NOMOKRASI,
DEMOKRASI, DAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF PANCASILA
DALAM PERSPEKTIF PANCASILA
Junaidi Doni Luli
Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Malang
Email: junaidi.bantel@gmail.com
Abstrak: Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan dua aspek yang mempunyai kaitan yang sangat erat. Sebuah negara
dikatakan telah berdemokrasi manakala perlindungan akan HAM pun ikut dimajukan,
begitu pula sebaliknya. Penegakan demokrasi dan penghormatan serta perlindungan
HAM merupakan konsekuensi dari paham negara hukum (nomokrasi) yang telah dianut
suatu negara, termasuk di Indonesia. Ketiga aspek ini sedang gencar-gencarnya
digaungkan oleh negara-negara modern saat ini. Karena hanya dengan penegakan
dan perlindungan Hak Asasi Manusia melalui penegakan hukum secara murni dan
konsekuen bagi warga negara yang dapat menjamin bagi mereka untuk berpikir dan
mengeluarkan pendapat serta ekspresi hak lainnya yang berkaitan dengan
demokrasi. Jika kita tinjau dari perspektif Pancasila, demokrasi dan Hak Asasi
Manusia merupakan sesuatu yang sangat dijunjung tinggi seturut dengan pri
kemanusiaan dan pri keadilan dan tentu hal ini telah tertuang dalam Pancasila
sebagai ideologi maupun UUD 1945 beserta peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi yang wajib dimintai
legitimasi oleh pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan.
Sehingga sudah semestinya segala tindakan, peraturan, maupun kebijakan publik
yang hendak diterapkan mesti mendapat legitimasi dari rakyat (legitimasi
sosial) di samping legitimasi yuridis dan legitimasi politik. Atau dengan kata
lain, pemerintah semestinya menyelenggarakan pelayanan dengan berdasarkan pada social oriented, bukannya business oriented yang acapkali
dilakukan oleh birokrat saat ini.
Kata Kunci: Nomokrasi, demokrasi, Hak Asasi Manusia, Pancasila
Istilah
“demokrasi” dan “Hak Asasi Manusia” seringkali kita dengar dari berbagai media
pemberitaan akhir-akhir ini. Sepertinya demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
saat ini menjadi trend bagi
negara-negara di dunia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Persoalan
mengenai demokrasi dan HAM memang menempati posisi yang penting dalam sebuah
penyelenggaraan negara. Rakyat sebagai salah satu unsur penting dalam suatu
negara memang memiliki porsi yang besar dalam sebuah penyelenggaraan
pemerintahan baik dalam perencanaan (planning),
pelaksanaan (implementation), pengawasan
(controlling) dan evaluasi (evaluation). Karena rakyat sendiri
merupakan sasaran dari pada penyelenggaraan negara yang perlu dilibatkan dalam
segala hal mengenai proses kehidupan negara itu sendiri.
Secara
etimologis, kata “demokrasi” (democracy)
sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata yaitu “demos” yang artinya rakyat dan “kratein/kratos” yang artinya
pemerintahan. Secara harafiah, memang dapat dikonklusikan bahwa demokrasi
berarti pemerintahan rakyat. Secara lengkap, demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang.
Karena secara riil, penegakan demokrasi pasti diikuti dengan perlindungan akan Hak
Asasi Manusia (HAM). Sarana penegakan akan demokrasi dan HAM ini tentu melalui
sarana hukum sebagai penjamin akan tegaknya demokrasi dan HAM itu sendiri.
Sehingga tidak terbantahkan kalau penegakan demokrasi dan HAM tersebut
merupakan konsekuensi logis dari pemilihan konsep “negara hukum” (nomokrasi)
yang dibicarakan panjang lebar oleh founding
fathers dalam masa-masa sidang BPUPKI maupun sidang PPKI.
Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan hak mutlak yang tidak boleh diganggu gugat oleh
siapa pun karena ia merupakan pemberian dari Sang Pencipta dan melekat sejak
seseorang itu berada di dalam jabang bayi dan berakhir ketika ia dibaringkan di
liang kubur. Dalam konteks internasional, penghormatan akan Hak Asasi Manusia
ini secara resmi dideklarasikan dalam Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) yang berlangsung pada tanggal 24
Desember 1948. Hal ini merupakan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia yang
bersifat universal dan menjadi patokan bagi negara-negara di dunia (yang telah
meratifikasi UDHR tersebut) untuk menghormati hak asasi warga negaranya.
Nilai-nilai
filosofis yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang termuat dalam Pancasila
memang menempatkan Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu yang esensial. Di dalam
UUD 1945 pasal 28 pun membicarakan mengenai Hak Asasi Manusia. Negara hukum
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengandung pengertian akan
adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. Setiap orang memiliki kemerdekaan
untuk berpikir, mengeluarkan pandangan, serta berbuat tanpa merasa tertekan
sedikit pun. Hal ini merupakan ekspresi dari pada Hak Asasi Manusia yang tertuang
dalam hak-hak demokrasinya sebagai seorang warga negara yang wajib dilindungi
oleh negara.
KEDAULATAN RAKYAT (DEMOCRACY)
Kekuasaan pemerintahan yang
dijalankan secara sewenang-wenang (absolutisme) oleh raja sebagai penguasa pada
jaman dahulu memang seringkali terjadi di negara-negara saat itu. Raja dianggap
sebagai titipan atau wakil Tuhan di bumi, namun seringkali anggapan itu justeru
membuat raja bertindak semena-mena sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hal
ini menimbulkan banyak intimidasi dan kebebasan rakyat terpasung. Di samping
raja, gereja (Paus) pun memainkan peranan (religius) sehingga terjadi afiliasi
antara istana dan gereja. Raja berkuasa secara politik dan Paus berkuasa secara
religius dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga memang paham atau doktrin yang
dikembangkan waktu itu adalah raja memperoleh legitimasi dari kekuasaan Tuhan. Seiring
perjalanan waktu, afiliasi ini mulai mengalami kelunturan ketika raja mulai
bertindak sendiri untuk menaklukan daerah lain untuk memperluas wilayah
kekuasaannya. Pihak gereja pun mulai kembali menata diri untuk lebih fokus pada
penyebaran agama dan afiliasi dengan raja sedikit demi sedikit luruh. Ketika
afiliasi dan doktrin yang dibangun bersama dengan gereja mulai mengalami
kelunturan, akhirnya timbul sebuah pertanyaan mendasar yaitu dari mana raja
memperoleh legitimasi itu?
Jawaban yang digunakan untuk
menjawab pertanyaan mendasar itu adalah raja mendapat legitimasi dari rakyat
(demokrasi). Teori untuk menjelaskan hal ini adalah adanya perjanjian
masyarakat (social contract) yang
memberikan kekuasaan kepada penguasa untuk mengatur dan menyerasikan
kepentingan-kepentingan di antara mereka. Sehingga sudah semestinya kekuasaan
itu dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan
tersebut. Pelibatan rakyat dalam segala lini pemerintahan memang merupakan
hal yang esensial dan perlu
diintensifkan. Hal tersebut tidak lain adalah proyeksi dari kedaulatan rakyat
(demokrasi) yang menggeser doktrin kedaulatan Tuhan (theokrasi). Meskipun
demikian, doktrin kedaulatan Tuhan saat ini telah disandingkan dengan paham
demokrasi yang menimbulkan adagium vox
populi vox dhei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Kekuasaan pemerintahan
yang pada awalnya tersentral pada tangan seorang raja kini telah dirubah dengan
konsepsi baru yaitu adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) antara legislatif (pembuat Undang-Undang), eksekutif
(pelaksana Undang-Undang), dan yudikatif (pengawas pelaksanaan Undang-Undang).
Konsepsi ini sekarang kita kenal dengan istilah Trias Politika. Hal ini sebagai upaya preventif dan meminimalisir
adanya kekuasaan yang absolut sebagaimana praktek-praktek pada masa lalu.
