sila Pancasila dapat dilihat sebagai berikut:
1. Nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti
kepercayaan dan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa, kebebasan beragama dan
berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak paling asasi bagi manusia,
toleransi di antara umat beragama dan berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa,
serta kecintaan pada semua makhluk ciptaan Tuhan, khususnya makhluk manusia.
2. Nilai-nilai
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti
kecintaan pada sesama manusia sejalan dengan prinsip bahwa manusia adalah satu
adanya, kejujuran, kesamaderajatan manusia, keadilan, dan keadaban.
3. Nilai-nilai
Persatuan Indonesia di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti persatuan,
kebersamaan, kecintaan pada bangsa dan tanah air, serta Bhineka Tunggal Ika.
4. Nilai-nilai
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan di dalamnya terkandung prinsip asasi seperti
kerakyatan, musyawarah mufakat, demokrasi, hikmat kebijaksanaan, dan perwakilan.
5. Nilai-nilai
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia di dalamnya terkandung prinsip
asasi seperti keadilan, keadilan sosial, kesejahteraan lahir dan batin, kekeluargaan
dan kegotongroyongan.
Dengan
demikian maka, pada hakekatnya bangsa Indonesia sudah mempunyai panduan atau
rambu-rambu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hubungan
baik antara rakyat dengan pemerintah maupun antara sesama rakyat mesti
mengutamakan asas kerukunan sehingga upaya melalui jalan pengadilan merupakan
opsi terakhir jikalau upaya musyawarah mengalami kegagalan atau menemui jalan
buntu.
Menurut Hadjon, elemen-elemen penting dari nomokrasi Pancasila
adalah: (1) keserasian antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan,
(2) hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, (3)
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan sebagai jalan terakhir
jika musyawarah gagal, (4) keseimbangan antara hak dan kewajiban. Konsep
prismatik sistem hukum Pancasila telah memadukan berbagai nilai, kepentingan,
nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan
mengambil sisi-sisi positifnya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a)
keseimbangan antara individualisme dengan kolektivisme, b) keseimbangan antara rechtstaat dengan the rule of law, c) keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk
memajukan dan sebagai cermin nilai-nilai dalam masyarakat, d) keseimbangan
antara negara agama dengan negara sekuler (theo-demokratis).
Pancasila beserta nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya mesti bisa dijadikan sebagai parameter untuk menerima
dan merangkul sisi baik dari kedua sistem hukum Barat tersebut yaitu Eropa Kontinental
dan Anglo Saxon. Sehingga arah pembangunan nasional termasuk pembangunan di
bidang hukum mempunyai arah yang jelas dan tidak melenceng dari nilai dan
kultur bangsa Indonesia yang ada. Dalam konteks lembaga negara yang
menghasilkan produk hukum (legislatif), maka pemahaman dan penghayatan akan
nilai dan kultur bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila yang selanjutnya
telah diderivasikan dalam peraturan perundang-undangan mesti dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain, sebagai lembaga yang membuat dan
menghasilkan hukum maka tuntutan untuk memberikan teladan yang baik kepada
masyarakat mesti dilaksanakan oleh personalia yang ada di dalam lembaga tersebut.
Di samping itu, para penegak hukum seperti POLRI, lembaga pengadilan atau para
hakim, jaksa, serta lembaga penegak hukum lainnya juga dituntut untuk
menunjukan sikap yang sama yaitu memahami dan melaksanakan hukum yang ada
secara konsisten dan juga membangun hubungan yang harmonis dan bersinergi dalam
rangka menegakan hukum tersebut. Jika disinyalir suatu produk hukum lebih berat
kepentingan pragmatisnya baik pribadi maupun
golongan, maka mekanisme judicial
review mesti dilakukan untuk merevisi undang-undang tersebut.
Sebagaimana fungsinya sebagai
ideologi bangsa ini, maka Pancasila juga berposisi sebagai paradigma
pembangunan termasuk dalam pembangunan hukum yang meliputi beberapa hal
berikut: a) hukum harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan menjamin
keintegrasian Negara Kesatuan Republik Indonesia, b) hukum harus mampu menjamin
keadilan sosial dan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah, c) hukum
harus dibangun secara demokratis sejalan dengan nomokrasi (negara hukum), d)
hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apapun.
