PEMBERANTASAN KORUPSI DAN CITA-CITA
PROKLAMASI
BANGSA INDONESIA
BANGSA INDONESIA
Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan
Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia sebentar lagi akan mencapai usianya yang
ke-70 tahun (1945-2015 M). Dalam perjalanannya yang mencapai usia ke-70 tahun
tersebut, dinamika dalam lingkup politik di birokrasi maupun di masyarakat
secara umum senantiasa terjadi. Hal ini sudah menjadi konsekuensi logis dari
hakekat manusia sebagai zoon politicon
(makhluk sosial dan makhluk politik) yang senantiasa mempunyai kepentingan
pribadi maupun kelompoknya. Hal ini juga berkaitan dengan kodrati manusia
sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individu yang senantiasa berproses
dalam kehidupan tersebut. Berangkat dari konsepsi ini, dalam birokrasi di
negeri ini seringkali terjadi pergulatan politik yang kadang berakibat positif
tetapi juga kadang berakibat negatif. Karena memang pada hakekatnya politik
adalah seni dalam mencapai kepentingan bersama, tetapi seringkali dibelokkan
untuk mencapai kepentingan pragmatis baik pribadi maupun golongan. Fenomena
semacam ini seringkali terekspose baik dalam kebijakan-kebijakan yang
diperuntukan untuk publik, produk hukum, keputusan-keputusan, maupun
tindakan-tindakan inkonstitusi lain yang berakibat pada proses hukum seperti
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Fenomena yang satu ini untuk Indonesia
sudah bukan menjadi hal baru karena memang dalam birokrasi baik dari tingkat
pusat sampai daerah sudah dipenuhi oleh prilaku KKN ini. Penegakan hukum secara
tegas dan tanpa pandang bulu merupakan jawaban atas situasi ini. Hal ini tidak
lain adalah untuk mengembalikan birokrasi kepada domainnya untuk mencapai
tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Kata Kunci: Korupsi dan Cita-cita Bangsa Indonesia
Kata “korupsi” memang sudah tidak asing lagi di
telinga masyarakat. Karena memang sejak era Orde Baru maupun era Reformasi saat
ini fenomena Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sudah merebak dan seringkali
menghiasi media-media pemberitaan baik cetak maupun elektronik. KKN sudah
menjadi penyakit kronis birokrasi di republik ini karena memang secara
kuantitas sudah sangat tinggi angkanya. Dalam menjawab situasi ini, maka hukum
mesti benar-benar difungsikan sebagaimana mestinya. Penegakannya yang tanpa
pandang bulu sudah menjadi hal mutlak yang harus dilakukan jika kita ingin
bangsa ini terlepas dari kukungan kebiasaan dan prilaku korupsi oleh para
birokrat baik di pusat maupun daerah. Karena prilaku KKN ini jelas akan
menghambat terealisasinya cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam pasal- pasal UUD 1945. Sudah barang
tentu menjadi tanggung jawab kita semua, dengan jalan melakukan pengawasan
sekaligus mengkritisi jika terjadi hal-hal ini di luar ekspektasi publik.
Selain itu, kita juga menekuni profesi kita masing-masing dalam rangka mengisi
kemerdekaan yang diwariskan oleh para pendahulu kita yang tidak lain adalah
dalam rangka membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera dengan
berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pancasila yang menjadi ideologi dengan
bersumber pada nilai-nilai filosofis bangsa sudah semestinya kita pahami dan
implementasikan dalam kehidupan praksis, selain itu juga mesti diderivasikan ke
dalam segala bentuk peraturan perundang-undangan yang hendak (ius constituendum) atau pun yang sedang
berlaku (ius constitutum).