Di samping Hak Asasi Manusia (HAM),
demokrasi pun ikut digaung-gaungkan sejak berakhirnya Perang Dunia II dan
Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Demokratisasi
seringkali menjadi materi pertemuan antara negara-negara di dunia. Karena
memang saat ini demokrasi telah dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang
paling ideal dalam menjalankan birokrasi. Pelibatan rakyat secara politis
melalui mekanisme Pemilihan Umum dalam menentukan figur kepemimpinan pun sedang
gencar-gencarnya digalakkan di negara belahan dunia mana pun.
Makna demokrasi di sini sebenarnya ada
dua macam, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung atau
perwakilan (representation).
Demokrasi langsung mengandung makna bahwa hak politik rakyat dilakukan secara
langsung oleh si pemilik hak politik tersebut, atau tanpa perwakilan. Kemudian
demokrasi tidak langsung atau melalui perwakilan (representation) adalah demokrasi yang mengisyaratkan hak politik rakyat
tersebut dapat diwakilkan kepada siapa pun yang dipilih oleh si pemilik hak
tersebut. Kedua bentuk demokrasi ini dapat kita ambil contohnya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia yaitu demokrasi langsung dapat kita lihat
pada proses Pemilihan Umum (Pemilu) yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden dan juga untuk memilih para anggota DPR,
DPD, maupun DPRD, kecuali bagi orang-orang tertentu yang menurut hukum dapat
mewakilkan haknya kepada orang yang ia percaya untuk melaksanakan hak itu
(misalnya orang cacat, tuna netra, dan yang mengalami gangguan fisiologis
lainnya). Yang kedua adalah demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan
ini dapat kita lihat pada tugas dan wewenang yang dilakukan oleh para anggota Dewan
baik di pusat maupun di daerah untuk bersama eksekutif ikut membuat peraturan
perundang-undangan atau hukum positif, termasuk perumusan kebijakan dan
regulasi beserta tindakan-tindakan lain yang bersifat representatif.
Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia juga menegaskan mengenai demokrasi, hal ini dapat dibuktikan dengan
sila Pancasila yang ke-4 yang mengisyaratkan adanya musyawarah untuk mufakat
yang tidak lain adalah merupakan ciri dari demokrasi bangsa Indonesia. Segala
sesuatu mesti dibicarakan secara damai dan kekeluargaan, untuk memperoleh
keputusan yang baik bagi semua pihak terkait. Dalam proses ketatanegaraan, secara
eksplisit disebutkan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “ Kedaulatan berada
di tangan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Berkaitan dengan
hal ini, sebagaimana dalam praktek demokrasi saat ini yaitu rakyat secara
langsung memilih Kepala Negara dan anggota DPR, DPD, maupun DPRD seturut dengan
amanat konstitusi. Secara implisit pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menempatkan
rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, yang kemudian secara politis
dititipkan kepada Kepala Negara, DPR, DPD, maupun DPRD. Tidak hanya itu, rakyat
juga secara langsung menitip hak politiknya tersebut kepada Gubernur atau pun
Bupati sebagai pelaksana birokrasi di daerah. Jikalau pun diwakilkan, maka hal
itu mesti sesuai dengan kehendak konstitusi. Di samping itu semua, grundnorm di republik ini yaitu UUD 1945
pun telah mengisyaratkan tentang Pemilihan Umum itu yaitu dalam pasal 22E.
Dalam kehidupan politik di negeri
ini, ada proses Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota
DPR dan anggota DPD secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil (luber
jurdil). Di samping itu, ada juga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan
Pengawas Pemilu yang berkantor di daerah baik provinsi (Bawaslu Provinsi)
maupun kabupaten/kota (Panwaslu Kabupaten/Kota), Panwaslu Kecamatan, Pengawas
Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Semua rangkaian pelaksanaan
Pemiliham Umum (Pemilu) ini tidak lain adalah bentuk pelaksanaan kedaulatan
rakyat dalam memilih figur dan arah kepemimpinan untuk kurun waktu atau periode
tertentu. Dalam konteks Indonesia, biasanya periode kepemimpinannya adalah 5
tahun, selanjutnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya
untuk satu kali masa jabatan.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Moh.