Sehingga suasana pembangunan khususnya
dalam bidang hukum dapat sesuai ekspektasi atau cita-cita rakyat Indonesia,
sebagaimana fungsi hukum sebagai pengendali sosial menuju realisasi cita-cita
proklamasi. Penulis secara pribadi optimis bahwa cita-cita proklamasi yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terealisasi jikalau seluruh elemen
bangsa ini bergandengan tangan dan bahu membahu untuk berjuang sembari
menghayati dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen.
Karena apalah artinya jika bangsa ini maju dengan teknologi yang canggih serta
makmur, tetapi kehilangan jati diri atau karakteristik ke-Indonesia-annya. Hal
ini yang perlu diperhatikan oleh siapa pun sebagai warga negara yang peduli
akan masa depan republik ini. Dengan demikian maka secara tidak langsung juga
berpengaruh pada tata laksana pemerintahan negara beserta outputnya termasuk
dalam bidang hukum yaitu produk hukum yang tidak lain adalah hasil dari proses
politik. Sehingga memang pengarahan politik semata-mata untuk mencapai
kemaslahatan masyarakat secara umum perlu dilakukan oleh oknum-oknum yang ada
dalam lembaga politik negara. Dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai
konstituen pada posisi teratas sebelum kepentingan-kepentingan pragmatis lain
baik pribadi maupun golongan. Hal ini juga tentu berkaitan dengan pelaksanaan
birokrasi yang demokratis sehingga memungkinkan partisipasi publik
seluas-luasnya baik dalam planning, implementation, controlling, termasuk evaluation
dalam setiap kebijakan yang arahnya untuk kepentingan publik. Tidak terkecuali
dalam bidang hukum, tuntutan untuk menghasilkan hukum yang otonom-responsif
juga mesti diperhatikan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Pancasila baik secara
eksplisit maupun implisit pun sudah mengisyaratkan hal itu. Pancasila sebagai
sumber hukum materiil dapat dilihat dari sisi historis, sosiologis,
antropologis, dan filosofis. Di samping itu juga Pancasila menjadi sumber hukum
formal yang mana hukum formal mana pun tetap harus bersumber pada Pancasila. Singkat
kata, nilai-nilai Pancasila mesti menjiwai segala peraturan perundang-undangan yang
ada di republik ini.
PRODUK HUKUM DAN JUDICIAL REVIEW
Entitas masyarakat yang terdiri dari
beraneka ragam (plural) suku, adat
istiadat, bahasa, agama, etnik, ras, kepentingan, dan lain sebagainya merupakan
realita empiris yang ada di Indonesia dan juga dunia pada umumnya. Sehingga
memang hal ini membutuhkan sesuatu yang dapat menjamin dan menjaga
keintegrasian sehingga kepluralistikan yang ada tidak berujung pada
disintegrasi. Dalam konteks NKRI, kita sudah mempunyai Pancasila yang merupakan
maskot bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau
Rote. Pancasila ini telah dijadikan sebagai ideologi bangsa yang mana mesti
diderivasikan ke dalam segala hukum positif yang berlaku di kepulauan Nusantara
ini. Sehingga diharapkan hukum dapat berperan sebagai alat untuk mencapai
perubahan dalam masyarakat (rekayasa sosial) dan juga sebagai proyeksi keadaan
masyarakat. Ada sintesa yang mengatakan bahwa hukum positif yang baik dan
efektif adalah hukum yang sesuai dengan living
law, atau hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Hal ini berkaitan dengan definisi politik hukum yaitu upaya yang menjadikan
hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tetapi pada tataran praksis, politik
dan outputnya yaitu hukum seringkali diplintir sesuai kepentingan pragmatis
para aktor terkait. Sehingga hukum baik dalam konteks hukum tertulis atau pun
penegakannya seringkali tidak sesuai dengan ekspektasi publik. Hal ini tentu berkaitan
dengan konfigurasi politik pada masa itu, yang mana ketika konfigurasi politik
yang demokratis maka output hukumnya
bersifat otonom-responsif dan konfigurasi politik yang otoriter (non
demokratis) memiliki output hukum
yang ortodoks-konservatif. Atau pun hukum yang ada hanya bersifat
positifis-instrumentalistik atau hanya sebatas instrumen justifikasi atau
legitimasi tindakan-tindakan rejim yang sesungguhnya asimetris dengan
konstitusi atau prinsip keadilan.