PROBLEMATIKA KORUPSI DALAM BIROKRASI
Perilaku korupsi para birokrat dalam menjalankan
roda pemerintahan di Indonesia akhir-akhir ini semakin merebak. Hal ini dapat kita
lihat dalam berbagai media informasi baik cetak maupun elektronik yang tak
henti-hentinya menyampaikan informasi terkait tindakan korupsi baik pemerintah di
tingkat pusat maupun di daerah-daerah. Dapat ditarik benang merah bahwa secara
tidak langsung nilai-nilai kebersamaan, kepemimpinan dengan mengutamakan
kepentingan umum, beserta nilai lainnya semakin hari semakin pudar seiring
bergulirnya arus globalisasi dan pergantian waktu. Fenomena mengutamakan
kepentingan pragmatis baik pribadi maupun golongan dengan jalan melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme atau pun sejenisnya kian marak. Implikasinya
adalah birokrasi tidak berjalan secara efektif, efisien, dan sebagaimana
mestinya sesuai politik hukum yang ada dalam grundnorm yaitu UUD 1945 beserta berbagai peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
Pada tahun 2004, 2005, dan 2006, Transparency International Indonesia
(TII) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan Corruption Perception Index (CPI) sangat rendah atau masih
menempati negara terkorup. Pada tahun 2004 TII menempatkan Indonesia sebagai
negara terbersih ke-137 atau terkorup ke-4 dari 146 negara yang disurvey, hanya
sedikit lebih baik dari Myanmar, Nigeria, dan Bangladesh. Pada tahun itu,
Indonesia hanya memperoleh CPI 2.0, sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan
Bangladesh dengan CPI 1.5, Nigeria dengan CPI 1.6, dan Myanmar dengan CPI 1.7.
Tingkat capaian CPI Indonesia ini jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan
Singapura yang menempati urutan terbersih ke-5 dengan CPI 9.1 atau Malaysia yang
menempati peringkat ke-39 dengan CPI 5.0.
(Moh. Mahfud MD, 2013: 190-191).
(Moh. Mahfud MD, 2013: 190-191).
Dengan melihat data dari TII pada
tahun 2004, maka jelas dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu
dari sekian banyak negara terkorup di dunia. Keadaan seperti ini jelas-jelas
menghambat pencapaian tujuan negara yaitu mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera sebagaimana amanat Pancasila dan UUD 1945. Hukum sebagai
instrumen dan output dari proses
politik diharapkan dapat menjadi jembatan bagi negara ini dalam mewujudkan
cita-citanya karena memang secara Sumber Daya Alam bangsa ini cukup besar
potensinya. Secara kuantitas, Sumber Daya Manusia Indonesia memang tinggi,
tetapi rendah secara kualitas. Inilah problematika yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Pembangunan dengan pemerataan di segala sektor baik pendidikan,
kesehatan, persoalan infrastruktur, serta berbagai sektor lainnya sudah
semestinya diperhatikan oleh pemerintah. Karena memang antara kesehatan dan
pendidikan tentu mempunyai kaitan yang erat dengan persoalan kualitas SDM
masyarakat. Merebaknya prilaku KKN juga berimplikasi pada tidak efektifnya pembangunan
masyarakat baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, serta pelayanan publik
lainnya. Ironisnya, prilaku KKN ini terjadi hampir di seluruh lembaga negara
baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari tingkat pusat hingga
daerah. Sehingga cita-cita bangsa semakin menjadi hal yang utopis atau sulit
untuk dicapai.
Mengenai prilaku korupsi, ada yang
berasumsi bahwa korupsi disebabkan oleh mental para oknum birokrat, ada juga asumsi
bahwa sistem yang ada masih belum mapan dalam mencegah prilaku korupsi tersebut
atau karena adanya peluang, ada juga yang mengatakan bahwa praktek korupsi
sudah menjadi semacam budaya karena praktek ini sudah sejak lama terpraktekan
dalam masyarakat kita darii jaman kerajaan dan juga masa penjajahan, serta
berbagai asumsi lainnya. Jika kita telisik, memang asumsi-asumsi ini logis atau
bisa diterima secara logika. Menurut penulis, memang antara mental oknum
pejabat dan adanya peluang korupsi yang diberikan oleh sistem yang ada
mempunyai kaitan dalam suatu tindak pidana korupsi. Karena jika mental oknum
pejabat ini kuat dan teguh pada prinsip, maka peluang seperti apapun pasti
tidak dimanfaatkan untuk melakukan korupsi tersebut. Begitu pula sebaliknya,
jika sistem dalam hal ini mekanisme atau prosedur dalam birokrasi dengan
sebegitu kuatnya proses checks and
balances maka peluang korupsi yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum
tidak bertanggung jawab dapat tertutupi. Mengenai asumsi bahwa prilaku korupsi
sudah semacam budaya warisan, dapat kita ubah dengan penanaman jiwa nasionalis
dan tanggung jawab dengan mengutamakan kepentingan publik serta pembenahan atau
pun penguatan terhadap segala prosedur yang ada sehingga dapat meminimalisir
sekecil mungkin peluang dan tindakan korupsi itu. Suatu budaya berawal dari
sebuah kebiasaan, dan jika kebiasaan untuk selalu mengutamakan kepentingan umum
ditanamkan maka secara tidak langsung akan membawa dampak penurunan angka korupsi.