Mahfud MD sifat suatu rejim baik demokratis atau pun otoriter tentu mempunyai
produk hukum yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, konfigurasi politik akan
mempengaruhi produk hukum yang bersifat responsif-otonom maupun konservatif-ortodoks
pada masa itu. Produk hukum ini tentu berimplikasi pada proses kehidupan
berbangsa dan bernegara khususnya pada corak pemerintahan rejim tersebut.
Indikator yang dapat diperhatikan untuk menentukan demokratis atau otoriter
(tidak demokratis) suatu rejim sebagai berikut: (a) sistem kepartaian dan
peranan badan perwakilan, (b) peranan eksekutif, dan (c) kebebasan pers.
Demokrasi sendiri sesungguhnya
merupakan suatu proses yang berlangsung secara simultan karena aktor dari
demokrasi itu sendiri adalah manusia yang tidak luput dari kecacatan dan
sebagainya. Sehingga negara seperti Indonesia memang membutuhkan waktu yang
relatif lama untuk membina dan membangun demokrasi dalam artian demokrasi yang
ideal. Pluralitas masyarakat baik dari sisi etnis, ras, agama, golongan,
kepentingan, wilayah yang cukup luas dan lain-lain memang merupakan faktor yang
mempengaruhi hal ini di samping tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia yang
masih dapat dikategorikan rendah. Sehingga memang pengetahuan serta pembudayaan
politik dan demokrasi yang ideal seturut budaya bangsa mesti diintensifkan pada
lembaga pendidikan sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan pendidikan
politik dan demokrasi tersebut.
HAK ASASI MANUSIA (HUMAN RIGHTS) DARI PERSPEKTIF PANCASILA
Pancasila
sebagai ideologi, dasar negara, filsafat bangsa, sekaligus sebagai staatsfundamentalnorm dalam segala
sendi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tentu mensyaratkan
akan adanya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi setiap warga negara. Jabaran
yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 serta pasal-pasalnya juga telah mengurai
secara eksplisit mengenai perlindungan hak asasi warga negara sebagai bagian
dari HAM. Hak-hak asasi ini meliputi hak hidup, hak berpikir dan mengeluarkan
pendapat, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk melangsungkan pernikahan dan
melanjutkan keturunan, hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk berkeyakinan dan memeluk salah satu agama serta
beribadah menurut agama dan keyakinannya itu, dan masih banyak lagi hak
lainnya.
Di samping itu, ada Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) yang merupakan deklarasi Hak Asasi Manusia sedunia pada tanggal 24
Desember 1948. Hal ini menandakan bahwa penghormatan serta perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional telah dilakukan yang mana
hal ini sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan sebagaimana makhluk
ciptaan Tuhan. Di Indonesia, mengenai Hak Asasi Manusia telah dimuat dalam
pasal-pasal UUD 1945 (BAB XA) yaitu pasal 28A sampai 28J dan juga dalam UU Hak Asasi
Manusia (HAM) yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999.
Konsepsi Hak Asasi Manusia ini tentu
berjalan seiring konsepsi negara hukum yang mana mengandung pengertian bahwa
setiap orang berkedudukan sama di hadapan hukum sebagaimana kesamaan hakekat
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Suko Wiyono (2012:70)
ajaran filsafat bernegara bangsa Indonesia yang dibingkai sebuah ideologi
negara yang disebut Pancasila merupakan landasan utama semua sistem
penyelenggaraan negara Indonesia. Hukum sebagai produk negara tidak dapat
dilepas dari falsafah negaranya. Dalam pandangan seperti ini, maka filsafat
hukum pun tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filsafati dari negaranya.
Nilai-nilai Pancasila secara yuridis
mesti diderivasikan ke dalam UUD dan selanjutnya pada seluruh peraturan
perundang-undangan lainnya. Hal ini tentu berkaitan dengan pemberlakuan
Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm. Di
samping itu, Pancasila tentu memiliki legitimasi filosofis, yuridis, sekaligus
politis. Sehingga dengan demikian maka Pancasila diderivasikan dalam semua
norma kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejalan dengan hal ini, maka pemikiran
mengenai pengakuan HAM di Indonesia tentu memiliki perbedaan dengan yang
terjadi di Eropa dan negara-negara sosialis. Sesuai Pancasila, maka hubungan
antara negara dengan rakyat dan juga antara sesama rakyat didasarkan pada
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pemikiran ini merupakan berpola pada
“asas kerukunan” sejalan dengan pemikiran Hatta mengenai HAM. Maksud dari pada
asas ini adalah rakyat dan penguasa sebisa mungkin menyelesaikan problem secara damai. Sehingga upaya
peradilan merupakan langkah yang terakhir.