Jika keadaannya demikian, maka
diperlukan suatu mekanisme yang memungkinkan adanya peninjauan ulang terhadap
materi hukum yang dihasilkan jika disinyalir sarat dengan
kepentingan-kepentingan pragmatis. Hal ini merupakan konsekuensi logis karena
memang hukum sendiri sebagai output
dari proses politik. Mekanisme ini kita kenal dengan istilah judicial review yang dilakukan oleh
lembaga yudikatif atau yudisial baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.
Di Indonesia ada dua jalur judicial
review yaitu menguji materi dan konsistensi UU terhadap UUD adalah
domainnya Mahkamah Konsitusi (constitutional
review) dan pengujian secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah
UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah domainnya
Mahkamah Agung. Ekspektasinya melalui mekanisme judicial review ini maka UU yang sesungguhnya merupakan hasil
proses politik ini lebih mengarah pada bagaimana mengakomodasi kepentingan
rakyat daripada kepentingan pribadi maupun golongan para aktor politik.
Menurut Jimly Asshiddiqie (dalam
Moh. Mahfud MD, 2012:125), judicial
review yang dapat juga disebut sebagai constitutional
review yang memberikan wewenang kepada Supreme
Court atau Mahkamah Agung untuk membatalkan sebuah UU karena isinya contras dengan konstitusi untuk pertama
kali dilakukan di Amerika Serikat oleh Chief
Justice John Marshall pada tahun 1803. Sebelum itu, memang ada kebiasaan
tradisional yang memungkinkan hakim menyimpang atau tidak memberlakukan isi
suatu UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Kebiasaan ini bukan
dalam konteks membatalkan suatu UU melainkan sekadar menyimpang dan tidak
menerapkan isinya dalam memutus kasus konkret. Sehingga memang konklusinya
bahwa adanya judicial review atau constitutional review adalah untuk
membersihkan UU dari unsur kepentingan politik yang contras atau asimetris dengan UUD atau konstitusi.
Dalam melakukan judicial review atau constitutional
review ini mesti mengacu pada staatsfundamentalnorm
yaitu Pancasila sekaligus pada grundnorm
yaitu UUD 1945. Sehingga memang dapat dijamin sterilnya UU tersebut dari
kepentingan-kepentingan pragmatis yang merugikan kepentingan publik. Dalam
mekanisme peninjauan ulang terhadap materi hukum atau Undang-Undang yang telah
diberlakukan, di Indonesia sendiri selain judicial
review ada juga legislative review
(dilakukan oleh lembaga legislatif). Seluruh elemen masyarakat bangsa ini sudah
sepatutnya untuk mengawal jalannya proses birokrasi termasuk terhadap produk
hukum dengan melalui saluran atau mekanisme yang telah disediakan oleh hukum.
Sehingga tindakan-tindakan yang justeru dapat merugikan kepentingan publik
sendiri seperti demonstrasi yang berujung pada bentrok bisa dihindari.
PENUTUP
Proses pembuatan hukum sendiri
tidak terlepas dari proses politik sehingga memang tidak menutup kemungkinan
bahwa produk-produk hukum yang ada disisipi dengan kepentingan-kepentingan
politis yang pragmatis. Dalam menyikapi hal ini maka mekanisme judicial review yang dilakukan oleh
lembaga yudisial baik Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung sangat
diperlukan tidak lain adalah untuk membersihkan unsur-unsur kepentingan
tersebut. Sebagaimana statement bahwa
konfigurasi politik yang demokratis akan berujung pada ciri hukum yang
otonom-responsif dan juga sebaliknya yaitu konfigurasi politik yang otoriter
akan berujung pada ciri hukum yang konservatif-ortodoks. Hal ini juga dapat
kita lihat dalam sejarah ketatanegaraan dan perkembangan hukum dari masa ke
masa sejak awal kemerdekaan hingga era Reformasi saat ini. Ekspektasinya pada
era Reformasi saat ini adalah produk hukumnya semakin mengalami progress dengan tingkat
otonom-responsifnya yang semakin meningkat pula. Untuk mengukur semua itu maka
mesti dikembalikan kepada parameternya yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai
induk dari segala peraturan perundang-undangan yang ada di republik ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud
MD, Moh. 2012. Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers
Philipus M. Hadjon.
1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di
Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu
Wiyono, Suko. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara, Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press