Selain dari uraian di atas, ada juga kasus korupsi yang oleh pelakunya tidak
menyadari kalau ia ternyata melakukan korupsi. Adanya ketidaksadaran ini jika
kemudian ditelusuri dan diidentifikasi sebagai bagian dari prilaku KKN maka mau
tidak mau, suka tidak suka, ia harus dibawa ke pengadilan untuk diproses secara
hukum lebih lanjut.
Dalam bukunya The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse,
Sebastian Pompe mengatakan bahwa prilaku korupsi karena asumsi budaya di
lembaga negara khususnya yudikatif (peradilan) atau judicial corruption baru muncul setelah peristiwa Malari pada tahun
1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan gaya militer. Soeharto masuk dan
mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi lembaga kehakiman. Sejak saat itu,
kebiasaan suap menyuap di kalangan hakim pun kian merebak sehingga independensi
yang semestinya dimiliki oleh lembaga yudisial pun menjadi hilang karena
intervensi eksekutif (Presiden). Pembinaan lembaga yudisial pada saat itu di bagi
menjadi dua atap yakni oleh satu Departemen (di bawah intervensi pemerintah)
dan Mahkamah Agung. Mengenai administratif kepegawaian dan finansial diurusi
oleh Departement tersebut, dan mengenai teknis pelaksanaan peradilan dilakukan
oleh Mahkamah Agung. Padahal dalam catatan sejarah yaitu tahun 1950-an, lembaga
yudisial di Indonesia berjalan dengan begitu baik dan hukum pun ditegakkan
sebagaimana mestinya dengan kepemimpinan yang tegas dan penuh integritas. Jaksa
Agung pada masa itu yaitu Soeprapto, dengan tegas dan berani mengajukan siapa
pun ke pengadilan karena melanggar hukum, termasuk para menteri. Pada masa itu
juga muncul banyak hakim yang jujur, tegas, dan penuh integritas yang siap
menghukum pejabat mana pun jika terindikasi melanggar hukum.
Indonesia telah menegaskan dirinya
sebagai negara hukum (nomokrasi) sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Konsekuensinya adalah segala sesuatunyaa mesti disinkronkan atau
dilegitimasi oleh hukum dalam hal ini sebagai upaya preventif tindakan-tindakan
yang menyimpang dari konstitusi. Berkaitan dengan hukum, maka sesungguhnya hal
ini tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut oleh negara ini yaitu Sistem
Hukum Pancasila dengan konsep prismatik yang mengambil sisi baik dari kedua
sistem hukum Barat yaitu Eropa Kontinental yang mengutamakan kepastian hukum (rechtstaat) dan Anglo Saxon yang
menekankan pada penegakan prinsip keadilan (the
rule of law) yang kemudian disinkronkan dengan nilai dan kultur bangsa
Indonesia sehingga tidak menimbulkan kontradiksi atau semacamnya. Dalam praktek
ketatanegaraan, seringkali Sistem Hukum Pancasila dengan konsepsi prismatik
atau integratif ini tidak dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh (integrall), tetapi dipisah-pisah antara
Eropa Kontinental (kepastian hukum) dan Anglo Saxon (prinsip keadilan) sesuai
kepentingan oknum yang berperkara. Apabila dalam sebuah perkara dapat
dimenangkan dengan alasan kepastian hukum, maka ketentuan rechtstaat yang digunakan. Begitu pula dengan penegakan prinsip
keadilan, apabila dilihat hal ini dapat membawa kemenangan maka the rule of law yang dipakai. Sehingga
timbulnya distorsi terhadap konsepsi prismatik Sistem Hukum Pancasila yang
tidak dipandang secara totalitas, tetapi disesuaikan dengan kepentingan para
oknum. Hal ini juga terjadi dalam penanganan kasus korupsi yang oleh para oknum
yang berperkara bersama tim kuasa hukumnya menafsirkan hukum sesuai
kepentingannya dan sekedar memenuhi syarat hukum secara formalitas-prosedural,
bukan untuk melaksanakan sukma hukum yaitu penegakan prinsip keadilan dan
kebenaran sesuai Pancasila dan UUD 1945 tetapi bagaimana untuk memenangkan
perkara dan menyelamatkan kepentingannya.