Sesuai dengan sejarah dan sistem
nilainya, bangsa Indonesia mempunyai cara pandang yang berbeda dengan cara
pandang Barat mengenai HAM. Menurut cara pandang bangsa Indonesia, HAM bertumpu
pada paham monodualis atau paham yang memandang manusia sebagai individu,
tetapi juga sebagai makhluk sosial. Pemikiran-pemikiran di atas merupakan
landasan untuk mencantumkan perumusan HAM sebagaimana tercantum dalam pasal 27,
28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34 UUD 1945. Sebenarnya muatan HAM juga tersirat
pada keseluruhan Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan UUD 1945 naskah asli
(Suko Wiyono, 2012:72).
Selanjutnya menurut Suko Wiyono
(2012:72-74) bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama menyatakan “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri
kemanusiaan dan pri keadilan”. Pengakuan terhadap kemerdekaan, pri kemanusiaan
dan pri keadilan menunjukan bahwa alinea pertama ini sarat muatan hak asasinya,
karena pengakuan kemerdekaan sesuai dengan Pasal 1 Deklarasi sedunia tentang
HAM (1948) yang berbunyi “Setiap orang dilahirkan merdeka”. Sedangkan pengakuan
terhadap pri kemanusiaan adalah merupakan inti dari HAM, dan pengakuan terhadap
pri keadilan adalah inti dari prinsip negara hukum.
Alinea kedua berbunyi “Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”. Adanya kata “adil” dalam alinea kedua menunjukan bahwa Indonesia
adalah negara hukum, karena salah satu tujuan negara hukum ialah mencapai
keadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 Deklarasi sedunia tentang HAM (1948)
yang berbunyi “ Setiap orang berhak dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan
suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak
memihak”.
Alinea ketiga berbunyi “Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya”. Dalam alinea ketiga yang ditekankan adalah agar
rakyat Indonesia berkehidupan kebangsaan yang bebas sesuai dengan Pasal 27 ayat
(1) Deklarasi sedunia tentang HAM (1948) yang berbunyi “Setiap orang berhak
untuk turut serta dengan bebas dalam hidup kebudayaan masyarakat”.
Alinea keempat berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam alinea keempat ini memuat HAM di bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan menghendaki “disusunnya kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia” yang
merupakan bukti bahwa sejak awal bangsa Indonesia menghendaki adanya negara
hukum dan bukan negara kekuasaan semata. Apabila kita bandingkan dengan
Deklarasi sedunia tentang HAM (1948), maka alinea keempat ini sesuai dengan
pasal 21, pasal 22, dan pasal 26 deklarasi tersebut.
Di Indonesia,
telah ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk pada
tanggal 07 Juni 1993 melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993. Komnas HAM
ini mengkaji dan memberi masukan kepada pemerintah untuk meratifikasi beberapa
instrumen internasional mengenai HAM, serta memantau dan menyelidiki
pelaksanaan HAM di Indonesia. Ekspektasinya adalah perlindungan dan
penghormatan HAM di Indonesia mengalami progress
serta pelanggaran HAM di masa lalu dapat diproses dan dituntaskan sebagaimana
hukum positif atau ius constitutum yang
berlaku di negeri ini.
INTERVENSI NOMOKRASI TERHADAP PENEGAKAN DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
UUD 1945 sebagai grundnorm telah menjamin akan
perlindungan serta penghormatan HAM di Indonesia. Meskipun demikian, pada
tataran realita empiris banyak terjadi pelanggaran HAM (inkonstitusi) baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun rakyat secara keseluruhan. Hal ini tentu contras dengan apa yang telah tertuang
secara eksplisit baik dalam Pembukaan maupun pasal-pasal UUD 1945. Dalam
konteks Indonesia, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah di republik ini
ketika rejim Orde Baru berkuasa. Kebebasan untuk berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebebasan
pers, serta hak-hak lain yang berkaitan dengan demokrasi pun terpasung. Produk
hukum pada jaman itu pun lebih banyak bersifat positivis-instrumentalistik atau
hukum tersebut dibuat semata-mata untuk membenarkan atau menjustifikasi tindakan-tindakan
penguasa yang sebenarnya itu adalah asimetris dengan konstitusi. Atau dengan
kata lain segala tindakan asimetris pemerintah waktu itu telah diberi baju
hukum sebelum tindakan itu dilakukan, sehingga secara yuridis formal memang
dibetulkan, tetapi contras dengan
prinsip kebenaran dan keadilan.
Di balik semua
itu, ada yang berpendapat bahwa segala distorsi yang terjadi tidak lain adalah
bersumber dari sifat pasal-pasal UUD 1945 yang banyak berwayuh arti atau
multi interpretable sehingga menimbulkan krisis multi dimensi. Sejak jaman Orde Lama, Orde Baru, bahkan era Reformasi saat ini banyak terjadi hal-hal inkonstitusi. Jaman Orde Lama yang dipimpin oleh Ir. Soekarno memang banyak melakukan tindakan-tindakan inkonstitusi yang bersifat terang-terangan. Misalnya dengan membubarkan DPR, memusatkan kekuasaan di tangannya sebagai seorang Presiden, pelaksanaan NASAKOM yang jelas-jelas menegasikan Pancasila sila pertama, adanya intervensi dari Eksekutif (Presiden) terhadap Yudikatif (Mahkamah Agung) sehingga peradilan berjalan tidak sesuai prinsip independensi, dan pengangkatannya sebagai Presiden seumur hidup yang jelas-jelas itu melanggar UUD 1945. Tindakan inkonstitusi pada jaman Orde Baru (rejim Soeharto) pada umumnya telah diberi baju hukum sehingga secara yuridis formal memang dibenarkan, tetapi sesungguhnya hal itu asimetris dengan prinsip kebenaran, keadilan, sekaligus prinsip demokrasi. Tidak kalah dengan jaman Orde Lama maupun Orde Baru, saat ini pun banyak terjadi hal-hal yang memang contras dengan Pancasila maupun UUD 1945 sebagai acuan utama dalam penyelenggaraan negara di republik ini. Hukum seringkali diplintir untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan pragmatis baik pribadi maupun golongan, salah satunya dengan pemenuhan syarat-syarat hukum secara yuridis formal tetapi mengenyampingkan prinsip kebenaran dan keadilan. Di samping itu, fenomena birokrasi yang tidak asing lagi bagi masyarakat adalah korupsi yang kian merebak saat ini baik oleh pejabat tinggi negara sampai pejabat di daerah-daerah. Singkatnya, baik rejim Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi saat ini banyak bertindak asimetris terhadap Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm dan UUD 1945 sebagai grundnorm yang tidak lain adalah sebagai acuan birokrasi di republik ini.
multi interpretable sehingga menimbulkan krisis multi dimensi. Sejak jaman Orde Lama, Orde Baru, bahkan era Reformasi saat ini banyak terjadi hal-hal inkonstitusi. Jaman Orde Lama yang dipimpin oleh Ir. Soekarno memang banyak melakukan tindakan-tindakan inkonstitusi yang bersifat terang-terangan. Misalnya dengan membubarkan DPR, memusatkan kekuasaan di tangannya sebagai seorang Presiden, pelaksanaan NASAKOM yang jelas-jelas menegasikan Pancasila sila pertama, adanya intervensi dari Eksekutif (Presiden) terhadap Yudikatif (Mahkamah Agung) sehingga peradilan berjalan tidak sesuai prinsip independensi, dan pengangkatannya sebagai Presiden seumur hidup yang jelas-jelas itu melanggar UUD 1945. Tindakan inkonstitusi pada jaman Orde Baru (rejim Soeharto) pada umumnya telah diberi baju hukum sehingga secara yuridis formal memang dibenarkan, tetapi sesungguhnya hal itu asimetris dengan prinsip kebenaran, keadilan, sekaligus prinsip demokrasi. Tidak kalah dengan jaman Orde Lama maupun Orde Baru, saat ini pun banyak terjadi hal-hal yang memang contras dengan Pancasila maupun UUD 1945 sebagai acuan utama dalam penyelenggaraan negara di republik ini. Hukum seringkali diplintir untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan pragmatis baik pribadi maupun golongan, salah satunya dengan pemenuhan syarat-syarat hukum secara yuridis formal tetapi mengenyampingkan prinsip kebenaran dan keadilan. Di samping itu, fenomena birokrasi yang tidak asing lagi bagi masyarakat adalah korupsi yang kian merebak saat ini baik oleh pejabat tinggi negara sampai pejabat di daerah-daerah. Singkatnya, baik rejim Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi saat ini banyak bertindak asimetris terhadap Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm dan UUD 1945 sebagai grundnorm yang tidak lain adalah sebagai acuan birokrasi di republik ini.