Lembaga legislatif (pembuat UU), eksekutif
(pelaksana UU), dan yudikatif (pengawas pelaksanaan UU) atau yang kita kenal
dengan konsepsi Trias Politika
semestinya membangun satu barisan yang kuat dalam rangka mengawal pembangunan
menuju cita-cita bangsa. Hal ini contras
dengan situasi di republik kita hari ini yang mana prilaku KKN merebak dengan
begitu hebatnya di masing-masing institusi dari tahun ke tahun. Tameng
penegakan hukum khususnya lembaga yudisial di Indonesia pun semakin tumpul dan
penuh dengan KKN itu sendiri. Sehingga pembangunan hukum di republik ini
sepertinya jalan di tempat, tidak beda jauh dengan era Orde Baru yang dipenuhi
oleh hukum yang bersifat multi
interpretable sehingga bisa ditafsirkan, dimanipulasi, atau dibelokkan
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pragmatis. Di samping judicial corruption yang merebak di
lembaga yudisial, KKN juga merebak di lembaga kepolisian dan kejaksaan.
Sehingga korupsi memang semakin tumbuh subur tanpa ada satu lembaga pun yang
mampu memberantas prilaku yang satu ini.
KPK, JAWABAN ATAS MEREBAKNYA KORUPSI
Ketika rejim Suharto digulingkan
pada Mei 1998, salah satu sistem dalam masyarakat yang dapat dikatakan rusak
parah adalah hukum. Krisis multi dimensi yang melanda Indonesia pada tahun
1997-1998 salah satunya karena berkenaan dengan persoalan hukum tersebut. Banyaknya
produk hukum yang bersifat positivis-instrumentalistik maupun yang asimetris
dengan semangat proklamasi dan konstitusi, merebaknya prilaku KKN oleh para
pejabat, beserta beberapa persoalan lain memang marak pada masa Orde Baru yang
kemudian digantikan dengan era Reformasi dengan menetapkan beberapa agenda di
antaranya adalah: a) Amandemen UUD 1945, b) Penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI,
c) Penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, d) Otonomi daerah, e) Kebebasan
pers, dan f) Mewujudkan kehidupan demokrasi. Berbagai produk hukum pada masa
Orde Baru ditinjau ulang atau pun dibuat baru sama sekali beserta
institusi-institusi yang diperlukan dalam merealisasikan agenda-agenda tersebut.
Berangkat dari konsepsi bahwa
konfigurasi politik suatu rejim yang bersifat otoriter atau nondemokratis akan
berimplikasi pada produk hukumnya yang bersifat konservatif-ortodoks atau
semata-mata untuk melindungi kepentingan penguasa, maka perubahan konfigurasi
politik dari rejim Orde Baru ke Orde Reformasi tentu mesti diikuti oleh
perubahan pada hukum. Pada era Reformasi saat ini, sebagai bagian dari upaya
penegakan hukum maka materi dari beberapa UU dan pelembagaan yudisial juga
diubah. Selain amandemen atas UUD 1945 hingga empat kali, terjadi pula
pencabutan PNPS Nomor 11/1963, kemudian pengganti UU Nomor 3 Tahun 1971,
penyatuatapan semua lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, pembentukan
KPK, dan penggantian semua UU di bidang politik yang disinyalir menyimpang dari
konstitusi.
Dengan melihat realita bahwa prilaku KKN ini tumbuh
dengan subur di republik ini baik dari masa Orde Baru maupun pada Reformasi
saat ini, maka melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang kemudian kita kenal dengan sebutan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan nama lain yang diberikan oleh UU
atasnya. KPK diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindakan-tindakan korupsi melalui mekanisme hukum yang
sudah diatur secara jelas dalam UU KPK tersebut. Sejak tahun 2004 hingga 31
Januari 2015, berdasarkan data dari Anti
Corruption Clearing House (ACCH) kasus korupsi yang ditangani oleh KPK
sejumlah 679 kasus (penyelidikan), 416 kasus (penyidikan), 326 kasus
(penuntutan), 283 kasus (inkchrat), dan 297 kasus (eksekusi). Berdasarkan data
tersebut, maka laporan dugaan kasus korupsi yang masuk ke KPK mencapai angka
2001 kasus baik penyelidikan, penyidikan, penuntutan, inkchrat atau yang sudah
berkekuatan hukum tetap, maupun kasus yang dieksekusi eksekusi. Hal ini tidak
lain adalah akibat dari keterbatasan yang dimiliki oleh KPK dari sisi tenaga
kepegawaian. Total pegawai KPK pada
akhir 2014 sebanyak 1.102 pegawai, termasuk 73 penyelidik, 79 penyidik, 94
penuntut umum, dan 262 pegawai kedeputian pencegahan. Dalam memberantas KKN sebagaiamana salah satu dari
agenda Reformasi, maka jelas sangat membutuhkan dukungan dan sinergitas dari
seluruh elemen bangsa tidak hanya pada lembaga yudisial, tetapi juga
legislatif, eksekutif, dan seluruh rakyat Indonesia untuk selalu mengawal dan
mengkritisi jalannya pemerintahan dalam rangka mewujdukan cita-cita proklamasi
bangsa Indonesia.
Ekspektasi dalam membangun hubungan yang sinergis
dan saling mendukung terutama di antara sesama lembaga penegak hukum
akhir-akhir ini telah menunjukan fakta yang sebaliknya bahwa justeru di antara
sesama lembaga penegak hukum saling mencari menang dan mengkriminalisasi
lembaga lain. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus KPK-POLRI yang berawal dari
pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri yang mana sebelumnya calon Kapolri ini
sudah ditetapkan sebagai Tersangka dalam suatu kasus dugaan korupsi oleh KPK.
Konflik antara POLRI-KPK pun meruncing, ketika Budi Gunawan mengajukan gugatan
ke pra peradilan yang kemudian diputuskan bahwa penetapan sebagai tersangka
atas Budi Gunawan oleh KPK adalah tidak sah. Meskipun demikian, keputusan
menjadi Kapolri atau tidaknya Budi Gunawan ada di tangan Joko Widodo selaku
Presiden yang memiliki hak prerogatif atas itu. Tidak hanya itu, tidak lama
dari kasus ini, dua pimpinan KPK yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pun
ikut ditetapkan sebagai Tersangka oleh POLRI atas dugaan pemalsuan data dan
beberapa dugaan kasus lainnya.
Proyeksi dari situasi di atas menunjukan bahwa
memang antara sesama institusi penegak hukum pun belum ada sinergitas dan
saling mendukung dalam menegakan hukum tersebut. Sehingga secara tidak langsung
upaya untuk merealisasikan agenda Reformasi pun semakin menjadi hal yang
utopis. Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah
menggariskan cita-cita bangsa yang mesti dicapai secara bersama-sama dengan
jalan persatuan, gotong royong, dan sinergitas atau saling mendukung di antara
seluruh elemen bangsa termasuk dalam hal penegakan hukum.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi
yang baru didirikan setelah Reformasi bergulir tentu tidak bisa terlepas dari
dinamika-dinamika politik baik berupa perlawanan maupun upaya-upaya yang
sengaja dilakukan untuk melemahkan eksistensi KPK ini. UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPTPK yang kemudian kita kenal dengan UU KPK dan eksistensi dari
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pernah digugat atau diajukan ke Mahkamah
Konstitusi dengan mekanisme judicial
review oleh beberapa mantan anggota KPU dengan dihadapkan pada UUD 1945
(konstitusi) seperti pasal 1 angka 3 yang dikaitkan dengan pasal 53 UU itu yang
katanya contras dengan pasal 24 ayat
(1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ada juga pasal 2, pasal 3, dan pasal 20
UU-KPK yang dipertentangkan dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang negara
hukum yang pada dasarnya mempersoalkan eksistensi KPK karena dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia hanya ada MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA,
MK, dan KY. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga dipertentangkan dengan pasal 6
huruf c UU-KPK yang menyebabkan kontradiksi antara dua atau lebih UU yang
berlaku dan mengikat pada saat yang sama. Pasal 11 huruf b UU KPK juga diklaim
telah menimbulkan perhatian dan meresahkan masyarakat karena berdasarkan pasal
6 huruf c, KPK diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi. Pemohon juga mempersoalkan pasal 12 ayat (1)
huruf a UU KPK yang memberi kewenangan kepada KPK untuk menyadap dan merekam
pembicaraan dalam penanganan kasus dugaan korupsi yang katanya melanggar pasal
28D ayat (1), pasal 28F, dan pasal 28G ayat (1) UUD 1945 mengenai hak warga
negara dari rasa aman dan melanggar asas praduga tak bersalah. Pasal 40 UU KPK mengenai
ketidakberwenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 dipertentangkan dengan pasal 1
ayat (3), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1), dan pasal 28I ayat (2) UUD
1945 karena pasal tersebut membawa konsekuensi bagi oknum yang disidik atau
diperiksa sebagai Tersangka secara otomatis akan menjadi Terdakwa serta
persoalan akan persamaan kedudukan di depan hukum. Di samping berbagai pasal
dari UU KPK yang dipersoalkan ini, masih ada juga pasal yang dipersoalkan yaitu
pasal 72 yang dipertentangkan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu mengenai
kepastian hukum. Padahal di Indonesia, penegakan hukum dan HAM tidak hanya
berpatokan pada kepastian hukum, tetapi juga prinsip keadilan dan kemanfaatan.