Ketika kita
amati, memang hal ini tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut oleh
republik ini. Konsep prismatik yang dianut oleh republik ini yaitu konsep
integratif antara rechtstaat dan the rule of law namun telah disesuaikan
dengan nilai-nilai filosofis yang hidup di masyarakat bangsa Indonesia sehingga
disebut dengan sistem hukum Pancasila. Konsep prismatik atau integratif ini
mengambil sisi baik dari rechtstaat
maupun the rule of law yang
mengedepankan kepastian hukum dan menegakan prinsip keadilan. Konsep prismatik
(sistem hukum Pancasila) yang memadukan rechtstaat
dan the rule of law ini memandang
bahwa sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon bertemu dalam
budaya-budaya bangsa Indonesia atau kedua sistem hukum ini telah mengalami
proses filterisasi dengan nilai-nilai filosofis yang hidup dalam masyarakat
Indonesia dengan mengambil sisi baik dari kedua sistem hukum itu yaitu
kepastian hukum sekaligus penegakan prinsip keadilan.
Namun, pada
tataran praktis seringkali konsep prismatik ini tidak dipandang sebagai satu
kesatuan yang utuh (totalitas), tetapi dipisah antara rechtstaat dan the rule of
law yang masing-masing memiliki titik tekan yang berbeda-beda. Rechtstaat yang lebih mengedepankan
kepastian hukum dengan mengutamakan hukum tertulis (civil law), sedangkan the
rule of law lebih mengedepankan prinsip keadilan dengan menggunakan hukum
tidak tertulis atau sesuai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (common law atau living law). Sehingga tidak jarang kalau banyak pihak yang
menggunakan prinsip yang dianut oleh rechtstaat
yaitu kepastian hukum dengan cara memenuhi persyaratan yuridis formal tapi
mengenyampingkan prinsip keadilan yang sebenarnya adalah salah satu sendi dari
pada penegakan hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang hukum
tertulis dapat dimanipulasi untuk memperoleh kemenangan di hadapan hukum atau
pengadilan, tetapi sesungguhnya jauh dari prinsip keadilan. Contoh konkretnya,
tentu masih segar di ingatan kita ketika beberapa waktu yang lalu ada seorang
kakek yang memetik satu buah kakao atau cokelat yang kemudian dilaporkan dan
diproses oleh keadilan hingga difonis penjara. Masih banyak kasus semacam ini
yang diproses oleh pengadilan, tetapi sesungguhnya jauh dari prinsip keadilan
sebagaimana yang dianut oleh the rule of
law. Seorang hakim memang dalam memutuskan sebuah perkara mesti
memperhatikan nilai dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak
tertulis atau common law), tidak
semata-mata terpaku pada undang-undang (hukum tertulis atau civil law).
Baik antara rechtstaat maupun the rule of law sama-sama dapat diartikan sebagai negara hukum,
meskipun dengan titik tekan yang berbeda-beda. Antara kedua sistem hukum ini
sama-sama mengedepankan perlindungan Hak Asasi Manusia. Rechtstaat dengan ciri administratif, sedangkan the rule of law dengan ciri yudisial.