Dari berbagai data dan uraian dalam tulisan ini,
maka dapat dikatakan bahwa upaya penegakan hukum secara umum dan pemberantasan
korupsi khususnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya segala
sesuatunya membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang dalam mencapai hasil
yang memuaskan. Dalam judicial review
atas UU KPK yang diajukan oleh beberapa mantan anggota KPU itu, menurut penulis
pada dasarnya tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena memang pembentukan KPK
melalui UU Nomor 30 Tahun 2002 berdasarkan perintah konstitusi yaitu UUD 1945
dalam hal menegakan hukum dan memberantas KKN. Sehingga pemberlakuan dan
jalannya UU KPK telah memiliki legal
standing yang sah dan secara formal UU ini dibuat oleh lembaga legislatif
yaitu DPR sehingga jika dipersoalkan maka bukan melalui judicial review, tetapi melalui legislative
review.
Memang sejauh ini KPK dapat dikatakan sedikit
berhasil dalam memberantas korupsi sebagaimana politik hukum dari UU KPK yang
dijabarkan dalam tupoksi lembaga tersebut. Di mata masyarakat luas,
satu-satunya lembaga negara yang dapat dipercaya independensi dan integritasnya
yaitu KPK, setelah integritas Mahkamah Konstitusi dicabik-cabik oleh kasus Akil
Mochtar. Ketika kasus Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi mencuat, optimisme
publik terhadap penegakan hukum di republik ini kian mengalami degradasi.
Sehingga KPK merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang tersisa jika
kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto itu tidak benar oleh hukum.
Adanya polemik mengenai eksistensi KPK yang
dikaitkan dengan konstitusi, secara implisit sebenarnya hal ini sudah diatur
oleh UUD 1945. Karena kewenangan yang diberikan kepada lembaga legislatif untuk
mengatur lebih lanjut mengenai sistem ketatanegaraan yang belum dimuat dalam
UUD 1945 sejauh tidak melanggar asas-asas dan restriksi yang dimuat dalam
konstitusi. Eksistensi KPK juga dapat dijelaskan dengan menggunakan dalil hukum
salus populi supreme lex (keselamatan
rakyat atau bangsa dan negara adalah hukum tertinggi). Kronisnya prilaku KKN di
negeri ini telah menuntut adanya KPK untuk melakukan upaya preventif maupun
represif sehingga negara tidak terkesan permisif terhadap kasus-kasus korupsi.
Secara konstitusional (tertulis), KPK juga mempunyai legitimasi karena
eksistensinya bersumber pada salah satu dokumen tersebar atau peraturan perundang-undangan
di bawah UUD 1945.
PENUTUP
Konsepsi nomokrasi (negara hukum)
yang dianut oleh Indonesia semestinya dilaksanakan atau ditegakkan secara
konsisten. Segala perbuatan hukum mesti ditindaklanjut secara hukum pula,
sehingga roda pembangunan dalam masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini tidak lain adalah konsekuensi dari eksistensi hukum sebagai output politik UUD 1945 dan sarana
pengantar bagi rakyat Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Pembangunan hukum
baik dari sisi substansi, struktural, maupun budaya hukumnya mesti disejalankan
sehingga tidak terjadi kepincangan sosial. Di samping itu, penegakan hukum
secara tegas tanpa pandang bulu menjadi hal yang urgent sehingga pemenuhan rasa
keadilan dapat terealisasi. Prilaku birokrat yang penuh dengan syahwat KKN
mesti ditanggapi secara serius oleh hukum karena secara tidak langsung akan berimplikasi
pada tidak efektifnya proses pembangunan masyarakat karena banyak yang
diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau pun golongan. Pancasila
dan UUD 1945 yang telah diderivasikan ke dalam segala bentuk peraturan
perundang-undangan diharapkan dapat mengantarkan dan mengawal proses
pembangunan menuju terwujudnya cita-cita proklamasi bangsa Indonesia.