Pencantuman Hak Asasi Manusia secara implisit dalam Pembukaan UUD 1945 tentu
memiliki konsekuensi bahwa negara ini memilih konsep negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Di samping itu, dalam
pasal-pasal UUD 1945 secara eksplisit telah mencantumkan hak-hak warga negara
termasuk hak asasi manusia yang mesti dilindungi sekaligus dihormati oleh
negara.
Konsep prismatik
sistem hukum Pancasila telah memadukan berbagai nilai, kepentingan, nilai
sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan
mengambil sisi-sisi positifnya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a)
keseimbangan antara individualisme dengan kolektivisme, b) keseimbangan antara rechtstaat dengan the rule of law, c) keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk
memajukan dan sebagai cermin nilai-nilai dalam masyarakat, d) keseimbangan
antara negara agama dengan negara sekuler (theo-demokratis).
Menurut Hadjon, elemen-elemen penting dari nomokrasi Pancasila
adalah: (1) keserasian antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas
kerukunan, (2) hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara,
(3) penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan sebagai jalan
terakhir jika musyawarah gagal, (4) keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Perlindungan hak asasi di Indonesia mesti diimbangi dengan
kewajiban asasi yaitu kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain.
Sehingga ketika seorang warga negara menuntut haknya, maka ia juga mesti
memperhatikan hak orang lain atau kepentingan publik. Hak dan kebebasan mesti
diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab. Penuntutan hak mesti melalui
mekanisme yang sudah ditentukan oleh hukum, tidak boleh dilakukan dengan sikap
destruktif atau paksaan sehingga tidak menimbulkan kerugian di lain pihak. Dengan
demikian maka, sarana untuk melindungi dan menjamin hal ini adalah penegakan
hukum dengan mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Hukum pada posisi ini dapat
dijadikan sebagai paradigma pembangunan untuk menjamin hak asasi warga negara
secara keseluruhan dan menjamin tegaknya demokrasi. Untuk itu, hukum harus
memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) hukum harus melindungi segenap bangsa
Indonesia dan menjamin keintegrasian Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2)
hukum harus mampu menjamin keadilan sosial dan memberikan proteksi khusus bagi
golongan lemah, (3) hukum harus dibangun secara demokratis sejalan dengan
nomokrasi, (4) hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial
apa pun.
Dengan demikian maka, perlindungan HAM dan penegakan demokrasi
dapat dilaksanakan secara bersamaan dengan jalan penegakan hukum secara
obyektif dan sejalan dengan nomokrasi sehingga pada gilirannya cita-cita bangsa
ini yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai prinsip pri
kemanusiaan dan pri keadilan dapat dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat
dari Sabang sampai Merauke.
PENUTUP
UUD 1945 sebagai grundnorm
yang mengandung asas-asas penyelenggaraan negara telah memuat secara eksplisit
tentang Hak Asasi Manusia sekaligus demokrasi yang mesti dilindungi, dihormati,
sekaligus ditegakkan oleh negara. Sesuai paham negara hukum (nomokrasi) yang
dianut oleh republik ini, maka konsekuensinya adalah apa yang ada dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm
sekaligus pasal-pasal UUD 1945 (grundnorm)
mesti diderivasikan ke dalam segala peraturan perundang-undangan yang ada di
bawahnya sehingga jiwa proklamasi dalam mencapai tujuan negara tetap hidup
sebagai semangat yang telah tertuang dalam peraturan perundang-undangan maupun
segala bentuk kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah. Sebagai seorang
warga negara yang baik, maka hendaknya ketika kita menuntut hak mesti
memperhatikan hak orang lain. Hak asasi mesti selalu diimbangi dengan kewajiban
asasi. Atau dengan kata lain, hak dan kebebasan mesti diimbangi dengan
kewajiban dan tanggung jawab sehingga suasana harmonis baik antara pemerintah dengan
rakyat maupun antara rakyat dengan rakyat dapat tercipta.
DAFTAR RUJUKAN
Mahfud MD, Moh. 2012. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali
Pers
Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu
Wiyono, Suko. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernergara. Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang press